30 Sep 2013

Anto dan Ingatan yang Terang Setelah Ia Pergi


Sepupu saya itu bernama Anto

Bahkan saya tidak tahu nama panjangnya, tidak tahu tanggal dan tahun lahirnya. Kami dipertemukan beberapa saat yang panjang dan intim, lalu pertemuan-pertemuan singkat yang ganjil. Selebihnya adalah ruang kosong di antara kami, sebagai sepupu, yang intim, tetapi betapa jauhnya jarak itu.

Saya tak bisa menghapus dia dalam ingatan. Berkali-kali saya ingin menjadikannya tokoh dalam cerita saya terkait kenakalannya yang tidak masuk akal ditengah kenaifan dan ketololan masa kanak saya; meletakkan busi motor yang dibakar sampai merah, menyuruh saya melompat ke tempukan jerami yang dibakar, meludahi tangannya dan mengusapkan di rambut saya. Dia pula sekaligus yang mengenalkan hal modern kepada saya lewat sebotol aqua. Dunia modern yang tidak saya percaya pada mulanya, namun saya hormati dirinya dalam ingatan. Bagaimana mungki air hambar itu dikemas dan dibeli orang? Bagaimana ingatan yang memalukan itu terus ada dalam pikiran saya?

Dia nakal luar biasa, begitu yang saya ingat tentang dia. Anto anak yang bandel, begitu seluruh keluarga besar kami mengatakannya, meski saya tidak tahu kenakalan macam apa lagi yang ia lakukan termasuk kepada saya ketika itu. Yang saya ingat adalah kata-kata amak, ibu saya, ketika itu, "Dia anak yatim."

Anak yatim, saya juga ingat Izal, sahabat saya di waktu kecil yang kehilangan Ibu dan bibinya dalam jarak 3 hari lantaran muntaber. Dia juga nakal, dan saya jauh lebih ingat kenakalan teman SD-SMA saya ini ketimbang kenakalan macam apa yang diperbuat Anto, sepupu saya yang kehilangan ibunya ketika ia masih kecil. Bahkan saya tidak tahu, di usia berapa umur anto ketika ibunya meninggal dunia.

Dia dirawat kakek-neneknya di Simpanjang, kampung memanjang di tengah persawahan, belakang Pasar Surantih ibu kota kecamatan saya. Ingatan saya yang samar dan jauh, pernah datang dan tidur di rumah ini, dan titik pertama saya bertemu Anto pertama kali. "Ada abangmu di sana, anak uwanmu." Sayup dan samar aku masih bisa mendengar kata-kata amak sebelum membonceng saya naik sepeda dari Bukit Taratak melewati Lansano dan akhirnya sampai di Simpanjang. Sepanjang jalan, tentu saja saya tertidur dan kaki saya yang diikat dengan kain itu menjadi tebal dan mati rasa.

Anto, mencurikan saya nasi lamak yang dibikinkan ibu-ibu di dapur, Anto pula yang membawa saya ke belakang rumah neneknya, sebuah rimbunan pohon sagu tempat orang-orang buang hajat. "Ada musang terjepit," katanya. Jauh kemudian, ini juga menjadi istilah kami dalam keluarga, "Musang terjepit" hanyalah istilah, hanya tipuan. Tidak ada musang terjepit, kecuali kau hanya masuk perangkap, menemani orang buang hajat, buang air besar. Di pertemuan pertama, Anto memberi saya nasi lamak, sekaligus berhasil menipu saya.

Malam itu saya mendengar rabab pesisir dari dekat, di rumah tersebut, rumah nenek Anto yang kata amak masih kerabat dengan kami, rumah yang sampai hari ini, ketika saya lewat di Simpanjang yang tak pernah berubah, saya tak pernah hapal di rumah mana dulu saya pernah bermalam dan bertemu Anto pertama kalinya.
***
Di antara saudara jauh-dekat, Anto adalah sepupu yang nyaris tak banyak saya tahu.

