28 Sep 2013

Kutukan Puisi “Penyair Midas” Nanang Suryadi

Catatan Singkat Tentang Pembacaan Singkat

Dengan kedua belah tangannya, Midas mengubah apa saja menjadi sebongkah emas. Setiap yang disentuh, menjelma emas. Ini keajaiban sekaligus malapetaka bagi dirinya. Bagaimana ia bisa merasa bahagia jika setiap yang disentuh menjadi bongkahan harga berharga? Jika saja boleh berkehendak Midas tentu memilih apa-apa saja yang boleh menjadi emas, apa-apa saja yang tetap menjadi dirinya sendiri. Itulah takdir, ia punya kemampuan merubah apa saja menjadi emas, meskipun tak semua emas itu ia sukai.
Midas mungkin ingin berhenti, tapi ia tak berdaya. Ia menerima kutukan, satu sisi ia bias menciptakan kekayaan, di sisi lain, Midas kehilangan dirinya sendiri.

***
Nanang Suryadi merayakan usianya yang keempat puluh tahun dengan kumpulan puisi”Penyair Midas” dengan jumlah puisi yang tidak sedikit jumlahnya. Di usia yang masih terhitung  muda, sekaligus fase aman –usia yang melampaui fase-fase gamang para penulis seusia saya—Nanang mampu membuktikan bahasa yang liar itu masih tetap junak di tangannya. Di mata saya, Nanang adalah penyair produktif, akan terus produktif, dan secara tidak langsung mengejek penulis-penulis kacangan macam saya., baik secara substansi keberkaryaan maupun kuantitas karyanya.
Saya kira, di luar teori dan praktek-praktek kesasteraan secara akademik, Nanang adalah penyair yang sudah selesai dengan soal-soal dasar—yang seringkali membunuh penyair diawal kemunculannya– tentang teknis puisi. Artinya, hal-hal utama soal memadatkan imaji, pengaturan bahasa, logika kata, dan seluruh unsur esensi dari puisi cukup menjadi perhatiannya. Sekali lagi, dalam hal ini Nanang seperti mengejek saya dan sejumlah penulis yang lahir belakangan, yang masih kerepotan mengatur imajinasi, sok tidak peduli dengan tata bahasa, yang sebenarnya memang tidak dikuasai, bersitungkin dan sok sibuk ingin tampak berbeda justru diawal masa kepenyairannya. Kurang ajar, Nanang menelanjangi saya, dan seharusnya sejumlah penulis lainnya.
Dalam menulis puisi, Nanang tidak sedang  menunggu mood, mencari tema yang enak, serta merenung berkepanjangan. Seorang Nanang tentu sudah lepas dari jebakan godaan kata-kata, menulis bait-bait klise, sok asyik, dan segala unsur-unsur yang sok ideologis ala penyair pemula. Nanang menulis puisi dengan beragam tema, dengan beragam rupa, serta bermacam upaya penciptaan. Dalam berpuisi, Nanang yang menciptakan momen, bukan dihadiahi keberuntungan. Hal-hal yang tampak biasa, di mata penyair Nanang, menjadi kalimat-kalimat indah yang bisa dia tafsir lewat puisi. Upayanya layaknya seorang fotografer menangkap momen biasa, menjadi penting pada waktunya. Nanang terus berdialog dengan puisi, menjadikan pembaca sebagai rekan bicara, sesekali hal-hal yang eksistensialis dia gugah, mengajak pembacanya berpikir lagi, dan lagi.
Nanang seorang yang terbiasa dengan puisi, memecah satu tema menjadi beragam puisi, karena ia tahu bagaimana cara bermain-main dengan kata dan irama sampai tercipta sebuah puisi. Dalam kerja kreatif, Nanang adalah orang yang mengendus lewat intuisi. Nanang menulis dan sepenuhnya menulis puisi di antara keseluruhan kerja kreatif dia yang lain. Nanang tampak tak pernah kerepotan. Ia seperti memiliki tangan lain yang bekerja untuk puisi, menyediakan satu ruang  di kesibukan kepalanya untuk menghimpun kata, menyusun tema, merangkupnya dalam beragam gaya dan tema.
Seperti Midas, Nanang memiliki ‘berkah’, sekaligus malapetaka untuk dirinya. Ia seperti tak diberi kesempatan sedikit pun untuk berehat, memilih tempat, suasana, momen, dan tema untuk puisinya. Ia tidak bias menolak kutukan itu. Nanang tidak memilih, tetapi dipilih. Ia mesti menjalani kutukan itu: menulis, menulis dan terus menulis, mengubah apa saja menjadi puisi.
***
Tulisan ini tidak meniatkan diri sebagai sebuah kajian, melainkan hanya pembacaan sambil lalu belaka. Untuk membongkar bentuk dan isinya biarlah menjadi tugas kritikus dan mereka yang mumpuni di bidang itu. Tugas saya sebagai kawan yang sama-sama menyenangi dunia sastra, adalah berenang di dasar itu semua, sebab sebagai orang yang tak bias berenang saya tidak berani maju ke lubuk yang dalam. Yang menjadi perhatian saya secara umum sekaligus bentuk “keiri-hatian’ adalah soal “berkah” yang dimilik Nanang, seorang yang bekerja di luar sastra, masih tetap tekun dalam berpuisi. Orang-orang sejenis ini bagi saya adalah “musuh” yang mesti ditiru.
Dari sekian banyak puisi Nanang dalam kumpulan Penyair Midas ini, sejauh pembacaan singkat saya terhadap puisi-puisi ini, saya melihat ada tiga kecenderungan yang cukup kental dalam kumpulan puisi ini. Kecenderungan pertama adalah, puisi yang ditujukan/dipersembahkan kepada seseorang atau beberapa orang sekaligus. Saya menyebut Nanang sebagai Midas dengan kekuatan yang berbeda. Nanang mengubah banyak hal menjadi bait yang enak dibaca. “Kerakusan” kreatifnya mampu mengubah, misalnya sebuah obrolan biasa, baik-langsung maupun tak langsung, menjadi sebuah puisi. Bahkan, obrolan via mensen-mensenan di twitter pun tak berhenti menjadi dokumentasi di sampah internet, melainkan obrolan yang bisa ia sulap menjadi emas kata. Lihatlah Nanang yang cekatan dalam puisi yang ia tujukan kepada orang lain tersebut. Puisi persembahan ini bisa berwujud persembahan murni kepada seseorang, ada juga puisi yang seperti merespon sebuah momen bersama beberapa rekan, maupun puisi kepada orang berdasarkan ingatan dan kenangan.
Kecenderungan kedua dalam kumpulan ini adalah puisi tentang puisi. Nanang tidak hanya mencipta dengan mencari-cari tema yang ganjil, diksi yang muskil, tetapi memotret apa yang ada di hadapan lalu menyulapnya jadi puisi. Hal itu terlihat dalam puisi-puisinya yang berisi soal-soal tentang puisi. Dalam jenis puisi ini bias ditangkap kegelisahan Nanang sebagai seorang penyair yang tetap tidak merasa berada di “posisi aman”. Ia gelisah, ia meraba-raba, mencari-cari kemungkinan lain dan tafsiran terhadap teks dan puisi.
Kecenderungan ketiga soal tempat. Dalam kumpulan puisi ini, kecenderungan ini tampak tak terhidarkan. Dalam kumpulan yang cukup tebal ini, Nanang mendokumentasikan semua perjalanannya dalam bait sajak. Kutukan tak berhenti ketika ia mesti melakukan sebuah tualang lain, justeru perjalanan, tempat baru membuat tangan dan pikirannya tak pernah bisa istirah. Tak hanya bait-bait tentang beberapa kota di Eropa, beragam tempat di negerinya sendiri tak luput dari permainan tangan ajaibnya dan mengubah sepenuhnya menjadi puisi.
Di luar tiga kecenderungan tersebut, Nanang juga menulis persoalan sosial, eksistensialis, dan teologis. Pembagian kecil yang saya bikin bukanlah standar yang utuh, hanya pemantik bahwa Nanang sebagai seorang penyair, masih mencari-cari bentuk untuk bahasa ungkapnya, untuk menjadi fokus pertatiannya. Sejumlah sajak ini memperlihatkan kegelisahan dan kegamangan Nanang sekaligus bentuk ketidakpercayaan dirinya terhadap satu bentuk dan bahasa ungkap dalam puisi-puisinya.
Nanang adalah Midas yang masih belum puas dengan kreasinya. Dia belum berhenti sekaligus merasa belum menemukan titik aman.
***
Sebagai seorang yang produktif dan menulis puisi untuk momen dan cara yang beragam, saya tidak tahu apakah  Nanang adalah penyair yang peduli dengan semua efek-efek serta resiko kepenyairannya. Dia memang penyair yang sudah selesai dengan problem-problem dasar puisi dan kepenyiran, namun ia masuk ke babak lain dalam dunia puisi, soal kedalaman. Bisa jadi Nanang tidak peduli dengan respon kritikus terhadap karya dan prosesnya, namun Nanang tetaplah penyair yang gelisah dengan keberlanjutan puisi-puisinya. Benar memang, bersibuk-sibuk dengan kritik bukan hal yang dia perhitungkan, namun nasib-nasib anak rohani tetaplah menjadi buah kegelisahannya. Inilah beban Midas itu. Satu sisi, ia hanya sibuk mencipta dan sepenuhnya mencipta, namun di sisi lain dia memiliki keraguan atas hasil karya kreatifnya.
Ini adalah kutukan yang ditanggung Nanang sampai nanti. Ia tidak akan pernah bisa berhenti menulis puisi. Kerja kreatif ini bisa jadi tidak berhenti ketika ia membuang pikirannya ke konteks yang lain. Puisi bagi Nanang adalah kebiasaan. Sadar atau tidak, kedua tangannya telah menggubah peristiwa menjadi sebongkah emas kata. Bagi saya, kutukan yang ditanggung Nanang nikmat juga.
Resiko penyair yang terlalu produktif tidaklah sedikit, Nanang Suryadi sedang berada di titik ini. Meski ia melepaskan semua yang ditulis kepada pembaca, menyerahkan sepenuhnya pembacaan tersebut kepada publik, tetapi beban dan tanggung jawab pastilah ada. Bisa jadi inilah kegamangan “Penyair Midas” ketika semua hal yang disentuh berubah emas.
Dia bukanlah  Midas dalam dongeng Donal Bebek, serigala yang berambisi menyantap sahabat dekat sang anak, melainkan Midas yang yang mengubah apa-apa menjadi sehimpun sajak, lalu “membaginya” kepada publik. Midas yang serupa Robin Hood, mempersembahkan emasnya, baik yang dia inginkan maupun yang tidak dia inginkan kepada orang banyak. Toh di tengah masyarakat yang cukup apatis dengan puisi selalu saja ada orang yang mau meluangkan waktu untuk menikmati keindahan puncak bahasa ini. Meski resikonya adalah tenggelam dalam hingar-bingar pasar kecil kesusasteraan. Nanang telah mencipta dan mesti mulai menyeleksi juga mana yang emas murni, mana yang setengah emas.
Sunggun berat menjadi Nanang di tengah hibuknya jagatraya ini. Sebab tidak semua hal menjadi emas, tidak semua emas adalah murni, tapi dia punya tangan yang terus bergerak tanpa melepaskan kerja kreatif lain laiknya manusia normal. Nanang adalah Midas yang terbiasa dengan kutukan kata, yang masih nyaman dengan kutukan ini. Tidak, tidak melulu dengan tangan, dalam puisi, Nanang pun sepenuhnya menggunakan seluruh indranya.
***
Nanang telah dikutuk untuk selalu menulis puisi. Kutukan yang indah di zaman ini. Dan Nanang menanggung itu semua sampai kini. Hasil dari tangan kreatif Nanang ini adalah sentuhan Nanang terhadap beragam soal, beragam hiruk-pikuk zaman, centang-perenang kebudayaan, rusaknya tatanan moral, kacaunya kehidupan sosial. Ia menangkap semua dan memberikan Sentuhan Midas pada puisi-puisinya. Inilah Sentuhan Nanang…. Ciyus, miapa?

Yogyakarta, 03/07/2013

Indrian Koto, penyuka sastra dan berdagang buku sastra.

Tidak ada komentar: