Akhirnya diputuskan Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1432 Hijriyah atau
tahun 2011 jatuh pada hari Rabu, 31 Agustus 2011. Saya sudah menduga
demikian, tapi saya sudah keduluan berniat lebaran selasa 30 agustus
ini. Apa boleh buat, saya sudah membayangkan besok akan shalat Ied di
masjid lapangan halaman SD Muhammadiyah Sapen, karena masjid UIN atau
Laboratorium Agama Masjid UIN Sunan Kalijaga mesti mengikuti peraturan
pemerintah. Saya bisa saja besok bangun subuh-subuh, seringkali bahkan
saya belum tidur sepicing pun sampai waktu itu tiba. Saya bisa sahur
lalu tidur sepanjang hari sampai bedug magrib bergema. Lagi pula, ubu
lebaran keempat sayadi luar kampung. Tak akan banyak yang saya jelang
dan salamin, paling hanya calon mertua, makan opor ayam di sana, pulang
dan bisa kembali tidur.
Rasanya ia menjadi tidak sesederhana itu. Meski pun di Yogyakarta
ini saya tak 'mengalami' lebaran semeriah di kampung halaman (setiap
perantau pasti berpikir demikian), jadi tak soal lebaran akan jatuh pada
hari apa dan tanggal berapa. Untuk saya iya, tak terlalu ada masalah.
Tapi kaitannya dengan lingkungan sekitar saya, daerah saya tinggal, bafi
bangsa ini, pasti punya kaitan dikit-dikit. hehe..
Saya ngawur
nih. Begini, saya tidak terlalu soal dengan waktu, tapi kalau
dipikir-pikir, lebaran tahun-tahun belakangan kok sama semberawutnya
dengan mudik ya? Mudik misalnya, ia seolah-olah menjadi berita yang
seksi dan layak diberitakan. Hanya diberitakan. Mislanya tentang ongkos
yang melonjak, penumpang yang tak mendapat tiket, jalan yang rusak, ruas
jalan mana yang macet, kecelakaan yang dialami para pemudik, dan
bla-bla-bla lainnya. Ya kecopetanlah, ya ketipulah, yang anulah, inilah
itulah. Ia menjadi sekedar diberitakan sepanjang tahun. Seperti banjir
di awal tahun yang menghajar Jakarta, misalnya. Begitu terus. berulang
terus.
Lalu kita menyebutnya tradisi. Mudik itu tradisi.
Banjir juga tradisi? Oke, itu tradisi. Tapi selesaikah ia dengan sekedar
demikian? Sekedar kodumentasi berita? Saya pikir-pikir kita punya
menteri perhubungan, Menteri Pekerjaan Umum, dan sejumlah menteri yang
dekat-dekatdengan itu. Lha, masa iya tiap tahun kita harus antri mudik
terus? Solusinya apa? Jalan keluarnya seperti apa? Masa iya hal-hal
semacam ini harus kita katakan, "ya demikianlah adanya." Waduh..
Nah
berkaitan dengan Idul Fitri 2011 yang kemudian oleh pemerintah jatuh
pada rabu 31 Agustus ini. Bayangkan, jika seluruh bangsa Indonesia ini
nasionalis sejati. Artinya, ketika pemerintah bilang A, semua akan
melakukan A, pasti kondisinya lebih menyedihkan. Orang-orang yang akan
merayakan lebaran hari selasa tentu sejak awal sudah sangat sibuk,
mengurus banner, memasang poster shalat, mengatur jadwal takbir dan
lainnya. Mereka menunggu sampai jauh malam. Ternyata keputusannya
lebaran hari rabu. Mereka yang sudah menyiapkan semua sejak senin malam,
tentu harus meminta anak-anak dan remaja yang hendak takbir mengganti
seragam pulang ke rumah lalu mendirikan shalat taraweh. Fyuh.. Meskipun
di Yogyakarta, senin 29 Agustus malam tetap ramai dengan gema takbir,
tapi saya menjadi khawatir kalau yang saya pikirkan itu terjadi.
Mereka
yang menunggu keputusan pemerintah pun, artinya mereka yang menetapkan
lebaran sesuai dengan anjuran pemerintah juga lumayan repot. Rapatnya
selesai hampir jam delamapan malam, atau malah lebih ya? Oke, misal
lebarannya hari rabu, mereka yang ada di ujung timur pulau ini, yang
waktunya berjarak 2 jam dari kita yang ada di Indonesia Bagian Barat,
akan kerepotan. Pemberitahuan pemerintah mereka terima jam sepuluh
malam. Menunggu sampai segitu lalu bersiap-siap shalat taraweh. kok
rasanya kasihan ya?
Atau bayangkan pula jika lebaran itu jatuhnya
hari Selasa. nah, tentu takbiran menjadi tak meriah lagi. Masa jam
sepuluh malam menyiapkan takbiran? Duh, rasanya kok jadi gak tega ya?
Sebagai
masyarakat sebuah bangsa yang selalu beruntung, saya jadi berpikir,
untung juga aku tak mudik jika begitu. Untunglah lebaran tetap ada tahun
ini. Bagaimana kalau tiba-tiba keputusannya, Idul Fitri tahun ini
dibatalkan. Hayoo..
Meski begitu, tawaran dari LAPAN perlu menjadi
perhatian pemerintah. Benar waktu puasa dan lebaran adalah soal
keyakinan masing-masing dan tak perlu diperbincangkan, tapi kalau begini
terus, kok rasanya juga gak enak ya? maksud saya, ada solusi
pemerintah, bagaimana agar lebaran bisa dijalankan dalam satu waktu yang
pasti dan bersama-sama, biartak meunda-nunda. Untunglah, kita bangsa
yang tak terlalu mengikuti pemerintah, sehingga meskipun lebaran jatuh
pada hari rabu 31 agustus, malam selasa gema takbir masih tetap
berkumandang.
Jadi.. Selamat lebaran. Mohon maaf lahir dan bathin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar