7 Apr 2012

Mata Kucing


“Kau tahu apa yang aku rasakan?" Matanya yang suram menatapku dengan tajam. Aku tak bisa berkata-kata, meski banyak yang ingin kukatakan. Aku ingin melompat dan membiarkan ia menangis dalam pelukku. 
 
“Tidak, tidak. Kau tidak akan mengerti." Dia menggelengkan kepala, mengalihkan pandangan ke jendela yang terbuka. Sore bergerak dengan lambat. Ia mengusap anak-anak rambutnya setengah putus asa. “Aku terlampau kesepian dan larut dalam kenangan." 

Aku ingin menjerit sekuat-kuatnya, menolak takdir yang dibebankan kepada kami.

“Kau ingin mengatakan sesuatu? Kau?‘‘ Ia mengamatiku lebih dalam, menggeser kursinya agar lebih dekat lagi denganku. Seketika, wajahnya mulai berubah. Matanya lebih kelam dan dalam. Alisnya terangkat, bibirnya membuka, tangannya teracung lebih tinggi. 

Aku mendekatinya dengan pelan. 

“Tidak, aku tidak bisa.‘‘ Ia melompat dari kursinya. Mundur teratur, sambil menatapku dengan ganjil. Aku merasa amat kasihan padanya, melebihi rasa iba pada diriku sendiri. Aku tak bisa menahan keinginanku. Kerinduanku tak terjelaskan dengan apa pun. Aku melompat ke arahnya dengan segenap tenaga yang kumiliki.

Ia menjerit. Kukuku yang runcing dan tajam barangkali telah melukai kulitnya yang halus.
*** 
“Lihat, ini jenis Persia," katamu. “Ia kucing yang manis." 

“Aku tak suka kucing. Aku alergi dengan bulu-bulunya yang tertinggal di mana-mana. Aku punya saudara yang meninggal karena typus." 

“Ini hanya sebentar. Aku hanya minta kau merawatnya beberapa hari saja. Aku akan mengambil kucing ini setelah kembali dari rumah." 

“Baiklah, asal dia tidak masuk ke kamarku dan tak pernah menggangguku." 

Aku memang tak bisa merawat kucing. Suatu kali dia lari ke jalan dan aku mengejarnya. Segalanya berubah jauh dari apa yang kita mau, sejak itu. Kita selalu dikuntit mata takdir. 
***
“Kasihan sekali dirimu," seorang gadis kecil menyapaku lembut. 

Aku bersiap hendak pergi ketika dia berkata lagi, “Kau lapar, ya?" Aku menatap matanya, mencari-cari kesungguhan kata-katanya. 

Aku menyadari diriku yang kumal dan bau. Pertanyaan-pertanyaan semacam itu sering aku dapatkan di sepanjang jalan. Pertanyaan yang menunjukkan simpati sekaligus memperlihatkan kekuasaan. Mereka tahu aku lapar. Tubuhku, mataku, cara jalanku, menunjukkan bahwa betapa menderitanya aku. Aku, dengan sisi manusiaku, ingin mengatakan ‘ya‘ dan mempercayakan nasib buruk ini pada mereka. Tapi seringkali mereka menendangku, dan melemparkan aku ke jalanan yang keras.

Mereka puas melihat diriku yang tak memiliki kekuatan untuk melawan. Biasanya, sambil merangkak, aku akan mencoba lari, bersembunyi, menghindari kontak langsung dengan mata mereka. Di jalan aku menemukan banyak orang dengan tingkah yang nyaris sama, keras dan ingin menguasai. Aku berharap mereka memperhatikanku, mengenaliku, menyapaku dan sedikit berbasa-basi. Di jalan, sepertinya orang-orang kelewat sibuk dengan segala urusan. Dan aku, dengan tubuh yang tak sepenuhnya aku pahami mencoba bertahan dari itu semua.

“Kau lapar? Mau ikut denganku?" gadis kecil itu kembali berujar. Aku melihat matanya yang tulus. 

Ia mendekat. Aku mundur teratur dengan langkah takut-takut.

“Jangan begitu," kembali ia tersenyum. Ia mengusap kepalaku. “Ayo masuk, jika mau makan." 

Aku menengadahkan kepala. Dia tidak menendangku, tidak melemparkanku ke jalan. Aku menatapnya dengan haru. Matanya, aku seperti melihat sesuatu di sana.

“Ayo..." Ia kembali memanggilku setelah berjalan beberapa langkah menuju rumahnya. Aku mengikutinya pelan-pelan. Tubuhku terlampau letih untuk terus berjalan. Gang ini terlalu ramai. Aku takut dengan anak-anak yang akan menjadikanku bahan mainan. Aku ingin istirahat sekejap. Rasa lapar menguntitku setiap saat. Aku enggan berlaku seperti binatang, mengais-ngais tong sampah, mencari-cari makanan sisa. Rasa lapar memunculkan insting binatang. Dalam keadaan semacam itu satu-satunya impianku hanyalah dapat bertemu denganmu.

Aku duduk di teras rumahnya ketika dia masuk ke dalam. Aku mengamati sekeliling. Rumah itu kecil dengan halaman mungil. Di dalamnya pastilah tinggal manusia-manusia berhati lapang. Sesekali aku mengawasi sekeliling.

Di mana ini, tempat apa ini? Sudah berapa jauh aku berjalan?

“Wah, pintar sekali. Ayo makan." Tanpa malu-malu aku mulai mengunyah makanan yang disediakan. 

“Kau mau tinggal di rumahku?" Dia memegang bahuku. 

Aku tersedak. Ah, dia pasti bercanda. Tak akan ada yang mau menampung makhluk sepertiku. 

“Tapi jangan pernah dekati kakakku, ya?" 

Aku menghabiskan makanku. Aku ingin manusia yang baru kukenal ini cukup bahagia dengan sikapku. Aku ingin menunjukkan padanya bahwa sesunggunya aku penurut dan pantas dikasihani. Kalau pun nanti aku tetap pergi dari sini, aku memiliki sebuah kenangan manis tentang gadis kecil yang pernah mempersilahkan aku masuk ke rumahnya.

Rasanya di sini, bertemu dengan gadis kecil dengan bola mata yang mampu menyeretku pada masa lalu, aku akan mengakhiri pengembaraan. 

“Namamu sekarang Amigos, ya..."
***
“Tidak. Aku tidak mau ada makhluk apa pun tinggal di rumah ini." Sebuah suara dari dalam rumah mengagetkan lamunanku. 

Keributan kecil itu pasti diarahkan padaku. Apa kubilang. Rumah, tempat berlindung, masa lalu dan karma yang menguntit ke mana pun aku pergi.

“Aku gak suka. Kau tahu jika bertahun-tahun aku hidup dengan meratapi masa lalu. Kau ingin melukaiku dengan itu?" 

Terjadi lagi keributan yang susah kutangkap bahasanya. 

“Baiklah, asal dia tidak masuk ke kamarku dan tak pernah menggangguku."

Pintu dibuka. Gadis kecil itu segera menarikku masuk dengan perasaan riang. 

“Ingat, jangan terlalu dekat dengan kakak." 

Aku hanya diam dan tak ingin menambah masalah. 

“Lihat, Kak, jenis Persia. Namanya Amigos, tampan bukan?" 

Aku melompat kaget. Aku mengenal wajah itu. Aku mengenal wajah itu. Wajah yang barusan menolakku untuk tinggal bersamanya. Aku mengenalnya dan aku tahu seluruh perjalanan ini hanyalah untuk ini. 

Kini kau ada di depanku, tanpa mau memandangku sedikit pun. 

Aku sadar, kau tidak lagi mengenal diriku. Satu hal yang membuatku harus bahagia, pada akhirnya nasib mengantarkanku padamu.
***

Aku merasa kesulitan mendapati diriku dengan tubuh baru. 

Peristiwa itu telah mengantarku ke jalan ini. Aku menjadi makhluk yang sepanjang hidup sangat kubenci. Aku punya dua saudara yang meninggal karena typus dan asma. Kau mengira kaulah menjadi penyebab semua ini. Kau membuang semua kucing agar kau bisa lepas dari jeratan masa lalu. Aku ingin katakan, ini semata-mata bukan karenamu. Ada tangan lain yang sedang memainkan takdir kita. aku, tak sedikit pun menaruh sesal atas peristiwa lalu.

Di mana mata teduhmu dulu?

Kau tahu apa yang aku impikan saat ini, jika takdir mengembalikan kita pada asal mula? Aku akan mengajakmu tinggal di kaki bukit, di hamparan tanah hijau yang subur, di mana kali kecil dan bening senantiasa mengalirkan airnya jauh ke muara. Halaman penuh bunga karena kau pintar merawatnya. Rumah kecil kita terjepit di antara ladang-ladang gembur yang kita rawat penuh ketulusan. Aku-kamu, sepasang petani, capingmu kebesaran dan aku tak sering melihat wajahmu dengan benar. Pada hari-hari tertentu kita menukar apel kita dengan kentang, lada dan cerutu*. 

Dan kau boleh bahagia karena di sana kita akan memelihara banyak kucing. Banyak kucing!
***
Aku melihatmu tengah melamun di jendela. Sepanjang waktu aku menguntitmu. Sehabis rutinitasmu di luar, kau menghabiskan waktu di dalam kamar dan membiarkan jendela kamarmu tetap terbuka. Dari rimbunan bunga-bunga di halaman aku selalu memperhatikan dirimu tanpa memiliki daya untuk mendekat.

Beberapa hari lalu, sehari setelah aku tinggal bersamamu aku melihat pintu kamarmu terbuka. Aku masuk ke sana. Kau berteriak-teriak seperti orang gila dan melemparkan apa pun padaku. Kau trauma. Masa lalu telah menjeratmu untuk selalu menghindari apa pun yang berhubungan dengan kita. 

Hari ini, kesempatan itu berpihak padaku. Kamarmu terbuka dan kau duduk tepat di depan jendela. Di luar, gerimis semakin deras. Keluargamu sedang sibuk di depan televisi, dan gadis kecil, adikmu yang manis, barangkali sedang tertidur di kamarnya. Kau memiliki keluarga yang begitu menyayangimu. 

Aih, kehadiranku di rumah ini telah membuatmu terjerumus pada masa lalu. Aku terus saja melukaimu. Aku hanya membuat hidupmu sulit sejak dulu sampai kini. Seandainya dulu, aku tak mengatakan aku membenci kucing dan berpura-pura merawat makhluk kesayanganmu itu, tentulah kau tidak akan menyalahkan dirimu sehebat ini. Jika saja mobil itu tidak menabrakku ketika kucing Persiamu berlari ke jalan kita tak akan berakhir begini. Aku masuk rumah sakit, dan kau merasa menyesal telah menitipkan kucing itu padaku.

Tidakkah ketika aku sampai di depan rumahmu, kelahiranku yang baru di kotamu ini sebagai bentuk permainan-Nya? 

Aku merasa ini salahku, bukan salahmu. Aku bahkan tidak sepenuhnya kehilangan ingatan atas itu semua. Saat itu kita hanyalah dua orang mahasiswa yang terpisah jauh dari keluarga. Kau melipat pakaianku dengan kesedihan yang dalam. Sepanjang waktu menunggu sampai ajal menjemputku. Kau tak cukup mampu menatap wajah ibuku yang kehilangan seluruh miliknya. Tiga bujangnya selesai oleh kisah yang hampir sama.

Tidak ada yang sepenuhnya milik kita.
***
Kali ini aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan itu. Aku mendekatimu diam-diam. Kau menatap lurus ke depan, pada hujan yang mengirimkan dingin lewat jendela. Aku duduk tenang di sampingmu, pada sebuah meja yang dipenuhi kertas-kertas dan buku-buku yang tak terbaca.

Menyadari keberadaanku kau mengusap kedua matanya yang basah. Kau tidak menjerit dan mengusirku. Inilah kali pertama kita bertatap lebih lama dari biasanya.

Aku tahu kau kehilanganku begitu dalam.

Saat ini aku mungkin menangis, tapi aku sadar, tak ada air mata. Mulutku terkunci rapat. Aku menjerit sekuat-kuatnya, menolak takdir yang dibebankan kepada kita.

“Kau,‘‘ Kau mengamatiku dengan tajam. Matamu kelam dan dalam. Alismu terangkat, bibirmu terbuka, tanganmu teracung lebih tinggi. 

Aku mendekatimu dengan teratur. Ya, ini aku, yang pergi dari dunia hampir setahun lalu. 

“Tidak, aku tidak bisa," Kau mengingatkan aku pada peristiwa itu lagi. Kau melompat mundur sambil menatapku dengan ganjil. Aku merasa amat kasihan padamu melebihi rasa kasihanku pada diri sendiri. 

Aku tak bisa lagi menahan keinginanku. Kerinduanku tak cukup terjelaskan dengan apa pun. Aku melompat ke arahmu dengan segenap tenaga yang kumiliki. 

Aku hanya ingin memelukmu dan kuharap segalanya bisa terjelaskan. Kau mundur dalam hitungan langkah yang patah-patah.

Kau menjerit dan tampak kesakitan. Kukuku yang runcing dan tajam barangkali telah melukai kulit halusmu.

“Apa kubilang..." Kau berteriak lantang. Tubuhku terjerembab ke lantai. Penghuni rumah telah berdiri di antara kita. “Dia makhluk yang ganas," teriakmu sambil menuding ke arahku.

“Amigos, sini..." si gadis kecil memanggilku dengan mata berkabut.

“Aku tak mau ada kucing lagi di rumah ini," ujarmu sambil mengusap bekas cakaran di tanganmu. 

Kau menatapku dengan mata basah. Kukira inilah kali terakhir kau bisa menatap mataku: mata tulus seekor kucing. 

Yogyakarta, 2008-2011


* dikutip dari bait puisi Petani Apel, Mutia Sukma.

Tidak ada komentar: