13 Jun 2011

Film yang Kutonton (3): Spring, Summer, Fall, Winter, And Spring, The Isle

Dua Cerita di Atas Danau
(Menonton The Isle dan Spring, Summer, Fall, And Spring)

 Cuap-cuap di Pinggir Danau
          Beginilah awalnya sebelum saya sempat menonton Spring, Summer, Fall, Winter, And Spring. Ceritanya begini, teman saya (sebut saja namanya Andika) pulang ke Malang, saya dititipkan motor. Sebuah keberuntungan bagi saya untuk beberapa hari ke depan. Malam, seperti biasa, saya tidak bisa tidur dan terngiang-ngiang ucapan kawan (entah siapa) bahwa di Merapi Online, kawasan jalan Adi Sucipto, kawasan dekat Ambarukmo Plaza, punya koleksi film yang banyak. Nah, mainlah saya ke situ. Memang, untuk warnet, Merapi Online saya rasa agak mahal dibanding warnet yang lain, tapi mengingat lokasinya di pinggir jalan, hal itu tentu saja menjadi mungkin, apalagi kawasan Jalan Adi Sucipto merupakan kawasan bisnis yang cukup sibuk juga di Yogyakarta. Sebelum ini saya pernah beberapa kali ngenet di sini, tapi tak terlalu paham koleksi filmnya.
            Dimulailah petualangan saya. Awalnya tentu saja saya buka facebook dan buru-buru main City Ville yang akhir-akhir ini menjadi kegemaran saya. Membangun kota sesuka hati dan menggantungkan sepenuhnya hidup pada tetangga, tanpa ada perang sangat menyenangkan. Namun akhir-akhir ini saya mulai bosan main City Ville, terlalu mengandalkan tetangga dan melulu meminta tolong. Ah, jadi apa saya kalau selalu minta dan minta. 


            Di sela-sela itu tentu saya mulai membuka folder. Saya terjebak di antara deretan folder yang punya banyak sub-folder lainnya. Koleksi filmnya antara lain, Barat 1 yang merupakan koleksi film-film barat yang berjudul dari angka dan huruf A sampai M (mungkin M atau sekitar2 itulah), Barat 2, koleksi film barat dari setengah alphabet kedua hingga Z, Indonesia, yang dengan malas-malasan saya buka foldernya dan tertawa sendiri melihat judul-judul yang dikoleksinya, lalu Asia yang mencampuradukkan koleksi film di seluruh Asia yang maha besar ini, mulai dari film Malaysia, Thailand, Iran, Piliphina, Korea (Aku masih bingung loh, ketika ngomong Korea, kita sedang ngomong yang utara atau selatannya, ya?), China, Jepang, dan entah apa lagi. Selain itu ada folder khusus untuk serial televisi yang tentu tak akan saya buka, Kartun, India, pilem Lawas, dan lain-lain deh.
            Stress saya melihat koleksi film tersebut. Saya mengacak-acak koleksi filmnya yang sebagian besar tak ada subtitle bahasa Indonesia itu. Saya pilih-pilih film di Folder Barat, pusing.. beberapa judul yang saya kenal ada di sana, kendalanya adalah data yang sangat besar sementara flash saya Cuma 2 giga. Beberapa film animasi yang membuat liur saya meleleh. Kenapa tidak mencoba film Asia? Selama ini saya menghindari film-film mandarin yang dalam kepala saya selalu film-film laga kolosal, salju, pasukan kuda, kilatan pedang, pakaian indah, musik sendu, darah dan lain-lain. Saya tak suka itu. Saya tak bisa mengingat para tokoh yang banyak, itu pula salah satu alasan saya menghindari film-film perang yang melibatkan banyak pemain. Untuk film Thailand saya sudah dihajar rasa cemas akan darah, horor dan komedi norak. Bukankah di Indonesia tercinta ini, jenis pilem begituan juga digarap sepanjang tahun? Bedanya, pilem Thailand bebas memperlihatkan tetek dan putting susu perempuan dan adegan bercinta sungguhan, pilem Indonesia tak pernah bisa menampilkan itu meskipun keinginan untuk itu betapa besar. Begitu pun untuk pilem Jepang dan Korea, ah pasti hantu lagi, darah lagi, psycho lagi. Gak deh.
            Nah kemudian saya memilih deretan pilem Asia terutama dari covernya. Entah kenapa saya melihat sebuah judul yang agak lain dengan cover yang sebenarnya buruk. The Isle. Saya putar sebentar, pas di adegan perempuan telanjang di tengah hujan, di atas boat. Kugeser lagi, danau lagi, danau lagi. Saya teringat akan film Indonesia berjudul Jermal yang menurut saya agak baik penyajiannya itu. Lalu saya pindah ke Flash. Sampai di situ saya masih mengira ini film Thailand karena saya tak bisa membedakan tulisan Korea dan Thailand, alih-alih bisa membacanya pula.
            Berikutnya, judul yang lagi-lagi menggoda saya, Spring, Summer, Fall, Winter, And Spring. Hmm.. boleh juga nih. Saya langsung men delete Minggu Pagi di Victoria Park yang sebelumnya sudah masuk ke flash lebih dulu. Benar-benar tidak nasionalis saya ini.

The Isle: Danau yang Pertama
 Suatu kebetulan jika kemudian kedua pilem ini The Isle dan Spring, Summer, Fall, Winter, And Spring.memiliki pusat cerita di atas danau. Film pertama yang saya tonton, tentu yang pertama saya intip itu, The Isle. Waktu sudah menunjukkan jam 5 pagi ketika saya mulai memutar pilem tersebut. Selanjutnya disusul dengan Spring, Summer, Fall, Winter, And Spring.
Suatu kebetulan pula akhirnya saya tahu bahwa ternyata kedua film tersebut disutradarai dan naskahnya ditulis oleh orang yang sama, Kim Ki-duk. Cukup mencengangkan saya. Dan yang paling mencengangkan tentu saja The Isle yang semua saya kira pilem Thailand ternyata adalah pilem Korea. Hmm..
The Isle berdurasi sekitar 1 jam. 25 menitan. Dimulai dengan kedatangan Hyun-Shik (yang dimainkan oleh Kim Yu-seok) di pinggir danau dan langsung menaiki boat yang dikendarai perempuan anggun misterius, Hee-Jin yang dimainkan oleh Seo Jeong. Pilem berjalan sangat dingin dan tanpa dialog. Kedua tokoh sama-sama diam sepanjang perjalanan.
            Rasa dingin berjalan terus hingga akhir cerita. Perempuan itu benar-benar tidak bicara di sepanjang pilem. Tokoh laki-lakinya juga pelit berkata-kata. Si Hyun-Shik diceritakan sedikit masa lalunya, di mana dia bermimpi dan tentu saja ia sedang membayangkan masa lalunya. Ia mungkin membunuh dan diburu polisi dan berada di tempat baru ini sebagai upaya melarikan diri.
            Sentral cerita hanyalah di sepanjang danau yang dipenuhi rumah apung, semacam resort, di mana para pemancing tinggal berhari-hari di sana, atau sekedar melepaskan penat sambil memancing dan meniduri perempuan. Pelacur selalu datang dengan motor matic dan akan diantarkan oleh si bisu Hee-Jin ke alamat pemesannya. Hee-Jin di malam-malam tertentu juga bergerilya menjual kopi dan sepertinya menjajahkan tubuh. Lain waktu dia menjadi seorang yang sangat aneh, melakukan pembalasan-pembalasan atas para pelanggan dan orang yang tak disukainya.
            Terjadi hubungan ganjil antara Hee-Jin dengan Hyun-Shik. Hee-Jin cemburu pada pelacur yang tidur dengan Hyun-Shik. Ia berenang di tengah danau hanya untuk melihat bagaimana Hyun-Shik sedang terengah-engah “menghajar” si pelacur. Dia juga marah dan tak mau mengantarkan si pelacur ke tempat Hyun Shik, namun membawanya ke rumah-apung yang kosong dan mengikat tangan, kaki dan mulut dan menyekapnya di sana. Sayangnya si pelacur malam-malam keluar dan entah bagaimana pula ceritanya ia jatuh dan tenggelam. Mati dan sialnya kok ya langsung mengapung. Paginya si Hee-Jin membenamkan si pelacur bersama matic merahnya. Dramatisasi tubuh perempuan tenggelam muncul di sini. Hmm..
            Yang lupa saya ceritakan adalah si mucikari yang sebelumnya pernah mendatangi rumah-perahu Hyun Shik. Orang ini akhirnya datang lagi dan menghajar si cowok pendiam tapi jago ber ohok-ohok ini. Berkelahilah mereka. Sialnya, si mucikari mati. Dia ditenggelamkan bersamaan dengan tubuh si pelacur tersebut.
            
 Terlalu banyak yang ingin disampaikan Ki-duk Kim pada filmnya yang dibuat tahun 2000 ini. Karena banyak hal yang ingin tampil dalam setting dan durasi yang singkat ini pula mungkin yang membuat penonton macam saya merasa heran dengan beberapa adegan. Tidak ada kejelasan yang detail, bagaimana ceritanya si Jin, perempuan bisu itu memiliki semua resort di tengah danau di perkampungan itu. Tidak pula tergarap dengan benar kenapa dia menjadi perempuan yang sangat aneh dan misterius apalagi memiliki kenekatan membunuh. Belum lagi endingnya yang memperlihatkan gundukan bakau yang kemudian seolah diasosiasikan sebagai gundukan bulu kelamin perempuan. Entahlah apa pula maksud tokoh-tokohnya yang menyiksa binatang. Sadis memang, ketika ikan di sayat kiri kanan badannya dan dimakan, si ikan yang masih hidup itu dilepaskan lagi. Ikat-ikat yang dicincang sampai hancur, kodok hidup yang dibelah dengan sadis, burung yang ditenggelamkan dan beberapa kekerasan lainnya yang membuat saya mual. Apalagi ketika adegan Hyun Shik memasukkan empat mata kail ke tenggorokannya lalu menarik tali pancing. Adegan yang membuat saya ingin muntah dan mual. Hyun Shik melakukannya ketika polisi datang. Mungkin upaya yang nyaris membunuhnya ini ditujukan supaya ia tak bisa menjawab pertanyaan polisi. Setelah di selamatkan si perempuan, di tengah kesakitan itu mereka bercinta. Masih bisakah kelamin lelaki hidup dalam kondisi payah macam begitu?
            Kekejaman yang sama juga dilakukan oleh Hee-Jin di bagian-bagian akhir cerita. Hyun Shik yang tak tahan melihat sikap posesif Hee-Jin melarikan diri. Entah apa alasan Hee-Jin justru memasukkan mata kail ke kelamin dan menarik tali pancingnya. Kok ya kelamin sendiri yang disobek. Aneh deh.
            Meskipun latar cerita sangat bagus. Alam yang tenang dan sendu. Suasana danau berkabut. Hujan yang sangat lembut terjadi bagus, logika-logika cerita yang sulit saya temukan di sini. Semua terjadi begitu saja. Aneh dan unik. Saya kira bukan tingkat kerumitan yang membuat saya bingung tapi memang beberapa logika yang tampaknya terabaikan di sini. begitulah The Isle, ia selesai dengan alur yang tak habis diurai.

Spring, Summer, Fall, Winter, And Spring (2003): Danau kedua 

           Nah pilem ini relatif bisa saya nikmati karena alurnya yang memang sederhana dan tak punya pretensi yang macam-macam. Ki-duk Kim menggarap Spring, Summer, Fall, Winter, And Spring sepertinya lebih makin piawai  untuk tidak terjebak pada pesan dan inti cerita yang macam-macam. Ceritanya adalah tentang seorang biksu tua yang tinggal dengan calon biksu di kuil mereka yang terletak di tengah danau yang dikelilingi bukit-bukit. Cerita dibagi menjadi lima bagian sesuai dengan musim yang ada dalam film ini. Setiap pergantian musim, tokoh calon biksu yang menjadi pusat cerita juga berganti. Dari anak-anak, ke masa remaja, lalu dewasa dan di masa tua.
            Cerita ini seperti sebuah siklus dan perjalanan hidup seseorang. Film ditutup dengan adegan pembuka, seolah ingin mengatakan, seharusnya memang sudah begini fase hidup setiap orang. Apa yang kualami, akan kau alami pula kelak di kemudian hari. Untuk mencapai kemurnian, kau memang perlu perjuangan yang berdarah-darah.
            Yang paling unik dari film ini buat saya adalah soal pintu. Kuil yang menjadi tempat tinggal mereka itu sebenarnya hanya satu ruangan saja, tapi oleh sang guru ruang itu di beri pintu. Demikian juga sebagai pembatas antara danau dan dunia luar, mereka begitu patuh melewati pintu, meskipun tak ada satu pun pagar yang membatasi mereka. Sepertinya pesan sederhana yang bisa diambil dari sini adalah: hidup itu ada aturannya. Masuk-keluarlah lewat pintu-pintu yang sudah ditentukan meskipun tak ada yang mengawasimu. Yeong-Su Oh satu-satunya pemain tetap di film ini. Ia merupakan biksu tua dan guru bagi biksu muda yang setiap musim (sesi) selalu berganti wajah dan membawa persoalan baru.
            Kabarnya, dari reverensi yang kemudian saya baca Ki-duk Kim juga ikut berperan dalam cerita ini sebagai tokoh di akhir cerita.
            Peristiwa berjalan dengan sangat lembut dan wajar. Si biksu tinggal dengan seorang muridnya yang masih kecil dan dengan kenakalan anak-anak. Suatu hari si calon biksu yang kanak-kanak ini menyiksa ikan, kodok dan ular dengan memasukkan batu ke mulut mereka. Pekerjaan ini diawasi sang guru dan malam harinya, ia mengikatkan batu pula pada sang murid. Ia seperti mengatakan: “Ayo, kalau kau sendiri yang diikat gimana rasanya?” Fragmen pertama ditutup dengan tangisan penyesalan si bocah mengetahui ikan yang digantungi batu itu mati, dan begitu juga yang dialami sang ular.
            Fragmen berikutnya ada masa remaja yang penuh gejolak. Dimulai dengan datangnya dua orang perempuan, ibu dan anak ke kuil tersebut. Si anak gadis yang diperankan oleh Yeo-jin Ha. Calon biksu muda itu terobsesi dengan tubuh perempuan dan mengalami gelombang cinta yang luar biasa pada si gadis. Dan mereka bercinta. Si biksu muda juga mendatangi si perempuan tidak lewat pintu tempat biasa ia masuk-keluar. Si guru tahu perzinahaan itu. Ia mengembalikan si perempuan ke tempat asal. Si biksu muda yang baru tahu nikmatnya bercinta suatu malam melarikan diri dari kuil tersebut untuk mengejar si gadis impian.
            Fragmen berikutnya berjalan beberapa tahun kemudian. Si guru sudah sangat tua. Di koran tempat dia makan (kalau di Yogya mungkin bungkus nasi kucing kali ya) dia baca tulisan tentang laki-laki yang membunuh istrinya. Si guru tahu, itu muridnya yang dulu pernah kabur dari kuilnya dan membawa patung Buddha dan ayam jago.
            Fragmen ini penuh emosi si calon biksu dewasa yang telah membunuh istri dan kembali kepada gurunya. Gurunya yang tenang dan sabar menerimanya kembali. Si calon biksu yang putus asa itu melakukan ritual menutup mulut, hidung, mata dan telinganya. Ritual bunuh diri itu diketahui sang guru. Dan ia mencegah itu terjadi. Dia seperti ingin mengatakan: “Kau masih muda, banyak hal yang masih bisa kau lakukan di sisa umurmu nanti.” Atau biar lebih dramatis, sang guru mungkin berkata, “Kau harus menebus kesalahanmu dan kau masih punya kesempatan untuk menjadi lebih baik.”.
            Polisi datang dan adegan dramatisasi secukupnya. Setelah kepergian si murid, giliran sang biksulah yang melakukan ritual bunuh diri. Adegan ini seolah menegaskan: Apa yang dilakukan anak muda, orang tua jugalah yang harus menanggungnya.
            Kisah berikutnya, kembalinya si calon murid yang sudah berangsur tua ke kuil yang sudah kosong itu. Ia mulai menjalani laku hidup layaknya seorang bisu. Suatu hari seorang perempuan dengan menutup wajah menitipkan anaknya ke pada calon biksu yang kini sudah menjadi biksu itu. Sayangnya perempuan itu tenggelam dalam lubang salju galian si biksu. Adegan ini seperti sebuah upaya penegasan putusnya hubungan ibu-anak. Bisa jadi ini sebagai petunjuk, hal yang sama mungkin juga terjadi pada si biksu ini ketika muda.  Kematian si perempuan dan untuk masa lampaunya membuat ia melakukan ritual. Ia membawa sebuah patung dan ke puncak bukit dan menyeret batu berat yang diikat di pinggangnya, seperti sebuah beban masa lalu yang sedang coba ia emban dengan iklas dan tulus.
 Lalu cerita ditutup dengan adegan pembuka, si anak kecil dengan kenakalan anak-anak menangkap ikan dan memasukan batu ke mulutnya, ke mulut kodok dan mulut ular. The Isle dan Spring, Summer, Fall, And Spring merupakan sebuah pengulangan yang konsisten, sebagaimana musim.
Danau Terakhir
Yang membuat saya penasaran, kenapa ya Ki-duk Kim selalu memasukkan unsur-unsur kekerasan semacam itu ke dalam pilem-pilemnya? Dan selalu menganggap perempuanlah jadi penyebab malapetaka di dunia ini. Karena perempuanlah tangan lelaki jadi kotor dan hina. Hmm.. saya penasaran dengan pilemnya yang lain.
            Hal lain yang membuat saya agak tercenung lama adalah, mengapa film-film semacam ini susah diterima penonton umum dan media yang menampungnya adalah festival film saja? Apa yang diinginkan para sutradara film kita yang mengusung ide “berat” dan aneh? Mengapa jenis-jenis pilem semacam ini selalu menjadi berat dan tontonan yang tak bisa dinikmati semua orang? Saya jadi ingat film-filmnya Garin Nugroho.

Tidak ada komentar: