Aku, Komunitas dan Sastra
Asalamualaikum w...w...
Kawan-kawan
dan para hadirin yang saya hormati,
Saya
berasal dari desa kecil di sebuah kabupaten tertinggal di pesisir bagian
selatan kota Padang. Dari kota provinsi
perjalanan naik turun bukit dengan pantai di bagian barat, gunung di bagian
timur. Jalan satu-satunya yang menghubungkan kabupaten kami dengan kota
provinsi di utara, Jambi dan Bengkulu di bagian selatan. Jalan kecil yang
membelah kampung kami disebut jalan Lintas Barat. Berlubang, sempit dan
diperbaiki menjelang lebaran. Di kilometer 120 dari jalur hampir sejauh 240 km
inilah saya tinggal. Rumah saya di pinggir jalan raya, menghadap pantai, sawah
dan pegunungan di bagian belakang.
Di tengah ruang demografis
semacam itu perhatian kami terhadap bacaan sangat terbatas. Aksesnya apalagi.
Koran ada, hanya di antar ke kantor-kantor pemerintah. Saya sudah menyukai buku
sejak kecil. Hari minggu, adalah hari pasar di kampung kami, saya selalu
berharap bisa ke pasar untuk membeli majalah. Satu-satunya gerai buku di dua
kecamatan di daerah kami. Saya pernah punya koleksi buku satu lemari kayu, yang
dikumpulkan sendiri yang menjadi referensi pula bagi teman-teman sekampung
saya, terutama remaja putri.
Saya membayangkan suatu
saat nanti saya akan memiliki sebuah perpustakaan.
Pada awal maret 2004,
saya dijemput dari rumah oleh almarhum mamak saya dengan satu kalimat perintah,
“Kamu berangkat ke Jogja malam ini.” Ini merupakan momen kehilangan kedua dalam
hidup saya, sekaligus menjadi rahim bagi kelahiran saya berikutnya. Dengan
menumpang truk mamak saya yang lain, saya sampai di Jawa. Beberapa hari
kemudian naik kereta api, menuju kelahiran baru saya: Yogyakarta
Kawan-kawan
yang luar biasa,
Masa-masa awal saya di
Jogja, saya hanyalah seorang anak muda lulusan SMA yang menulis ulang
tulisan-tulisan remaja saya berupa cerpen dan puisi. Saya tinggal di Sewon yang
sekaligus sebuah komunitas sastra dan teater bernama Rumahlebah. Proses belajar
yang menyenangkan, saya memiliki banyak asupan buku, menulis ulang
tulisan-tulisan lama saya dengan memberi perspektif baru, datang ke acara
sastra dan berkumpul dengan kawan-kawan penulis maupun calon penulis.
Masa-masa belajar awal
saya di Jogja saya sama sekali tidak mengerti bagaimana sastra diproduksi,
diedarkan ke pasar. Shopping masihlah sekumpulan toko buku yang menjual banyak
makalah dan diburu oleh para mahasiswa. Yang saya tahu, masa-masa itu sedang
menjamurnya chicklit dan teenlit, dan ramainya para seleb menulis lalu disusul
sastra religius. Masa awal saya di Jogja adalah masa di mana segala macam isu
sastra juga sedang panas-panasnya. Trend sastra jerawat, sastra perempuan, sastra
wangi, sastra lendir sampai sastra kelamin. Perputaran gosip semacam itu
menarik betul minat saya.
Masa-masa awal saya di
Jogja sepenuhnya ketakjuban. Saya mencatat banyak nama penulis sastra yang saya
temui di bulan-bulan awal, baik yang namanya saya kenal maupun tidak, baik
karyanya pernah saya baca atau tidak. Nama-nama itu berurutan di buku catatan
saya sejak dari Sunlie Thomas Alexander, Ibed Surgana Yuga, Zen Hae, Joni
Ariadinata, Dina Oktaviani, Gunawan Maryanto, Faisal Kamandobat, Saut
Situmorang, Evi Idawati, dan sebagainya
dan sebagainya.
Saya hadir di tengah
semaraknya karya-karya ‘kontroversial’ seperti Garis Tepi Seorang Lesbian milk
Herlinatiens, hebohnya Jakarta Undercover, sampai diburunya Muhidin M Dahlan
gara-gara novelnya yang terus dicetak ulang hingga sekarang itu: Tuhan, Izinkan
Aku Menjadi Pelacur.
Ingatan lain saya pada
periode itu adalah kabar tentang Mas Buldan—yang entah siapa—bos sebuah penerbit
yang hobi memfoto para penulis. Lalu soal penerbit Bentang Budaya bangkrut. Konon,
Mas Buldan diburu, seperti juga Gus Muh, dengan perkara yang berbeda. Saya tak
tahu, apakah darah keduanya ketika itu sama halalnya.
Kawan-kawan yang
berbahagia,
Tahun-tahun pertama
saya di Jogja saya mengagumi bayak nama, mengagumi banyak tempat. Saya mendengar
riuhnya aktivitas mahasiswa dan dunia perbukuan yang mereka hidupkan. Saya mengenal
penerbit Jendela, Mahatari, Logung (saya tidak tahu sampai kini siapakah di
belakang nama ini), Indonesia tera, Majalah On/Off dan AKY, dan sebagainya. Saya
seperti semut di antara para gajah. Masa itu terjadi Cantik Itu Luka masih
rajin diresensi. Diva Press adalah penerbit dengan lambang bintang warna merah,
yang juga tumbuh bersama fenomena Sastra pesantren. Saya pernah ikut membantu
teman meminjam buku-buku Diva dari kantornya dekat Blandongan sana, untuk dibawa
pameran ke satu-dua kota.
Masa itu, saya adalah
calon cerpenis dan penyair yang diharapkan bangsa ini. Berlagak, berlaku,
berpenampilan layaknya calon penyair pada masa itu. berantakan betul. Ya
penampilan, ya kantong. Militan dan komunal. Ini yang mungkin pernah menjadi
karakter para penulis muda di kota ini. Saya, atau mungkin satu generasi di
bawah saya menyelesaikan mitos ini. Setidaknya lahirnya Komunitas Raya-rawa
sebagai senjakala komunitas sastra. Kehadiran anak-anak muda ini sekaligus
menghapus gaya hidup rusak-rusakan. Mereka lebih tampak seperti boyband
ketimbang penyair. Tak banyak lagi calon penulis hari ini dengan penampilan
semengibakan itu. Hari ini ini, mereka tumbuh sendiri-sendiri, tidak perlu
berebutan komputer, akses jauh lebih terbuka ke mana dan siapa saja. Tiap
generasi pastilah punya peristiwanya sendiri-sendiri, punya problemnya
sendiri-sendiri. Dan komunitas sastra tidak bisa sepenuhnya mati.
Pada akhirnya, saya
hanyalah calon penulis yang tergagap dengan pergaulan, memilih kuliah di UIN.
Selain masalah biaya, tidak percaya diri, sulit bergaul, saya punya alasan yang
sanga ideologis-eksistensialis, dan kau-boleh-tidak-percaya: jika saya kuliah
di tempat lain, saya takut nanti bisa pindah agama.
Saya hanyalah satu dari
anak muda dari sekian banyak anak-anak muda lainnya yang datang dari barat,
utara dan timur pulau Jawa. Saya masih beraktivitas
di Rumahlebah, salah menduga Nirwan
Ahmad Arsuka sebagai Nirwan Dewanto, ikut pengajian di Komunitas Kutub di
Krapyak, sesekali ikut meratap ketika ada muhasabah.
Di Kutub ini berkumpul
sekian penulis dengan keahlan masing-masing. Mulai dari penulis puisi, cerpen,
esai, opini, resensi, sampai Sungguh-sungguh Terjadi, rata-rata mereka bisa
menguasai semuanya. Bahkan Sindo, Seputar Indonesia, koran baru yang sekian
waktu tidak punya halaman sastra, diberondong puisi dan cerpen setiap minggu
lewat disket bervirus mereka, akhirnya menyerah. Di minggu pagi yang cerah,
terbitlah puisi dan cerpen dari Komunitas Kutub di Koran Sindo yang konten
Ekonominya lebih terasa.
Kutub adalah kunci.
Pesantren iya, komunitas sastra iya, penerbit juga, usaha perdagangan iya juga.
Saya banyak makan-minum secara militan di sini, menghajar rokok kawan-kawan di
sana, pulang setelah bisik-bisik pinjam uang sambil nunggu honor turun dari koran
A atau B. Saya nyaris tidak pernah tercatat sebagai bagian dari mereka. Mungkin
di sana, saya sekadar bikin rusuh belaka.
Kawan-kawan
pemborong buku yang semoga kantongnya selalu tebal,
Masa-masa awal saya di
Jogja, saya hanya mengenal Akar Indonesia sebagai satu-satunya penerbit di
Jogja. Di penerbit Akar inilah saya belajar menjual buku, belajar melayout
untuk Jurnal Cerpen Indonesia lalu buku puisi rumahlebah. Meski nama-nama penerbit
di atas tadi saya pernah dengar, mereka
adalah tempat yang jauh. Utara. Gejayan. Saya masihlah cah mbantul yang
terkagum-kagum dengan catatan editorial on/off yang seringkali ditulis dengan
dramatik oleh Puthut EA.
Hingga tahun 2006
ketika saya pindah ke utara, saya masilah seorang gelandangan yang sok gagah
menjaga iman kepenyairan saya. Gelandangan nyaris dalam arti sesungguhnya.
Namun, karena bertemu dengan banyak orang-orang istimewa, seringkali hidup saya
terselamatkan. Begitulah Jogja, mendekatkan saya pada buku dan sastra, terkagum
padanya, lalu terlibat dan menjadi bagian di dalamnya.
Kawan-kawan yang semoga
selalu bahagia,
Saya
beruntung mengenal seorang pedagang buku di depan kampus ISI yang menggelar
banyak sekali buku-buku, terutama terbitan Bentang Budaya. Dari beliau saya
dipercaya sebagian barang dagangannya untuk saya angkut ke daerah di sekitar
bandara yang menjadi tempat kuliah saya. Di waktu istirahat dan sisa waktu
kuliah saya membuka lapak buku yang kesemua barang jualan saya boleh dibaca.
Masa-masa
awal saya kuliah adalah perhal membawa ransel besar berisi buku jualan,
mendayung sepeda dari Sewon, menuju jalan Adi Sucipto. Saya tampak demikian
gagah, sekaligus berantakan dengan semangat menyala-nyala. Boleh buku tidak
laku, tapi membaca tak kenal waktu. Lapak saya sekaligus menjadi ruang baca.
Di antara barang
dagangan saya menambahkan buku-buku yang berkaitan dengan perkuliahan dengan
harapan semakin besar minat pembaca. Saya mulai mengkampanyekan menyumbang 1
buku, membaca ratusan buku. Idenya sederhana, ada dua fakultas di kampus saya. Kalau
satu orang menyumbangkan satu buku alangkah banyaknya buku yang terkumpul dan bisa
dibaca bersama-sama.
Dua orang teman kelas
menyumbangkan buku, dan memang hanya mereka. Fakultas menyumbangkan tikar untuk
gelaran buku saya, dan bu Dekan, istri almarhum Pak Kuntowijoyo, menyumbangkan
belasan buku foto kopian, karya-karya pak Kunto. Di tahun pertama, majalah
fakultas kami terbit. Bonusnya, lapak buku saya, sekaligus perpustakaan yang
saya gadang-gadang itu dimuat di sana dengan tambahan catatan: hasil dari
prestasi fakultas membuatkan ruang alternatif bagi para mahasiswanya.
Besoknya, tikar saya
kembalikan, buku Pak Kunto saya bagi-bagi,
buku-buku saya yang sudah boleh ditumpangkan di ruang fakultas, saya
angkut dengan sepeda. Perpustakaan umum pertama saya langusng gulung tikar.
Terhadap media yang menulis prestasi kampus ini, saya balas dengan membuat
majalah dinding isinya selebaran-selebaran, sindiran, kemarahan saya dan
beberapa kawan yang boleh jadi mereka menulisnya setengah terpaksa karena
terus-terusan saya panasi.
Perpustakaan saya
hancur, usaha bisnis buku saya gagal lebih awal.
Kawan-kawan yang,
tolong, jangan bubar dulu,
Di luar kampus, saya
orang yang rajin mendatangi acara sastra dan sesempat-sempatnya membuka lapak
buku di sana. Kedai Kebun cukup rajin menggarap acara-acara sastra dan
pertunjukan ketika itu. Saya terlibat di Puisi Pro, ajang baca puisi di radio
dan beberapa kegiatan-kegiatan awal di Studio pertunjukan Sastra. Di dua ruang
itu saya belajar banyak pada almarhum Hari Leo dan Cak Kandar. Event yang saya
kira cukup gagah ketika saya menjadi kurator untuk penyair muda dengan tajuk
Panggung Penyair Muda Jogja, dan itulah yang menjadi titik pertama acara yang
kami bikin tahun berikutnya Panggung penyair Muda 4 Kota dengan komunitas baru
saya Rumah Poetika.
Bersamaan dengan itu
saya dipanggil oleh seorang kesohor yang darahnya sempat halal untuk
ditumpahkan: Muhidin M Dahlan. Saya diajak An Ismanto, dedengkotnya Sarkem UNY.
Kerja pertama kami menulis ulang dongeng nusantara, jauh sebelum hingga Indonesia Buku berdiri gagah di
Patehan yang kelak juga melahirkan Radiobuku yang fenomenal itu.
Beberapa kegiatan
bersama di Komunitas Rumah Poetika menyadarkan saya, saya bukanlah orang yang
sepenuhnya bisa melakukan hal bersama orang lain. Cara kerja saya spontan,
sementara komunitas menuntut pembahasan ini-itu. Gejolak saya terhadap buku dan
pergaulan kecil-kecilan saya dengan para penulis membuat saya mesti punya ruang
yang lain. Lalu berdirilah MK Art Syndicate yang khusus menyelenggarakan
acara-acara sastra, baik pembacaan karya, maupun diskusi buku. Membantu teman,
istilahnya. Anggotanya saya dan Mutia Sukma. Di event
itu kami bebas membuka lapak buku. Dari lapak inilah sewa tempat, uang
kebersihan, minum dan jajan, uangnya dikucurkan.
Saya membayangkan
sebuah tempat di mana saya bebas punya acara sastra dan bebas pula menggelar
barang dagangan saya.
Masa-masa itu Faiz
adalah editor sibuk dan Irwan bajang masilah anak muda galau yang bercita-cita
besar menjadi Habiburahman. Dia masilah berambisi menjadi penyair dan novelis,
bukan pebisnis seperti sekarang. Kami sempat terlibat di kelompok pembenci
sastra koran. MK Art Syndicate pernah menggelar diskusi buku beliau sebagai
penghormatan antar sesama penulis muda.
Dari acara-acara MK Art
tadi, kos saya jad tempat penitipan buku. Kawan-kawan daerah yang bukunya didiskusikan
meminta saya menjualkan di acara yang lain. Setap acara barang dagangan saya
semakin banyak. Dan entah dari mana mulanya, buku-buku pribadi, buku jualan,
berdempetan dengan teman-teman yang numpang tidur, dan para pembeli buku yang
tiba-tiba datang ke kamar saya. Sebut saja, salah satunya Eka Keong atau Eka
Pocer, yang terus-terusan merengek meminta buku Kastil Angin Menderu Joni
Ariadinata saya jual untuknya. Pojok Cerpen belumlah menjadi sebesar sekarang
dengan aneka rupa bisnis perbukuannya.
Kawan-kawan yang saya
hormati,
Saya beruntung, ketika
saya mau menyetorkan hasil penjualan buku seorang kawan, ia menolak. “Kamu
sudah kirim alfatehah untukku, jadi uang tu untukmu saja.” Sufi betul dia.
Dengan uang hasil laporan yang disumbangkan itu, sekira 160 ribu, dan nyaris
satu-satunya modal awal, saya datang ke pameran Gramedia, membeli beberapa buku
sastra dan mengshare pertama kalinya di Facebook. Itu hari pertama saya merasa
hidup sebagai pedagang buku sastra.
Mengingat semakin
banyaknya buku di kamar saya, per 24 agustus 2011 memposting buku dagangan di
sebuah blog yang secara jujur dan asal-asalan saya kasih nama
jualbukusastra.com yang lalu sering disingkat jadi JBS saja.
Kawan-kawan yang baik
hatinya,
Periode
awal usaha, dan umumnya orang yang memulai sesuatu dar nol, JBS adalah jalan
lain untuk bertahan hidup. Saya perantau, mahasiswa yang tidak menerima kiriman
uang dari kampung, harus mencari sesuatu untuk bisa hidup. Saya menulis puisi
dan cerpen sekaligus berjualan buku.
Vase berikutnya barulah
misi-misi ideologis itu tumbuh dan terus berkembang, bahwa saya tidak hanya
sekedar berdagang buku untuk bertahan hidup, tapi ada banyak alasan-alasan
logis lain yang membuat saya betah. Sejak awal saya ingin menjual buku-buku
sastra yang benar-benar tidak tersedia di toko buku. Punya resiko memang, namun
begitu buku dan sastra adalah dunia yang mesti terus saya perjuangkan.
Masa-masa JBS hadir,
belum banyak toko online kecil yang memasarkan buku dengan pola begini. Sejak awal kami tidak menjual buku sastra yang
ramai di pasaran. Niat kami menjual buku bagus, bukan buku laris, saya kutip
Olih sebagai penghiburan atas banyaknya tagihan yang datang setiap bulan. JBS
masih perlu menata banyak hal, termasuk urusan finansial.
Secara pribadi, saya tidak
punya ambisi melawan jaringan toko buku besar. Kami tetap merekomendasikan
pembaca untuk datang ke toko buku. Buku-buku sastra baru dari penerbit mayor,
kami jarang stok. Buku tersebut banyak di toko buku di tiap kota. Orang bisa
datang ke sana untuk belanja dan mungkin membeli buku yang lain. Saya tidak
anti, meski tidak selalu sepakat, dengan buku-buku laris yang ada di pasaran.
Dalam dunia literasi, buku dan penulis ini adalah pintu masuk pembaca untuk
mengenali bacaan lain. Tingkatnya juga akan beragam.
Sejak awal JBS ini
ruang alternatif, pilihan kesekian jika toko buku sudah tidak punya buku dari
penulis tertentu. Karena ini basisnya komunitas, para pembaca sastra, saya
secara pribadi juga menyeleksi buku-buku yang masuk. Buku-buku yang layak
menurut saya.
Toko buku offline kami
sekalgus rumah tinggal. Tempat ini terbuka untuk dikunjungi. Kawan-kawan yang
datang ke sini juga dengan berbagai keperluan, mulai soal beli buku, atau lebih
sering ngopi-ngopi sambil. Beberapa waktu sekali kami bikin kegatan di halaman
rumah sore hari. Setahun sekali kami ada pameran kecil dengan fokus ke diskusi
dan launching buku. Namanya #tahunbarudijbs diadakan akhir desember hingga awal
januari. Tahun ini jika lancar memasuki yang keempat.
Saya kira pasar buku Online sekaligus minat
baca saat ini terus meningkat. Makin banyak pedagang baru yang bermunculan. Pembaca
buku sastra semakin banyak. Peluang untuk menerbitkan buku dan menjual buku
cukup besar. Meski sekali lagi, skala pasar ini tidak besar irisannya dalam
ranah bisnis perbukuan. Toko buku alternatif juga terus tumbuh, punya basisnya
sendiri, punya kegiatan dan acara yang bagus. Ada banyak pameran buku
alternatif di beberapa kota yang dikelolah oleh teman-teman sendiri, baik
sekedar lapak maupun event yang terencana semacam Kampung Buku Yogya ini.
Kawan-kawan yang luar
biasa,
Malam ini, saya berdiri
di sini, di hadapan saudara-saudara semua, sebagai perwakilan dari kawan-kawan
pelapak buku yang mencintai pekerjaan ini sepenuh hati. Tidak penting benar apa
yang saya tuliskan dan saya bacakan ini, tidak pula terlalu penting lagi, saya
atau siapa pun yang malam ini berdiri di sini, membacakan biografinya. Yang pasti, malam ini kita tak hanya
merayakan buku, tetapi juga merayakan mereka yang berada di belakang itu semua.
Beruntungkah kalian, wahai pekerja buku. Lihatlah, betapa meriahnya dunia
perbukuan kita, betapa ramainya penerbit yang muncul, betapa banyaknya pedagang
buku yang berkumpul dalam satu momen. Sangat puitik, sangat puitik.
Dunia terus bergerak,
Bentang boleh ganti pemilik tetapi tetap lahir Mata Angin dan Mata Bangsa.
Jendela boleh berganti rupa, tetapi melahirkan Octopus yang tak kalah kerennya.
Ada Diva Press yang melahirkan Basa-basi, ada media Presindo dengan Narasinya,
Ada Iboekoe, Mojok, OAK, IBC, Gambang, Kakatua, Interlude, Papyrus, Nyala,
Kalabuku, dan puluhan nama penerbt lain yang berderet di belakangnya. Ada
banyak penerbit yang lahir hari ini dengan misi masing-masing, dengans egmen
tersendiri.
Inilah hari raya kita,
para penerbit indie dan pelapak buku. Di luar itu semua, tentu ada kemungkinan-kemungkinan
keriuhan sebagaimana yang diramalkan Mas Adhe dalam buku Declare! Yang luar
biasa dasyat itu. Tugas kita setelah ini untuk duduk bersama di belakang layar
untuk membicarakan hal-hal krusial seputar perkembangan perbukuan hari ini.
Tentu tak sekedar duduk bersama, tetapi menghasilkan kerja bersama yang
kekuatannya jauh melebihi sebuah pameran. Pembicaraan intens seputar buku apa,
bagaimana hasil terjemahannya, bagaimana tampilan bukunya, kemasannya, hak
cipta dan sebangsanya. Dan masa krusial itu semakin dekat, Jendral.
Hari ini bergembiralah
sejenak. Biarkan pembaca memilih sendiri bacaan yang mereka suka. Tugas kita
menyiapkan karya terbaik dan menyuguhkan dengan apik.
Kiranya saya cukupkan
sampai di sini.
Wasalamulaikum w.w.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar