17 Okt 2011

Al-Qur'an


Akhirnya, seumur hidup, inilah kali pertama aku membeli Al-Qu’ran.

Dulu di rumah kami punya satu Al-Qu’ran yang dipakai ngaji buat kami sekeluarga yang jumlahnya lima orang. Punya satu Al-Qu’ran di rumah saja itu sudah lebih dari cukup. Qu’ran urusan masjid, mungkin demikian keyakinan turun temurun.

Kami punya satu Al-Qu’ran yang dibeli ketika saya masih SD. Saya lupa untuk kebutuhan apa ketika itu. Yang jelas, ketika mengaji, setiap murid harus membawa Al-Qur’an milik siapa pun itu. Al-Qur’an adalah barang warisan. Sampai hari ini Qur’an masa kecilku masih ada, masih awet, hanya lem sampulnya saja yang lepas. Terpajang manis di lemari, yang terwarisi untuk dua ponakan perempuanku yang cantik dan ayu, yang bisa jadi akan diwariskan pula pada anak mereka.

Setahuku, kecuali aku, orang-orang di rumah sangat hemat dan hati-hati menjaga barang.

Akhirnya aku membeli Al-Qur’an juga, setelah memilih-milih dan saya mendapatkan yang paling murah. 12,500 dengan diskon. Qur’an yang imut, tidak terlalu kecil dan tidak terlalu gede. Sekilas, kupikir ah, lumayan lah. Kau tahukan kutukan toko buku (dan toko apa pun sebenarnya), segala tampak selalu demikian bagus dan harus dimiliki. Persoalannya adalah, kapan saya akan mulai membacanya, dan masih bisakah saya mengeja huruf-hurufnya?

Waktu itu menjelang bulan puasa. Saya membonceng keponakanku si Tsabit. Dari Sapen kami naik sepeda melewati rel kereta menuju Gowok lalu keluar lewat jalan ramai di sekitar Ambarukmo. Waktu itu aku masih doyan main City Ville. Kami singgah di warnet. Menjelang petang kami pulang. Entah bagaimana ceritanya, kami tersesat di toko buku itu. entah bagaimana ceritanya aku tersesat di pojokan yang biasanya paling lengang dan jarang kudatangi. Di depanku terpampang banyak Al-Qur’an, maklumlah, waktu itu menjelang ramadhan.

Aku terbengong-bengong melihat demikian banyak desain, bentuk dan ukurannya. Harganya pun rupa-rupa. Aku mengamati. Teringat keponakan di kampung, suatu waktu aku mau membelikan untuk mereka. Membeli?  Ah, kenapa tidak? Di kos kan aku tak punya Al-Qur’an. Lagi pula sudah berapa lama aku tidak membacanya?

Sebentar, sebentar. Aku menghitung uang di kantong. Al-Qur’an yang ideal tentu berbanding lurus dengan harga. Tulisan Arab yang besar, lengkap pula dengan tajwid, tanda merah untuk sifat Allah dan bersisihan dengan terjemahan, harganya 250 ribuan. Ada yang kecil dan murah, tentu tak akan mampu aku membacanya.

Mumpung puasa, pikir saya. Setan jauh-jauh hari mungkin sudah diikat. Aku beranjak ke display sebelah. Ada buku doa, bacaan tahlil dan zikir, buku shalat yang harganya murah habis. Jauh lebih murah dari buku puisi. Kenapa tidak? Aku tak pernah punya ini. Tuntunan Shalat Lengkap terbitan Toha Putra kami di rumah sudah tercecer entah ke mana. Pastinya aku yang bertanggung jawab kehilangan barang berharga itu. Aku memilih buku shalat yang imut, lucu dan murah. “Lumayan, bisa ditenteng sambil membenarkan bacaan tahyat,” pikirku waktu itu.

Kucomot pula buku imut yang berisi Surat Yassin, Ayat Kursi, tahlil, dan Zikir. “Mampus, sekarang aku punya dan bisa membacanya menjelang tidur. Allahu Akbar.” Pikirku. Tak cukup segitu, aku harus melengkapi dengan kumpulan doa, agar lebih terarah dan keren, berdoa dalam bahasa Kanjeng nabi. Tak lengkap rasanya kalau tak mengoleksi kumpulan ayat-ayat pendek, siapa tahu bisa menambah koleksi ayat di luar kul fuallahu ahad dan subirabinnas yang kuhapal. Ya Allah, betapa, betapa, saya ternyata masih bermimpi bisa menjadi mubaligh.

Lalu soal Al-Qur’an? Entah kenapa hati saya sedang lembut ketika itu. Saya tak pernah punya kitab ini, tak pernah memilikinya meski selalu terniat membelinya. Kucari-cari yang agak baik dan tentu murah. Subhanallah, terselip satu barang yang luar biasa. Tuhan sedang menrunkan malaikat untukku. Sebuah Qur’an berwarna lembut putih dan biru, eh atau putih dan hijau (jangan paksa aku bicara soal warna..) harganya 15 ribu. 15 ribu saudara-saudara, apa lagi yang perlu dipikir?

“Buat apa beli sebanyak ini? Oom memang belum punya? Belum hapal bacaan shalat?” Kata Tsabit setengah meledek.

“Eeh, kan kita harus selalu memperbaiki ibadah,” sungguh, aku juga terkejut dengan kata-kata yang luar biasa ini.

“Kenapa beli sebanyak ini?”

“Stt.. ini kan mau puasa, jadi harus banyak amalan dan ibadah.” Lalu sambil mendayung sepeda mulailah aku bercerita: nanti ketika puasa datang, Masya Allah, bulan yang lebih elok dibanding seribu bulan, “Oom akan banyak berzikir dan bertahlil.”

Malaikat membantuku dalam imaji sederhana dan luar biasa ini: menjelang tidur aku akan membaca tahlil dan zikir, menghapal satu doa sepanjang malam, dilanjutkan sepotong-dua potong ayat pendek. Menjelang dan sesudah sahur aku akan membaca Al-Qur’an dilanjutkan dengan praktek shalat dari buku Toha Putra versi mini itu. Jika belum ngantuk pembacaan kalam Ilahi akan dilanjutkan kembali. 3-4 halaman sepanjang malam sudah lumayan. Khatam Al Baqarah, Ali Imran, dan An Nisa’ ramadhan ini saja sudah alhamdulillah, syukur-syukur bisa dilanjutkan ke Al Maidah. Al An’am, Al A’raf, disusul dengan At Taubah, Yunus, Hud, berkejaran dengan surat Jusuf, Ar Ra’d, Ibrahim dan seterusnya…

Begitulah memang awalnya. Malam pertama ramadhan saya sholat tarawih berjamaah, tak tanggung-tanggung, di Laboratorium Agama UIN Suka gitu lo. Hari kedua juga demikian. Baca tahlil dan zikir berlangsung khidmat. Sholat demikian teratur disusul dengan membaca buku doa yang kadang pakai berurai air mata segala. Al-Qur’an kubuka petang dan pagi.

Seperti yang sudah-sudah, demikianlah akhir kisah. Menjelang akhir minggu pertama, buku zikir tercecer entah ke mana. Pelajaran shalat tertunda begitu saja. Menghapal doa seolah bisa dikerjakan lain kali saja. Ayat-ayat pendek tak pernah nempel di kepala. Lalu Al-Qur’an? Sungguh, sepertinya nasib saya ditakdirkan tak pernah selesai di Al-Baqarah.

Kini Al-Qur’an itu terletak di rak paling tinggi. Bersih, dan nyaris tak pernah terbuka. Jangan-jangan saya mulai mewarisi semangat keluarga saya: hemat dan yang suci harus dijaga.

Rasanya saya cukup bangga, akhirnya saya punya Al-Qur’an. Mungkin nanti saya benar-benar akan membelikan yang agak baik untuk ponakan. Hadiah yang akan menjadi warisan untuk anak-cucunya kelak di kemudian hari. Barangkali saja nanti Qur’an tak lagi dicetak dengan kertas. Siapa tahu.

16 Oktober 2011

5 komentar:

FilmBuku mengatakan...

Koto, kata Ippho, shalat Dhuha 2 rakaat akan mencukupkan rekeji seharian. Mau coba?

sayamaya mengatakan...

"hemat dan yang suci harus dijaga"

ya udah benar itu. jd biarlah dia tetap rapi dan bersih.

Sandal Keren Are mengatakan...

amiiiiiiin

Unknown mengatakan...

amin ya Rabb..

indriankoto.blogspot.com mengatakan...

Makasi Filmbuku, Artika Maya, Sandal keren Are yang semoga laris dan Herry Susanto.. Semoga saya makin rajin pegang2 al Quran, bolak balik dan mulai membacanya..