Dia adalah anak lelaki dari kakak laki-laki amak satu-satunya. Anto anak tunggal dari uwan (mamak) saya. Ibu saya bersaudara tiga orang, Uwan Riki, yang meninggal sehari setelah kematian Soeharto, amak, dan adik lelaki amak yang merantau sejak remaja dan tak ada kabar hingga hari ini. Zainal namanya, keluarga besar kami kehilangan sekaligus tidak kehilangan. Dalam keluarga kami tak pernah berpikir beliau telah meninggal, tapi juga tak pernah punya bayangan adik bungsu amak itu akan pulang ke kampung ini sejak kepergiannya di awal tahun 80-an.

Samar pula kuingat, Uwan menikah dengan keluarga Induak bakonya. Nenek/kakek saya, salah seorang dari mereka, berasal dari Simpanjang, saya mengira-ngira mungkin kakek saya. Uwan, kakak amak, menikah dengan salah satu keponakan beliau. Kisah cinta yang menyedihkan, penh tragedi, permainan guna-guna, kemiskinan, dan tekanan yang luar biasa. Saya menemukan ini dari cerita-cerita ringan di keluarga, dari penuturan teman-sepupu uwan, dari surat-surat Uwan yang suatu waktu kutemukan. (Saya menyesal, kemana surat-surat itu kini, surat yang kubaca dalam ketidakpahaman logika orang dewasa kala itu). Dan artinya pernikahan uwan dengan bakonya tidaklah bisa diselamatkan. Saya lupa, apakah mereka bercerai dulu baru kemudian mintuo (istri mamak) saya itu meninggal, atau ia meninggal ketika masih suami-istri. kelak, saya harus mengetahui hal-hal yang tersembunyi ini. Saya berjanji.

Yang pasti, uwan hidup di rantau jauh, dan ia punya satu anak lelaki, anak yatim yang sudah kehilangan ibu di waktu balita. persisnya entah di usia berapa. Anto yang susia dengan kakak perempuan saya. Itu yang saya ingat.
***
Ingatan kedua saya tentang Anto, ia tinggal bersama kami sekeluarga, dengan seluruh pakaiannya. Saya tidak tahu di usia berapa saya dan dia tepatnya, yang pasti kakak perempuan saya mungkin baru kelas 1-2 SMP, saya sekitar kelas 4-5 SD.

Entah bagaimana, Anto memilih tinggal bersama Eteknya, amak saya. Kata amak, Neneknya, yang masih punya ikatan keluarga jauh dengan amak, sudah capek dengan kenakalannya. Jelas, Anto sudah tidak sekolah.

Entah berapa lama ia tinggal bersama kami dengan kenakalanan yang absurdnya terhadap saya. Dia selalu cengengesan dengan suaranya yang sudah masuk di usia puber. Lalu ia merantau ke Dumai entah berapa minggu atau bulan, lalu uwan saya menikah lagi, kali ini di Taluak, Ujung Batu. Anto masih datang ke rumah kami sesekali. Dia sudah remaja, jadi rasanya ia tak lagi butuh rumah. Lalu saya mulai kehilangan memori tentang Anto sejak di sini.

Beberapa tahun sekali kami masih bertemu, tapi sudah tak akrab. Ia masih cengengesan sambil menggaruk-garuk kepalanya dengan rambut setengah gondrong yang berantakan. Sekali waktu saya bertemu dia di muara dengan panu di sekujur lehernya, lain waktu dia berdandan dengan rapi, tapi tak menghilangkan kesan kumuh dan urakan di wajahnya.

dan rasanya, sesekali waktu dia pernah memberi saya uang, dan sesekali dia pernah meminta dibelikan rokok oleh saya.
***

Anto menikah, itu juga entah di tahun berapa dan di saat saya dalam kondisi dan usia berapa. Dia saudara saya yang sesekali jauh, sesekali dekat tanpa perlu tahu akan banyak hal. Kami terbiasa dengan yang sepenggal. kami terbiasa dengan yang datang dan yang hilang. Anto adalah satu dari kisah samar dan buram dalam keluarga besar kami.

Saya menjumpai Anto dalam potret-potret tak terlalu direncanakan dalam keluarga. Dia selalu hadir dalam acara baik-buruk di keluarga. Dia menikah di Batang Kapas, memeliki satu anak perempuan yang hitam manis. Sepanjang tahun-tahun yang hilang itu, yang sebenarnya tak juga hilang, saya bertemu Anto selintas atau bersua sambil saling mengangkat tangan belaka.

Terakhir, ketika saya pulang 3 tahun lalu amak bercerita. "Anto tidak mau singgah di rumah. Dia mungkin malu dan sengaja menghindar." Katanya Anto meminjam sekarung-dua padi dan karena belum dikembalikan sesuai janji, dia jadi tak berani singgah di rumah. Tapi bisa jadi bukan karena itu. Anto adalah orang yang datang dan hilang sesukanya.

Anto adalah peristiwa kehilangan dan semata kehilangan.
***
Dan cerita buruk ini aku dengar dari amak sore ini, minggu 29 September 2013. Pada kalian ingin kukusahkan dengan singkat, seperti inilah seharusnya tulisan saya dari tadi:
Awal bulan september ini Anto ikut adik iparnya ke Papua. Adik iparnya yang sudah berkeluarga itu bekerja di Papua di toko eletronik. Anto diajak serta. Seminggu pertama Anto bekerja, minggu kedua dia sakit dan dirawat. Sekitar 15 hari setelah ia di papua, Anto meninggal di sana. Amak bercerita, ini adalah hari ke tujuh Anto berpulang.

Lama saya terdiam, lama saya bermenung, di tanah jauh dari kampung itu kini Anto berbukur, setelah lebih dulu Ibunya pergi dan disusul oleh ayahnya, kini Anto telah menyusul, dari tanah yang jauh. Tanah yang rasanya sangat sulit diziarahi.

Kurasa banyak yang saya tak tahu dari Anto, kakak sepupuku yang tertawa sambil mengusap rambut itu. Di antara ketidaktahuan dan sepenuhnya kehilangan, saya menulis ini. Saya sepenuhnya kehilangan, Saya sepenuhnya menyesali tahun-tahun kami yang hilang sebagai dua saudara.

Aku ingin menulis Anto, suatu saat nanti tidak dengan ketidaktahuan seperti sekarang. Saya ingin dia hidup, kelak, dalam satu-dua cerita saya. cerita yang satu-dua masih tersimpan dalam dokumen saya barang satu-dua paragraf. Sudah lama saya ingin menulis kenakalan Anto sekaligus salah satu orang yang mengenalkan dunia modern kepada saya lewat sebotol aqua. Namun ternyata, ia ingin ditulis dalam obituari yang samar ini. Obituari yang sebentar lagi tertimbun seperti makamnya yang tak terjelang.

Anto, udaku, kali ini aku merasa sungguh merindukanmu, mencintaimu dengan ingatan yang samar ini. Tuhan tahu di mana orang sekuat dan setegar dirimu kini ditempatkan. Saya percaya, tempat itu adalah tempat terbaik, tempat di mana kau mungkin akan bertemu ayah-ibumu. tempat yang semoga Allah berkenan, jauh dari petaka-petaka dunia; guna-guna, gunjing dan romantika nasib.

Yang sedikit ini, cukuplah bagiku untuk mengenang sepupu yang hebat, Anto namanya. Sepupu yang kalau pun kini dia masih ada, saya tak tahu apakah ia bisa membaca tulisan saya atau sama sekali tak mampu mengeja satu huruf latin pun.

Hidupmu demikian pahit, dan ziarah untukmu pun demikian sulit.

Senin dinihari, 30 September 2013

2 komentar:

Perjalanan Sunyi mengatakan...

Keren meeeeeeeeeeeen....

Alris mengatakan...

Sadiah ambo mambaconyo. Semoga Anto ditempatkan ditempat terbaik disisi-NYA, aamiin.