Hari Sabtu Delapan
Oktober 2011 pastilah hari yang sedikit penting bagi sepupu saya, Da
Hen. Dia menikah di tanggal itu dengan dara ayu asal Sukabumi.
Meskipun belum menikah, aku tahu, itu merupakan momen penting bagi
seseorang, memasuki fase baru dalam hidupnya.
Mulhendri namanya. Dia
lahir sekitar tahun 78 atau sekitar-sekitar itu. kami, adik-adiknya
memanggil Uda Hen, yang jika disapa Da Hen saja. Aku juga
memanggilnya demikian. Beberapa kawan lain yang kenal dia juga
memanggilnya demikian. Di kos-an lamanya, daerah Sewon sekitar ISI
dia dipanggil Mahen.
Aku ingin menulis sesuatu
tentang dia di blog saya. Namun saya rumit menuangkannya. Ada banyak
cerita dan pengalaman dengannya.
“Da Hen kan mau nikah,
tulislah dia di blog,” kata Beben, adik sepupuku yang cerewet dan
sok tahu itu. Setelah kupikir-pikir, sepertinya aku perlu membikin
beberapa catatan tentang kakak sepupuku yang ketika tulisan ini anda
baca sudah menjadi seorang suami.
Demikianlah kisah. Dia
yang asal Lansano, Pesisir Selatan Sumatera Barat, setelah menamatkan
sekolah di MAN 2 Padang memilih pindah ke Yogya melanjutkan sekolah.
Ia kuliah di UAD, bukan UMY, meski sama-sama Muhamaddiyah. Itu
sekitar tahun 1998. Sastra Inggris, sebuah jurusan yang terasa amat
gagah di kampung kami. Tapi ia tak menyelesaikan kuliah di sana.
Tahun 2004, ketika saya juga berada di Yogya, ia memutuskan untuk
mencoba peruntungan di UIN.
“Gimana menurutmu kalau
Uda kuliah lagi, kali ini di UIN?”
Aku mengangguk setuju.
Dia cuma butuh itu. Matanya berbinar. Alhasil tamat juga akhirnya
dia.
Cerita tak sampai di
situ. Umurnya sudah sekira 33. teman-temannya di kampung—dia sering
membicarakan itu—sudah punya anak. Alasan saja, kataku.
Teman-temanku di kampung semua juga sudah menikah kok.
Tapi dia memang harus
menikah. Dia tak pernah pacaran dan tak pernah bersentuhan dengan
perempuan.
“Tangan Uda ini suci,
Belum pernah menjamah dan menyentuh perempuan mana pun,” katanya
suatu malam. “Jika harus menikah, Uda ingin dengan perempuan yang
demikian juga.”
Aku agak tertawa
sebenarnya, tapi dalam hati. Perempuan mana pula kiranya yang
sekarang tidak pernah pacaran dan bersentuhan dengan laki-laki yang
bukan muhrim.
“Ada, ada. Ada kok
perempuan yang demikian. Dalam organisasi Uda, ada banyak perempuan
yang demikian.” Dia seperti membaca pikiran saya. “Hanya saja Uda
masih ingin mencari perempuan lain. Ya untuk menyenangkan orangtua,
kalau misalnya di kampung ada, Uda mau-mau saja.”
Dia akan menikah di
kampung. Itu isu yang tersebar di keluarga kami setahun lalu. Tapi ia
mengajukan banyak syarat yang rasanya agak susah terpenuhi untuk
kampung yang transisi. Pertama, harus sarjana. Okelah, sudah banyak
yang sarjana sekarang. Kedua, sedikit banyak tahu agama, kalau bisa
berjilbab. Hmm.. bisa diusahakan. Ketiga, harus yang belum pernah
pacaran. Maaakk.. cari di mana perempuan yang masih jomblo? Itu kalau
tidak agama yang kuat, perempuan macam itu pastilah perempuan yang
benar-benar tak laku. Keempat, harus mau tinggal di Yogya.
Kampung diaduk-aduk, para
perempuan diseleksi. Tapi tak satu pun yang memenuhi kriterianya.
Jika nomor satu dua sudah oke, mandeg di nomor empat. Paling sering
macet di nomor tiga. Duh.. keluarga menyerah. Antara menyerah dan
pasrah Mak Gaekku, ibunya Da Hen bilang: “Carilah perempuan yang
pantas untukmu. Temukan dia di mana pun dia berada, anak muda..”
Da Hen mencium tangan
ibunya dan berbisik: “Aku berangkat Mak.”
Peruntungan dicoba.
“Umur uda sudah di atas
tiga puluh. Sudah ndak pantas lagi pacar-pacaran. Lagi pula agama
tidak menganjurkan kita pacaran. Jadi, jika bisa, uda ingin taaruf
saja.”
Pinangan demi pinangan
dilayangkan. Foto demi foto diedarkan. Benar saja, kalau jodoh tidak
ke mana. setelah sekian kali mencari dan menemukan, setelah
berkali-kali menolak dan ditolak akhirnya perempuan yang sebenarnya
Tuhan turunkan. Seorang perawan imut 21 tahun dari Sukabumi tertarik
dengan profil yang diajukan. Mereka bertemu suatu kali, setelah
rencana nikahnya sempat dibatalkan.
“Luar biasa. Kami satu
organisasi. Tidak disangka dia ternyataaktifis H***** T**tiiitt***
juga. Dia perempuan yang semoga saja pengertian. Bahkan ketika
membaca profil Uda saja dia sudah berdebar. Uda pun demikian.”
Begitu dia berkata.
Tak sampai tiga bulan.
Tanggal 8 Oktober itu pernikahan itu berlangsung. Keluarga hanya
diwakilkan kakakku saja. Aku dan si Beben yang paling kencang
berkoar-koar akan mengantarkan, malah menghilang. Kami sembunyi. Tak
punya uang otomatis tak bisa datang. Justru teman-teman seperti
Gandhi, Rico, dan Mumon yang bisa datang. Betapa aku menanggung rasa
tak enak sampai kini.
“Tak apa. Yang paling
penting dari pernikahan adalah ijab,” katanya menghibur. Dia memang
luar biasa dan berhati lapang. “Doa, doa kalian saja sudah cukup.”
Kini dia sudah resmi
menjadi seorang suami. Sedang membangun keluarga mawaddah warohma.
Semoga impiannya membangun keluarga kecil, membuka toko kelontong,
mengajar anak-anak sembari menulis novel berseri. Judul utama dari
novelnya sudah dibocorkan padaku, I Love You Because Allah.
Isinya seputar perjalanan dirinya menjelang pernikahan yang
menyedihkan namun heroik, dan sesudahnya, ditambah dengan sedikit
konsep keluarga dalam agama dan organisasi yang diikuti. “Tapi
bukan biografi.” Tegasnya.
Jika sodara-sodara
sekalian kelak suatu hari menemukan novel dengan judul yang demikian,
plisss.. belilah, belilah… itu adalah novel sepupuku yang berencana
membangun keluarga kecilnya dengan konsep agama yang sudah sangat
matang. Menulis novel untuk berdakwa, Astaga betapa mulianya. Cuma
aku tekankan dengan keras kepadanya, plis deh jangan pakai nama
Mulhendriarman el-Manafy atau sejenis itu.
Semoga Anda semua mau
mendoakan kebahagiaan al muqarom ini. Semoga Tuhan berkenan
memberkahi. Dia sudah menunaikan pernikahan sesuai keyakinannya.
Tinggal waktu yang akan menentukan. Kita selalu berharap yang terbaik
untuknya, di mana pun dia kini. Ah, dia tengah berbulan madu.
“Gak usah beli ranjang,
bahaya..” kata Beben sok tahu. Da Hen tersenyum.
“Kenapa begitu?”
tanyaku dengan lugu.
Beben dan Da Hen terkikik
semakin kencang.
Yogyakarta, 10 Oktober
2011
8 komentar:
ente fasih bener ngomong soal perempuan. :-)
Saya ngakak baca posting ini. Ingat jaman dulu ikut Tar**** dan berjilbab gombrang2, pernah ikut2an kirim foto dan biodata segala-alasannya karena pacar2 gw pada selingkuh-tapi akhirnya memilih murtad. Hare gene gtu loh... :-D
Mending gw apa adanya saja, toh Tuhan tahu apa-apa yang dihati gw, juga niatan awal yang kubisik dipernikahan pertama-yang kemudian kandas.
Suami-istri itu sesungguhnya adalah cermin, begitu kata Murabbi gw dulu. Sekarang gw percaya itu, meski kami bohemian dan hidup a la rock n roll, tapi kami dalam damai yang kami hayati.
Ini kado indah untuk saudaramu itu,Koto...karena kau penulis!
like it very much
astaga, terharu baca postingan ini. selamat berbahagia utk da hen nya. kuharapkan apa yg ia cita2kan bs terwujud, cepat atw lambat.
itu cita2 mulia sekaligus sederhana.
Serat jagat: aih, blognya hidup lagi tapi ganti haluan ya? ih, ih..
Filmbuku: ha? masa sih mbak filmbuku pernah mau taaruf segala dan pernah ikut organisasi islam? weww.. tak nyangka ane... ruaarr biasaa..Sukses selalu...
Zyrajawa: aih, makasi kawan. tak sempat kenal da hen dulu ya :-)
Maya: aduh, semoga Da Hen membaca ini. Ngeblog pun rasanya menjadi pekerjaan mulia ya?
@Koto: Sering ngeliat beliau saban ane nongkrong di masjid Al Muhtar, tapi beliau terlampau cool, execlusive, dan untouchable untuk dikenal,,,hehe. salam kenal aja dah :-)
zyrajawa: sekarang doi tentu tak lagi nongrong di sono..padahal orangnya asyik lo..
Boleh ikut komentar?Saya sempat satu kelas ma Da Hen selama kuliah di Sastra Inggris UAD. Kesanku selama kenal dia, orangnya baik tapi lucu juga kalo becanda. Tapi setelah membaca blog ini, ternyata banyak yg belum kutahu tentang dia. Selamat ya buat Hendri!!
Posting Komentar