14 Jun 2013

“Malam Jahanam” memang jahanam



Malam Jahanan karya Motinggo Busye yang memenangkan hadiah pertama Sayembara Penulisan Drama yang diselenggarakan Bagian Kesenian Depertemen PP & K tahun 1958 hingga saat ini masih sering dipentaskan karena dianggap memiliki kekuatan teks dan kedalaman karakter ketokoan. Naskah ini bercerita tentang masyarakat pesisiran di pedalaman Sumatera yang sedang mengalami pergesaran budaya. Dia berhasil membidik karakter-karakter khas ala pesisir yang notabene keras, riuh, penuh omong kosong dan kata-kata besar. Juga terlihat dominasi-dominasi kekuasaan kolonial yang ditinggalkan.
  
 Dalam naskah ini, Motinggo menciptakan sebuah malam yang penuh kejutan. Bermula dari Beo Mat Kontan yang tiba-tiba mati peristiwa pun menjadi simpang siur hingga tersingkaplah masalah perselingkuhan, intrik, dendam dan kebencian di dalamnya.
    Sebuah kejutan yang luar biasa. Dari awal pembaca/penonton akan disuguhkan dengan tampang Mat Kontan yang angkuh, besar omong dan tak terkalahkan, yang begitu mencintai burung-burungnya ketimbang anak dan istrinya. Sampai-sampai ketika Si Kontan Kecil sakit, Mat Kontan masih menggigaukan burung-burungnya.dia menggumam, “persetan dengan Si Kecil. (melamun sejenak, dan tersadar) Oh, maksudku, persetan penyakit.”
    Lalu ada Soleman yang dingin dan misterius. Dari awal kita digiring bahwa pemuda kalem ini seorang yang jujur dan memiliki jiwa sosial yang tinggi. Hal ini terlihat dari kepeduliannya pada keluarga Mat Kontan. Juga ada tokoh Paijah, perempuan rumahan yang lebih banyak menghabiskan waktu bersama anaknya. Perempuan yang tabah, katakanlah. Lalu Utai, seorang tolol yang kadangkala bisa licik juga. Dan sebagai tokoh terakhir ada Pak Pijat yang buta tetapi menguasai seluk-beluk dan memahami persoalan sekitarnya.
    Ini yang menarik dari naskah ini. Semua karakter dicampur adukkan dalam sebuah naskah yang terjadi dalam satu waktu saja. Penonton dipaksa memahami peristiwa, menyelami karakter masing-masing tokoh dalam waktu itu saja. Dalam pandangan Motinggo, tidak ada orang baik yang sebaik-baiknya, sebaliknya tidak ada orang jahat yang sejahat-jahatnya.
    Kita lihat misalnya, Mat Kontan yang sedari awal terlihat angkuh dan a sosial, ternyata hanyalah seorang yang memiliki ambisi besar tetapi takluk pada perihal kecil. Di luar dugaan ternyata dia seorang yang memiliki perasaan yang halus juga. lihat, betapa kecut dan takutnya dia ketika Soleman mengungkit perihal Mat Kontan yang nyaris mati ketika terperosok ke pasir boblos (penghisap). “Kalau bukan kau yang menolongku, Man, aku tak akan bisa melihat dunia merdeka ini lagi.” Atau ketika Motinggo memunculkan sisi feminis dalam karakter Paijah yang rumahan dan terlihat patuh itu, ia mengancam Mat Kontan dan berniat meninggalkan rumah, Mat Kontan dengan memelas dan tiba-tiba berucap, “Barangkali di desa kita sedang musim penyakit. Bawa si kecil masuk ke dalam.” Kalimat ini menyiratkan bahwa di balik kecintaannya kepada burung, ia masih memiliki kepedulian kepada keluarganya.
    Lain lagi dengan Soleman dan Paijah yang sedari awal ditampilkan dengan karakter yang kalem, dingin dan sederhana. Pun seorang Utai yang bodoh tetapi memiliki sikap yang besar, berani dan patuh. Soleman dan Paijah adalah seorang yang baik di mata Utai, diam-diam memiliki persolan terselubung.
    Di sinilah permainan teks psikologi yang digarap manis oleh Motinggo. Mat Kontan pada dasarnya adalah laki-laki impoten yang tak bisa memberikan keturunan pada Paijah. Kontan Kecil yang dibangga-banggakan selama ini adalah hasil perselingkuhan antara Paijah dengan Soleman. Burung beo Mat Kontan yang mati adalah dibunuh oleh Soleman diam-diam, karena burung beo memiliki rahasia yang fatal jika diketahui Mat Kontan. Sebelum kematian burung itu, ia sering berkicau, “Jangan cuil saya, Man. Jangan cuil saya.” Beo itu menirukan adegan sebuah malam di mana Soleman berkehendak menggauli Paijah.
    Soleman yang ditampilkan sebagai teman yang baik, tetangga yang serupa saudara, teman mengobrol yang asyik namun diam-diam menginginkan paijah.dan dengan gaya khas orang licik dia memegang kelemahan Mat Kontan untuk menjatuhkan, kalau Mat Kontan sedang melagak.ini suatu kejutan karena Soleman orang yang paling di percaya Mat Kontan.
    Motinggo juga membidik soal kecil yang barangkali luput oleh kita bahwa dia sedang menampilkan sisi paradoksal di sana. Soleman sebagai seorang nabi adalah seorang yang welas asih dan mencintai binatang (Sulaiman). Tetapi Soleman dalam Malam Jahanam adalah seorang yang sadis dan kejam. “Lehernya berdarah.” Kata Utai tak kalah dingin.
     Inilah yang menarik dari naskah Motinggo Busye, bahwa dia menghadirkan sosok yang samar-samar. Karakter-karakter dibangun dengan penuh kejutan. Bahwa seorang yang tampak polos seperti Soleman ternyata tak lebih baik dari Mat Kontan yang suka membual. Begitu pun Paijah, istri yang manut, ternyata memiliki keberanian untuk berbuat serong.
    Jika boleh dikritik barangkali adalah ending yang digarap beruntun dan tergesa-gesa; Utai Mati tertabrak kereta dan Kontan Kecil meninggal karena penyakit. Luar biasa. Padahal, jika runut mati dan tidak matinya Utai, persoalan Mat Kontan dengan Soleman tetap belum selesai. Motinggo sepertinya memang berniat memberikan kejutan yang bertubi-tubi, meninggalnya orang-orang yang tidak bersalah dan tak tahu apa-apa dengan peristiwa. Tetapi itu tak perlu sebenarnya, sebab tanpa kematian Utai pun, peristiwa sudah sangat menegangkan.
     Barangkali lagi, Motinggo ingin meninggalkan semacam rasa bersalah bagi tokoh-tokohnya, juga para  penonton tentu saja.
    Terlepas dari itu semua Malam Jahanam memperlihatkan kedalaman psikologis yang luar biasa sehingga naskah ini masih tetap hidup dan relevan di sampai hari ini.
  
Dari Arsip Lama
Sumber Gambar

Tidak ada komentar: