5 Des 2013

#Kamisan Lem Kertas; Getah Kedondong, Koran Bekas

Yang penting tanggungan ini bisa diselesaikan, soal apa yang saya tulis tak lagi jadi soal. Hanya yang punya waktu banyak saja yang mau membaca ini sampai selesai.

Satu-satunya buku terbaru yang pernah saya beli adalah Majalah Bobo tahun 1994, ketika saya kelas 5 SD dan pertama kalinya ke kota. Saya kurang suka tampilan Majalah Bobo terbaru itu karena refensi saya hanya majalah-majalah bekas belaka yang saya (usahakan bisa) beli setiap pekan. Banyak cara untuk bisa sampai ke pasar yang hanya seminggu sekali itu. Bisa ikut sama tetangga, atau merayu ibu jauh-jauh hari agak kopi yang dijemur segera ditumbuk dan dijual. Siapa yang bisa ke pasar membeli bawang-cabe dan sedikit kue jika ke pasar hanya mengandalkan 2-3 kilo kopi mentah? Saya, saya orangnya. Penjual obat di pasar itu telah menggoda saya. Tidak bisa tidak, begitu sampai di Pasar Surantih dari mobil L300 yang diberi tenda itu berjalan pelan, saya melompat seperti kuda dan satu-satunya tempat yang paling mendebarkan adalah payung dari jahitan karung tepung dengan mikrofon mendesis di tengah keramaian.

Ah ya, seringkali saya lupa sekilo-dua kopi yang saya tenteng. Itu godaan. Ular, ular, dan selalu ada sulap ular. Sebenarnya bukan sulap juga jika dia hanya membiarkan sebuah kotak kayu berisi ular yang lesu seperti orang tua yang lama impoten. Tapi itu ular dan itu penjual obat, dia pesulap, asu, dia selalu tampak begitu mengagumkan. Saya tak pernah tahu apa yang dijualnya.

tempat kedua yang saya tuju setelah memenuhi pesan ibu, membeli bawang-cabe tentu saja lapak majalah bekas itu. Satu-satunya di pasar kecamatan kami, satu-satunya di dua kecamatan; Sutera dan Batang Kapas. Majalah Bobo bekas itu dan sesekali Majalah Ananda satu-satunya yang membuat hari minggu jadi berbeda.


Dan hari itu, ketika saya liburan kelas V SD saya dibelikan Majalah Bobo baru dengan desainnya yang garis-garis. Saya terlambat mengikuti zaman. Imajinasi saya sudah dimamah habis si tukang su;ap sialan yang bisa mengikat orang, lalu dikurung tiba-tiba hanya menyisakan rantai dalam kotaknya.


Lalu apa rencana saya dengan narasi pembuka yang tidak jelas tadi? Tidak ada, saya berharap tulisan ini akan sampai pada satu bagian: lem Kertas.

Ah ya, dipecah saja bahasannya barangkali. Lem pertama yang saya kenal adalah nasi. Gambar-gambar kapal dan pemandangan gunung dan laut serta gambar sekolah SD saya, tiga biji gambar yang jika kau suruh aku menggambar kini hanya ada tiga gambar itu saja yang bisa kugambarkan. Tiga itu saja; kapal, pemandangan, dan sekolah. Dan percayalah belum ada improvisasi bentuk apa pun pada gambar saya ini.

Lem kedua adalah ketah batang pohon kedondong. Pohon kedondong dengan getahnya yang mengeras bak permata itu adalah anting yang kami kaitkan di telinga, dan getahnya yang basah adalah lem paling sederhana di dunia.

Lem ketiga yang paling kuat untuk membuat layangan adalah lem dari pelepah pohon sagu. Itu lem nomor satu untuk kertas layangan. Ringan dan lembut. Pelepahnya yang tua bagus untuk bikin mobil-mobilan. Bicara layangan dan mobil-mobilan, saya hanya bisa bikin kerangka layangan yang mirip salip dan tak pernah bisa merekatkan. Mobol-mobilan saya selesai sampai di sasis.

lem lainnya, ah kalian pasti belajar di sekolah, itu dari tepung yang dimasak dan bisa dimakan. Saya tak berbakat di percobaan semacam ini. Saya lebih percaya pada getah nasi untuk gambar-gambar saya yang ditempel pagi hilang sore, serta getah kedondong yang cukup kuat untuk merekatkan koran di dinding kamar.

Koran di dinding kamar. Nah, saya suka sekali dengan ini, Bayangkan, kamarmu penuh dengan tulisan dan gambar. kamar saya juga pernah direkat dindingnya dengan kertas koran, menggunakan getah kedondong. Alasannya sederhana, itu untuk menutup bolong-bolong dinding rumah. Hampir semua orang kampung kami yang masih punya dinding papan menerapkan pola manis ini.

Kebiasaan saya yang kurang ajar adalah membacai sisi terluar koran-koran yang terpajang di dinding lalu penasaran dengan apa yang ada di sebaliknya. Saya curiga jangan-jangan ada Acara Televisi Hari ini yang sungguh mati membuat saya lemas dan iri pada orang kota. Saya penasaran dengan semua acara televisi yang kami tak pernah tahu acaranya. Kompas selalu punya rubrik ini di antara berita-berita hiburannya.

Hal kedua adalah komik di Pos Kota.
 

Di kampungku waktu itu telah ada Kompas dan Pos Kota. Saya tak tahu apa karena Koran masuk Desa ataukah pembungkus cabai kiloan yang bisa dibeli eceran. Tapi Acara Hari Ini di Kompas itu sungguh menarik. Dan saya suka masuk ke rumah orang untuk membacai dinding-dindingnya. Sesekali, jika ada kesempatan saya akan merobek bagian tertentu dan melongkok halaman sebaliknya. Sebab selalu ada kejutan di bagian yang disembunyikan.

2013

Tidak ada komentar: