8 Des 2012

Karcis


Hari masih cukup pagi ketika saya berangkat ke kantor pos. Ada beberapa agenda hari itu yang berhubungan  dengan buku. Saya mesti mengirimkan beberapa paket untuk pemesan buku. Saya memilih kantor pos yang tak jauh dari kos. Kebetulan pula, ada motor yang bisa saya gunakan. Di depan kantor pos, ada bapak-bapak tua dengan kumis yang hitam-putih, bertubuh agak tambun dan tak sekali pun tersenyum mengulurkan kertas kepada saya. pekerjaan satu-satunya adalah itu. Selebihnya beliau duduk. Kalau ada teman, ia ngobrol dengan ekspresi dingin. keluar, saya menukar kertas yang sudah kusam itu dengan uang 1000. Bapak itu mengambiil uang dan kertas, kembali duduk.


Dari kantor pos saya harus ke bank dulu mengambil uang. Ada beberapa pesanan buku yang hari itu mesti saya carikan. Sekalian mencari stok buku yang sudah kosong. Syukur-syukur dapat buku sastra yang berbeda. Di bank, mas-mas berkumis menghadang saya. Pluit di bibirnya, hanya digunakan untuk parkir mobil. Tanpa tiket, sekeluar dari bank saya menyerahkan uang seribu kepadanya.

Dari bank, saya mesti ke toko buku yang terdekat. Ada beberapa judul buku yang sedang dicari ada di sana. Seperti biasa, sesobek kertas yang kusam nanti akan saya tukar dengan uang seribu.

Hari beranjak siang ketika saya mesti mencari toko buku lain di bagian utara. Toko buku di antara deretan pedagang HP, sepatu, tas dan pakaian. Di sini kadang ada keajaiban, beberapa judul buku 'bagus' tiba-tiba nangkring di sini. Toko buku yang berdebu. Meski di depak kampus tetap saja jarang pengunjungnya. Dulu ada dua toko buku di sini, sekarang tinggal satu ini saja. Petugas parkir menghampiri saya dengan sesobek kertas yang lebih kusam.

Benar saja, ada dua judul buku yang saya dapatkan di sini. tapi petualangan be;um selesai. Perjalanan masih panjang. Saya berputar ke selatan. Saya mencari buku lama di kawasan emperan toko buku yang terlupakan. Di sini mesti lebih telaten lagi. Berjejer toko buku yang sama berkabutnya dengan para pedagang. Tokang parkir yang tak kalah berdebu menghampiri saya menyerahkan selembar tiket.

Saya ke toko buku besar di dekat jejeran kios buku tadi. Lihat-lihat buku baru apa di toko buku itu. Saya masuk, petugas mencatat plat nomor motor dan memberikan sebuah balok kecil yang berisi angka pada saya. Semacam karcis juga. Saya parkir, masuk ke toko buku. Tak terlalu lama, tapi juga tidak terlalu sebentar jika ditunggu, saya keluar dan di depan saya menyerahkan tiket dan uang.

Selanjutnya saya mesti ke selatan dulu nih. Ke kantor pos. Ada yang mengirim duit pesanan buku pakai Western Union. Ups, fotokopi identitas dulu. jauhh di selatan. Fotokopi selembar itu cuma seratus, tapi ini fotokopian yang cukup besar dan harus antri. sebatang roko ada, ketika tanda pengenal saya selesai di fotokopi. Saya minta fotokopi tiga lembar saja. Malu rasanya kalau cuma satu. 5000, saya keluar. Ada petugas parkir yang menunggu saya dengan wajah mengkilap karena panas.

Ke kantor pos besar. Mengurus duit buku. Selembar tiket di kantong celana saya. Singgah dulu di barisan kios buku yang cukup besar dan ada lagi selembar karcis di kantong saya.

Demikianlah pagi menjelang siang saya. Tidak terlalu sibuk, tapi cukup banyak juga tiket yang saya terima. belum lagi siang itu saya harus berhenti di warung makan pinggir jalan, ke bandara, ke mall, ke toko apa, ke kedai mana.... Seringkali saya mendapatkan karcis parkir yang sudah usang, berkali-kali dibongkar-pasang di satu-dua kendaraan..

Itulah sebabnya di tempat parkir saya sering pura-pura kehilangan karcis.

Yogyakarta, 08/12/2012

2 komentar:

Anwar Agus Abidin mengatakan...

Mas Koto saat keluar dgn tujuan ke beberapa tempat,g saya ajak teman saja untuk saya pajang diatas motor sekaligus bertugas menjaga motor. lumayan ngirit tinggal belikan dia es teh yg 1500 an tanpa harus menerima beberapa karcis yg kucel. :)

indriankoto.blogspot.com mengatakan...

Saya juga seringkali menerapkannya :-)