21 Nov 2011

Tukang Sring

Saya tidak tahu kata yang benar untuk menunjukkan apa yang ingin saya ceritakan ini. Saya mendengarnya “sring”, namun dalam kamus bahasa Inggris imut warisan leluhur di kamar saya ada kata “string” dengan arti mengikat dengan tali, tali rami, tali gitar. Kata “sring” tak ada dalam kamus bahasa yang saya cari. Kata “string” sementara waktu lebih dekat dengan apa yang hendak saya maksud, namun karena saya lebih nyaman, maka saya akan menggunakan kata “sring” saja. Siapa tahu, anda, pembaca yang terhormat akan membantu saya mengungkapkan bahasa mana yang tepat sehingga saya bisa menggantinya dalam tulisan ini nanti. Bantulah saya. Bahasa asing itu seperti mantra buat saya: susah dirapalkan, susah pula untuk diingat.


Sementara terimalah otoritas saya sebagai pemilik cerita untuk menggunakan kata “sring” sebelum kata ini bisa disepakati atau nanti akan segera diganti. Tolong jangan tertawakan saya.

Dalam cetak-mencetak buku, ada banyak proses yang harus dilewati, sampai pembaca menyentuh, memilih, memperhatikan cover, membawa ke kasir, atau justru meninggalkan sambil mencibir. Buku yang kita baca, tidak ada begitu saja. Ia lahir dari pikiran pengarang. Seburuk apa pun buku, ia mengalami proses yang nyaris sama dengan buku-buku yang lain.

Buku itu seperti puisi. Tafsir kita tak selalu bisa objektif. “Bulu kuduk mesti berdiri,” kata Acep tentang puisi yang baik. Lalu buku? belum ada rekomendasi. Mungkin saja tampilannya, pertama-tama. Cover, judul, endorsement, bentuk dan semacamnya tentu akan mendapat perhatian para pembaca yang tak mengenal penulis dan judul buku tersebut sebelumnya. Tentu juga harga. Isi ada di dalam, ia terbungkus dalam plastik tipis. Tak selalu bisa kita menengok apa yang ada di dalam buku tersebut selain apa yang tampak di luar.

Buku tentu tak sekedar cover. ia membutuhkan seorang penulis. Tak soal bagaimana ide bisa tertuang jadi tulisan. Tak peduli juga bagaimana dia membikin tulisan itu. Yang menjadi fokus tulisan ini adalah, buku mengalami proses yang cukup panjang. Dari kerja menyunting, editing, lay-outing, cetak-ting, covering, lem-ing, potong-ing… panjang deh. Begitu buku selesai di lem, di satukan antara isi dan cover, dipotong, buku masih saja belum kelar.

Kerja berikutnya adalah sring. Ini yang saya maksud di awal tulisan tadi. Tukang sring menerima buku yang sudah jadi, siap diedarkan. Ia tak punya kuasa apa pun atas salah cetak, dan kerusakan apa pun. Namanya tak tercatat di keterangan buku, sebagaimana editor, penata isi, desai cover, hingga tukang foto penulis. Sebagaimana tukang cetak, nasib tukang sring tak lebih baik. Ia bekerja di bagian akhir, lebih sering ketika deadline menjelang.

Kerja akhir ini tak sederhana. Nge-sring gak bisa sendiri. Harus ada tukang potong kertas yang pas untuk buku, memasukkan buku ke dalam plastik, lalu mengunci keempat sudut itu dengan mesin potong kertas. Setelah itu buku masuk ke mesin panas yang berjalan seperti eskalator. Setiap buku mengalami kesulitan sendiri. Buku tipis memang membutuhkan kerja ekstra. Buku sering padat dan terlipat sehingga harus diulang. Belum lagi jika robek. Saya tak tahu, dari kesemua kerja ini yang mana sebenarnya yang disebut “sring” itu. Memotong kertas, memasukkan buku ke dalam kertas, atau proses pemadatan plastik sehingga pas jadi ukuran buku?

Setelah semua selesai. Buku dihitung, dimasukkan kardus dan siap diedarkan. Seberapa penting kerja tukang sring? Penting, dia menjaga rahasia isi buku. Tidak pentingnya, setiap orang dengan enteng merobek plastik pembungkus buku tanpa pernah peduli betapa membungkus buku bukanlah pekerjaan yang sederhana. Belum lagi jika plastik pembungkus itu susah dirobek. Uuuhh... bikin sebel kan? Lalu berapa bayaran tukang sring? Nol koma nol sekian persen dari harga buku.

Tukang sring seperti pahlawan tanpa tanda jasa. Ia menjaga buku dan rahasianya, melindungi buku dari kerusakan yang diakibatkan dari luar.  Ia ada, tapi terasa demikian tak penting. Ia pelengkap, tapi dibutuhkan. Ia bernilai tapi gampang diabaikan.

Yogyakarta, 21 November 2011