26 Okt 2012

Abak, Radio dan Qurban



Mendengarkan streaming Radio Buku sore ini membawa ingatan saya kembali ke ladang. Jam segini, ketika matahari berubah rasa, berubah warna, rasa haus ledang tumbuh-tumbuhnya, semangat kerja sedang meluap, kami--saya dan abak--sayup-sayup dihibur lagu-lagu manis dari radio FM yang kami beli suatu malam di Kambang. Sore begini, kalau hujan tak sedang turun, tubuh kami basah keringat, berkilat, dan hitam berdengking. Meski kami senang jika ada awan menutup matahari, tetapi kami seringkali berharap hujan jangan dulu turun. Pertama, kami tetap panas, biarlah kulit kami menerima karmanya, asal gambir kering di jemuran, kedua, jika jam segini hujan, jangan harap bisa turun dari ladang mengingat jalan yang curam dan licin di antara hamparan ladang.


Apalagi yang dapat menghibur selain radio di tengah hutan yang berbah ladang—yang sebagian kembali menjelma hutan? Mulanya saya tak percaya bahwa kami akan bisa mendengarkan radio di tengah perbukitan begini. Hiburan hanya bisa didengar dari handphone Abak dengan suara jumbo. 3 buah baterai tetap tak bisa tahan jika digunakan mendengarkan rabab. Sekali lagi kami beruntung, dan saya setengah tak percaya, kami dihibur oleh radio.  Radio FM yang hanya bisa kami dengar dari perbukitan Taman Nasional Kerinci Seblat, hutan larangan, itu.



Rasanya betapa dekat kami dengan Alahan Panjang dengan radio Danau kembarnya, betapa dekat kami dengan Dharmas Raya dengan Dharma FM yang terletak 200KM dari kota provinsi. Betapa dekat kami dekat kami dengan Pekanbaru dengan RRI Pro 3 dan Pro 1 nya. Painan bahkan rasanya sejengkal saja ketika mendengar Painan Radio dan Langkisau FM dengan bahasa yang tak berbeda dengan Sushi FM atau Respon radio itu. Aih, Abak tak akan melewati Pantun Balega setiap malam, menemaninya mencetak gambir. Rasanya pula tak ada laut yang memisahkan kami dengan kepulauan mentawai begitu kami mendengar Surak FM. pernah pula kami tak merasa jauh dari rumah ketika Surantih FM sedang menyala. 



Menjelang sore begini, ah, betapa nikmat secangkir kopi dengan air bertalagan yang disedu dari api perebus gambir. Kopi hitam tanpa merek yang biasa dibeli setiap hari pakan itu akan tambah nikmat menghisap Gudang Cengkeh. Menjelang gambir masak di tungku, menjelang abak bersitungkin memeras getah gambir dan saya kembali ke cela-cela batang gambir dengan gunting di tangan, radio fm mampu mengusir kesepian kami sebagai orang gunung. Jam-jam segini adalah jam lapar tetapi selera makan akan hilang begitu melihat sambal yang itu-itu saja. Ah, abak makin pintar menggoreng dan bikin ‘samba’ yang enak.

Betapa akrab kami dengan radio. Waktu kanak, nyaris sepuluh tahun saya dihibur RRI pro 1 Padang, saat kami masih tinggal di ladang. Kini—waktu di mana saya ada di tengah ingatan itu—sekali lagi radio mampu menghibur kami. Waktu berubah, saya sudah besar dan tertatih-tatih naik turun bukit, bernafas –kata Anton—seperti hiu, menggunting daun gambir tanpa semangat seorang petani. Saya membiarkan kulit-kulit saya dihajar ranting dan duri, menyerahkan warna tubuh pada matahari 28 derajat. Apalah semangat saya dibanding abak yang puluhan tahun menjadi petani, yang kini usianya tak lagi mudah masih sanggup mengangkat beban dua kali lipat dibanding saya. Apalah saya yang lebih banyak duduk di atas pondok, memindahkan siaran radio dari yang satu ke yang lain, membaca tanpa semangat buku-buku yang saya bawa ketimbang abak yang gesit mengisi kapuk, mencari kayu untuk merebus gambil, mengangkat ampas gambir, mengisi bak, mengangkat beban yang tak terkira. Bukankah saya tumbuh dan besar di ladang, kenapa saya tak mewarisi semangat abak yang bisa bangun ketika subuh masih jauh dan melakukan hal-hal kecil tetapi penting sampai kabut lenyap. Ia memulai hari ketika embun belum jatuh dan menyelesaikan pekerjaan ketima matahari sudah benar-benar hilang di Samudera Hindia.


Abak ingin saya ada di rumah ketika Idul Adha datang. Lebaran haji yang tersisa beberapa minggu lagi waktu itu. Amak juga berniat masak lamang sehari sebelum hari raya datang, spesial untuk saya, Lamang Pulut Hitam. Keluarga kami memang tak berqurban, tapi di lebaran haji macam begini,s etahun sekali, kami tetap bisa memasak daging sapi. Mungkin karena suasana idul adha berbeda dengan idul fitri, di mana para perantau banyak yang mudik, saya memutuskan untuk segera meninggalkan rumah.

Kini saya kembali ke perantauan yang kadang rasanya seperti pulang. Abak akan pula pindah ke ladang di Timbulun sana, setelah menyelesaikan pekerjaan di Amping Parak. Tak ada cuti dan hari libur. Saya membayangkan kini abak dengan gunting di tangan, jika bukan tubuh bergelimang bau getah. Di Timbulun yang dulu terasa jauh, di situlah kini abak berladang. Ladang terjal dengan sungai berbatu, berair bening itu, rasanya abak tak akan bisa mendengar Pantun Balega dari Sushi FM, siang-siang dengan Hallo Dangdut dari Surak FM Mentawai. Abak tentu akan kehilangan hiburan dan seorang kawan. Tapi rasanya kini abak tetap akan bersemangat ‘menggampo’ gambir di Bukit Timbulu sana, tanpa radio sekali pun.



Di Timbulun, dengan air jernih, tanpa suara orang memotong kayu dan mengangkutnya setiap petang, kurasa abak akan makan lebih lahap. Sebab kini, kurasa Amak tak akan membiarkan abak memakan ‘samba’ basi dan nasi dingin. Mereka telah berkorban. Mereka terus berkurban sepanjang hidup, jauh lebih besar ketimbang sapi.

Sehabis Idul Adha abak akan kembali ke ladang, mungkin tidak membawa radio...


Yogyakarta, 2012

Tidak ada komentar: