25 Sep 2011

Bola Lampu


Lantaran kamar saya yang gelap disebabkan jendelanya terhalang tembok tetangga, 24 jam lampu listrik di kamar saya terus menyala. Jika lampu listrik dimatikan, kamar saya menjadi demikian gelap dan terasa lebih pengap.

Saat tidur pun, lampu harus tetap menyala. Jika lampu mati, alamat saya tak akan bisa bangun pagi. Beberapa teman saya pernah terkecoh waktu ketika tidur di kamarku. Afris dan Ipang pernah terlelap hingga sore, demikian juga halnya dengan Andika. Suasana kamar saya yang lembut dan dingin meskipun tanpa AC membuat mereka, termasuk saya, suka terbuai suasana. Ini tentu tak bagus. Sirkulasi udara buruk, dan cahaya tak pernah masuk membuat kamar saya menjadi agak lembab justru di musim kemarau. Enak buat tidur, kata Kiting jika sesekali datang kemari. Apalagi kalau Jusuf An datang dimari, wah sungkan aku. Namun untung pula aku punya teman yang sama sekali tak peduli apa pun mengenai dunia ini jika sudah pegang Hp dan mendengar dangdut koplo. Yup, Si Fahmi itu.



Lembali ke masalah lampu listrik, Lampu menjadi vital dan mesti ada, sama halnya dengan air galon. Tanpa keduanya itu, kiamat kecil tengah menghadang saya.

Bola lampu bukanlah perkara sederhana bagi saya. Saya memerlukan lampu yang wattnya besar. Bola lampu putih menjadi pilihan final, karena katanya lebih hemat ketimbang bola lampu bulat. Saya percaya saja. Lampu ini selain membantu menerangi kamar siang-malam juga berguna untuk hal-hal lain, jika misalnya saya membaca. Minimal bola lampu di kamar harus 20 watt.

Bola lampu putus amat menjengkelkan. Harga bola lampu tidaklah murah. Saya harus mencari lampu yang selain hemat listrik, dia juga harus tahan lama. Selain bola lampu kamar, saya juga bertanggung jawab untuk bola lampu dapur merangkap kamar mandi, lampu di ruang tengah, dan teras. Tiga lampu yang harus selalu diantisipasi. Untuk yang tiga ini kadang-kadang kami anak-anak kos cukup kerepotan, sehingga lebih sering menggantinya dengan bola lampu kecil dan murah.

Nah, beberapa waktu yang lalu lampu di kamar saya mati. Padahal bola lampu ini baru saya ganti beberapa bulan yang lalu. Sering memang, barang-barang yang kita butuhkan kehilangan fungsi di saat-saat yang kurang menguntungkan. Apa boleh buat, inilah resikonya mengkomsumsi barang-barang sejenis itu. ia membantu kita dalam banyak waktu, dan dibikin repot di lain waktu.

Saya membeli Philip yang konon terus terang, terang terus. Alasan lainnya, kata si penjual di selatan kos saya, dan isu yang saya dengan bola lampu ini lebih awet. Tapi tidak berlaku untuk kamar saya. Begitu bangun, saya menghadapi serangan kegelapan, celakanya saya sudah terbangun di siang hari, lantaran diam-diam lampu di kamar saya itu putus.

Sial. Pas tak punya uang pula. Seharuan saya bergelap-gelap dan memutar otak bagaimana caranya agar lampu di kamar kembali menyala. Tak cukup di situ, malamnya lampu teras kos ikut-ikutan putus tanpa sebab yang jelas. Jadilah dua bola lampu yang menghembuskan nafas terakhir.

 Saya ingat, kemarin ada yang baru ganti lampu, nanti malam akan saya pakai saja itu dulu, menjelang saya punya uang. Benarlah, malamnya saya meluncur ke lemahdadi mengambil bola lampu itu. paling tidak kamar saya aman dulu. Bola lampu itu tak terlalu terang, tapi cukuplah membuat senja di dalam kamar.

Saya pulang malam itu juga dengan hati riang. Sial, begitu sampai, ternyata lampu di ruang tengah sudah pula koit. Apa daya saya, kamar remang, ruang tengah dan teras gelap gulita. Dengan jengkel akhirnya saya datang ke kedai listrik di selatan, mencari bola lampu.

“Yang ini saja mas. Bola lampu lokal ada garansinya setahun.” Kata penjual.

Alamak, ini yang saya cari.

Saya akhirnya membeli satu lampu itu dan lampu kamar saya pindah ke ruang tengah. Di kos saya sekarang, jika anda lewat m,alam-malam masih saja remang-remang kekurangan cahaya.

Ternyata lampu listrik menjadi begitu penting dan suka mati di saat-saat yang tak terduga. Saya tetap menyimpan bola lampu yang terus terang terang terus itu. saya mendengar di sekitar UGM ada dokter lampu yang dengan uang 10-15 ribu lampu kita kembali menyala. Siapa tahu saya akan mencobanya. Jika saja bisa, tentu akan menarik, lampu dapur-kamar mandi akan saya pindah tugaskan ke teras, lampu kamar akan saya tempatkan di sana, biar mandi malam-malam tetap seru.

Ini baru rencana saja. Karena saya sekarang saya disibukkan dengan pikiran lain, listrik bulan ini belum dibayar. Nah kan? Sebulan terakhir hanya ada saya dan teman baru, Waris yang dikos. Agus, dan Wawan mudik ke Makasar sejak sebulan lalu, jadi mereka tak ikut bertanggung jawab soal ini. Padahal, sendiri atau berlima di kos ini, bayar listriknya tetap saja lebih dari seratus ribu. Dan tulisan ini dibikin  menjelang tanggal dua puluh.Lampu  listrik

Yogyakarta, September 2011

6 komentar:

kit mengatakan...

mantaf gan, mantaf

Anonim mengatakan...

diganti pakai lilin, mase. asal ndak dijagain aja

sheila mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
sayamaya mengatakan...

kreatif banget ya mindah2in lampu, dr ruang tamu ke dapur, ke teras, ke gudang, dsb. asal bukan ke rumah tetangga aja, apalg ke lampu jalan. mubajir banget.

itu loh, kalo mau hemat, taruh minyak sayur di botol aqua ato aqua gelas jg boleh. ksh sumbuh. trus nyalain dah. lebih hemat, gk ada asapnya pulak.
mantab kan?

sayamaya mengatakan...

eh, sumbu maksudku, bhahahak...

indriankoto.blogspot.com mengatakan...

yuhu mas Kit, Nona Winda, dan mbak maya. salam bahagia. semoga lanmpunya gak mati