2 Nov 2011

Penghargaan Sastra Balai Bahasa Yogyakarta: Menyoal Penerbit dan Apresiasi Terhadap karya


Senin malam, 17 Oktober 2011 Balai Bahasa Yogyakarta memberikan penghargaan untuk kumpulan cerpen Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia karya Agus Noor. Dua nominasi lainnya adalah kumpulan cerpen Mata Blater karya Mahwi Air Tawar dan novel Dendam di Bumi Mangir karya Antonius Darmasto. Dalam rangkaian kegiatan itu juga diberikan penghargaan bahasa yang tidak ada pemenang. Tidak ada penghargaan terhadap penerbit seperti sebelumnya. Menurut panitia, hanya ada 15 buku sastra terbitan penerbit Yogyakarta yang masuk pada tahun ini. Pemberian hadiah ini dilangsungkan di Gedung Balai Pamungkas dengan konsep acara yang cukup padat.

      Melihat kegiatan yang berlangsung setiap tahun ini, kita perlu mengacungkan jempol atas konsistensi penyelenggaraannya. Kita berharap ke depan kegiatan ini semakin mantap, baik proses dan penyajiannya. Namun demikian, ada dua hal yang mengganjal pikiran saya dan semoga mendapat titik terang.

      Pertama adalah soal batasan buku yang masuk nominasi. Panitia mengakui, minimnya buku sastra yang masuk ke panitia, padahal panitia sudah berusaha “jemput bola' ke penerbit-penerbit. Panitia juga mengakui, hampir tidak ada penerbit yang mau menerbitkan karya sastra terutama cerpen dan puisi (MP Minggu II/Oktober 2011). Harus kita akui bahwa kejelian dan kecermatan penyelenggara sangat tepat, mereka berani mendatangi penerbit. Artinya persoalan tidak banyaknya buku sastra yang terbit dan tak laku di pasaran bukan semata-mata persoalan para sastrawan sendiri. Publik paham itu, dan Balai bahasa ikut mencemaskannya.

      Sulitnya penjualan buku sastra dan ketiadaan penerbit yang mau “rugi” melakukan “proyek gila” pada akhirnya tidak terlalu mematikan kreativitas penulisan. Cerpen dan puisi terus diproduksi. Ketika tak ada penerbit yang sudi menerbitkan buku sastra, penulis berusaha menerbitkan sendiri karya mereka dan tentu memodalinya sendiri. Tidak banyak memang, tetapi selalu ada. Jika kita hitung sepanjang tahun 2010 pastilah panitia bisa menerima lebih dari 15 buku sastra, dan tidak semata-mata novel populer dan biografi penulis. Tapi apa lacur, buku yang akan diseleksi adalah buku yang diterbitkan kelompok IKAPI Yogya. Matilah awak, padahal, panitia sudah sangat paham dan tahu betul bahwa hampir tidak ada penerbit yang berani menerbitkan buku sastra dengan alasan yang kita sama-sama paham, mengapa juga masih memakai persyaratan yang menyulitkan penerbit kecil dan penulis yang membiayai bukunya sendiri?

      Apa memang cuma 15 buku saja yang terbit sepanjang tahun karya sastra yang ditulis sastrawan Yogya dan diterbitkan di Yogya? Ada banyak penerbit yang punya konsentrasi di penerbitan buku sastra dan terus berusaha menerbitkan buku sastra yang entah kerjasama dengan penulis atau penulis yang membiayai seluruh biaya. Ada banyak pula buku sastra yang diterbitkan secara indie oleh penulis dan didistribusikan dari tangan ke tangan. Tetapi karena ketentuan yang mengikat tersebut karya-karya sastrawan Yogya yang diterbitkan penerbit kecil yang secara kualitas juga baik, tak mendapat apresiasi sama sekali. Sudahlah memodali, macet di distribusi, tak ada pembeli, dalam lembaga resmi pun ia diperlakukan sebagai anak tiri.

      Jika mau lebih netral dan terbuka, bukankah justru usaha kreatif para penulis dan penerbit ini pantas diapresiasi? Secara kualitas karya-karya tersebut juga tidak bisa diremehkan. Ada banyak sastrawan memilih menerbitkan bukunya sendiri dengan berbagai pertimbangan. Seandainya panitia dan penyelenggara mau benar-benar jemput bola dan serius mengapresiasi buku-buku sastra, harusnya dikotomi itu tak harus ada. Kalau pun itu memang harus dipertahankan, jaringan kerjasama juga harus punya “tanggung jawab” sosial dan kontrak yang jelas: mereka mau menerbitkan satu dua buku sastra. sebagai konsekuensi dari kepedulian terhadap sastra jika tak mau disebut ikatan kerjasama.

      Persoalan kedua adalah apresiasi terhadap karya yang menjadi nominasi penghargaan tersebut. Apakah selesai sebuah penyelenggaraan dengan penghargaan, memberikan sertifikat, hadiah dan foto bersama? Penghargaan kepada penulis selesai, lalu penghargaan kepada karya kapan? Bukankah ini adalah penghargaan atas buku yang terbit, bukan penghargaan pada penulis?

      Saya membayangkan sebuah rangkaian kegiatan seputar karya. Misalnya saja, karya yang masuk nominasi diberitahukan kepada publik lengkap dengan keterangan ini-itunya, lalu didiskusikan bersama-sama. Ini merupakan bagian yang sangat penting. Publik harus tahu karya mana yang masuk. Ini juga bagian dari promosi. Ada diskusi khusus tentang karya terpilih. Diskusi karya bisa dilakukan di Balai bahasa atau turun langsung ke kampus-kampus.

      Jika saja karya ini bisa dibicarakan di depan publik tentu penghargaan ini tak selesai sebagai penghargaan belaka. Tetapi ada apresiasi dan justru inilah yang paling utama: memberi hadiah; memperkenalkan sastra ke publik; mengapresiasi buku; sekaligus memperlakukannya dengan layak. Jika dilihat, acaranya ini baru berhenti sebagai sebuah perayaan. Bahkan pada malam penghargaan, acara diisi dengan sekian banyak pertunjukan hampir tanpa apresiasi terhadap buku yang masuk nomine (bukan nominasi?).

      Penyelenggara dengan pengalamannya tentu punya pandangan berbeda dari pembacaan saya. Mengingat ini bukan kegiatan pertama, tentu harapannya kerja kreatif ini tidak berhenti sebagai sebuah proyek perayaan belaka.

Yogyakarta, Oktober 2011

8 komentar:

sayamaya mengatakan...

dalam hal ini, penerbit tidak mendapat sebarang penghargaan apapun. spt tahun lalu, buku terbitan kami menjadi juara satu. padahal bukankah ini tentang penerbit dan penulis?
tapi, tampaknya pihak penyelenggara fokus pada penulis saja.
satu lagi, yang dicari tentu penulis asal jogja bukan luar.

penerbit kami sendiri tidak menutup kemungkinan menerbitkan buku sastra. yg menjadi masalah justru kurangnya penulis sastra (dlm hal ini asal jogja).

begitulah sedikit penjelasan dari saya selaku redaktur buku fiksi andi publisher, jogja.

Kuli pelabuhan mengatakan...

wah ada perwakilan penerbit juga nih.

bahkan apreasiasi untuk penulis pun menurut saya sangat kurang.
Yang jadi poin buat saya, kenapa harus kelompok ikapi, sebagaimana diakui panitia, banyak penerbit kelompok ikapi tak menerbitkan buku sastra. Sastra dalam hal ini yang serius.

Sementara saat ini penerbit semakin banyak, penulis2 malah banayk menerbitkan bukunya sendiri. Saya rasa lebih adil kalau semua penerbit di yogya dilibatkan.

Dan bagaimana musik di blog saya? :-)

sayamaya mengatakan...

nah, setuju dgn pendapat km. mgk biar mrka berkaca jg kalau kelompok ikapi memang sdkt yg konsern ke sastra :D

musik blog ini aduhai, membuatku pengen tidur :p

indriankoto.blogspot.com mengatakan...

hehe.. nah tambahan saya lagi, Balai Bahasa kan lembaga independen, seharusnya mereka mencoba lebih terbuka dalam mencari buku sastra yang cuma "seuprit" itu, mau dari IKAPI atau tidaks ama sekali. Yang penting sastra, dan tentu saja berkualitas.

Ada permintaan musik?

sayamaya mengatakan...

tanggapan kamu ini bisa disampaikan langsung loh ke balai bahasa. tempo hari wkt mrka ke kantor saya sih sy komplen mslh penghargaan thn kmren yg cuma ksh hadiah ke juara 1 dan krgna apresiasi ke si penerbit.
dan thn ini hadiah diberikan ke juara 1-3 kan?
jd menurutku, mrka terbuka utk kritik dan saran.
permintaan musik gk ada. pan terserah si blogger mau ngisi pake musik apa. terserah si pengunjung jg mau suka apa kagak, hehehe....

indriankoto.blogspot.com mengatakan...

Ini kemarin saya kirim ke Minggu Pagi, koran Mingguan di Yogya. Saya rasa mereka membaca dan pasti membacanya. Semoga saja mereka mau mempertimbangkan. Lagipula kita berharap event rutin tersebut berjalan makin baik dan lancar. Ada penghargaan, ada apresiasi --terutama--terhadap karya.

sayamaya mengatakan...

ya, setuju. high five!

indriankoto.blogspot.com mengatakan...

Horeeee