18 Mei 2011

Ajarilah Sastrawan Generasi Muda Ini Agar Lebih Beretika

(Membaca Kesastraan Yogya Hari Ini)

Saya merasa agak kaget dengan “kenekatan” Mahwi Air Tawar, seorang sastrawan muda ketika menulis di Minggu Pagi No 05 Th 64 Minggu V April. Tulisan yang berjudul “Perihal Penghargaan Sastra” tersebut secara umum mempertanyakan tanggung jawab penyelenggara hadiah-hadiah sastra di Yogyakarta beberapa tahun belakangan.
            Begitu membaca tulisan ini, saya sudah berpikir akan ada banyak tanggapan yang dialamatkan padanya. Sisi baiknya, akan terjadi sebuah dialog yang menarik, di sisi lain, kekhawatiran saya—dan itu menjadi benar—respon tersebut akan lebih membicarakan soal lain-lain.
            Rasanya tak sabar saya ingin ikut terlibat dalam diskusi itu. Saya yakin diskusi ini akan bergulir beberapa minggu ke depan. Saya menjadi berpikir apa yang saya omongkan akan menjadi sia-sia belaka dan justru akan menimbulkan polemik baru.
 Sekali Lagi tentang Tua dan Muda
Gugatan dan kekesalan kepada sastrawan muda tersebut saya rasa ada benarnya. Para generasi muda di Yogyakarta tidak begitu mengenal sastrawan pendahulunya dan seolah tak mau tahu. Mereka tidak lagi mengambil spirit dan pelajaran apa pun dari beberapa senior-senior mereka. Mereka tinggal di Yogya tapi tidak mau mengerti Yogya.
            Namun jika kita telusuri lagi hal itu menjadi wajar adanya. Jika saya katakan generasi muda kita sangat berbeda dengan generasi sebelumnya, mungkin terkesan konyol. Generasi sekarang adalah generasi wiffi, generasi internet. Dampaknya apa? Pola komunikasi mereka tidak terbatas ruang dan waktu. Mereka berkomunikasi lewat media bernama facebook, sms, telepon, YM, blog dan situs lainnya. Karya-karya pun mengalir di sana. Dunia maya menjadi sebuah komunitas besar dan memiliki persoalan sendiri.
            Lebih dari separuh sastrawan generasi muda, hidup dengan media baru ini. Saya tidak mengatakan generasi sebelumnya tidak terbiasa dengan dunia baru ini. Ada kesenangan baru bagi generasi muda ini untuk belajar dengan sastrawan dari luar Yogyakarta, dengan banyak alasan. Bisa jadi itu karena penulisnya, karyanya, atau kesan yang seksi karena mengenal sastrawan nasional dan banyak alasan lainnya. Mereka juga dengan enteng bias men-download karya, e-book tersebat di mana-mana, kritik atas karya dan penulis dengan gampang mengalir, mereka terlibat dalam percakapan-percakapan atau gossip-gosip besar, dan pengetahuan lainnya lewat internet. Soal bahasa Inggris tidak lagi menjadi kendala. Dunia saat ini menjadi sangat mudah dan lebih sederhana.
            Kemudahan berkomunikasi dan akses ini mau tidak mau menjadikan sastrawan muda kita malas ke mana-mana, dalam arti fisik. Mereka adalah masyarakat kosmopolit. Generasi muda kita adalah generasi internasional yang sadar atau tidak mulai melupakan yang lokal. Dunialah yang berubah, mereka generasi yang ada di belakang perubahan itu. Secara fisik bisa saja mereka ada di Yogya namun sesungguhnya dalam sekejab mereka ada di mana-mana. Terkesan gagah memang, namun hal itulah yang membuat mereka abai dengan dunia di mana mereka ada. Mereka terlibat dalam perbincangan lintas generasi. Di dunia maya, batas-batas usia memang menjadi tidak berbatas. Kesukaan atau ketidaksukaan pada seseorang secara langsung bias didiskusikan. Karya dengan cepat ditanggapi, mulai dari puji-pujian ringan, hingga kritik tajam. Mereka lebih betah berada di depan komputer ketimbang menghadiri acara sastra. Hal semacam ini tentu langsung atau tidak menjadi salah satu pembentuk jarak yangs ebelumnya memang sudah ada.
Persoalan lainnya, persebaran generasi kesusastraan kita yang luas, ditambah ada dengan adanya ‘kelompok’ membuat anak-anak muda (sastrawan muda) kesulitan memilih langkah. Hal lainnya yang tak kalah penting dan sering diabaikan adalah, tidak banyak karya yang bisa dilacak dari generasi sebelumnya, baik karya dalam bentuk antologi bersama atau tunggal yang bisa dicari di toko buku, maupun tulisan berupa puisi dan cerpen sastrawan pendahulu mereka. Belum lagi secara histori sebagian besar generasi yang lahir saat ini ada di kampus-kampus dan sebagian dari mereka berasal dari luar daerah yang memang tak tahu banyak mengenai peta sastra di Yogyakarta. Kalau pun mereka mengenal satu dua sastrawan Yogya dan mendengar beberapa cerita mengenai para sastrawan Yogyakarta itu pun seolah berhenti sampai pada ‘generasi Malioboro’.
            Saya rasa tak bisa semata-mata menyalahkan sastrawan muda atau pula menganggap yang tua terlalu cerewet. Bukan tak ada, tapi tak banyak generasi tua, atau katakanlah senior yang mau tahu perkembangan regenerasi sastra di tempat asalnya. Tidak hanya di Yogyakarta saya rasa. Kalau pun ada, sifatnya menjadi lebih personal. Sementara, seperti yang telah diurai sebelumnya, gererasi muda kita lebih terpukau dengan karya dari pada pengalaman dan proses kreatif. Mereka, misalnya, lebih tertarik membaca karya di media nasional ketimbang media lokal. Tidak jarang dari generasi ini menolak media massa sebagai publikasi karya-karya mereka. Mereka punya ruang publikasi sendiri seperti blog, situs dan catatan di facebook. Dengan enteng pula mereka bisa melahirkan karya dalam bentuk buku. Proses kreatif tentu tidak seberdarah yang generasi dahulu alami. Namun bukan tanpa persoalan sebenarnya, tapi mungkin ruang dan wujudnya sudah berbeda.
            Sastra bagi sebagian orang adalah karya, bukan pengarang. Pergantian generasi dan zaman menciptakan dinamika baru pula. Anak-anak muda ini sebagian tidak terlalu tertaik dengan media massa, bila mau mereka bias menerbitkan buku dengan dana sendiri, dicetak seberapa mereka mau. Dengan mudah pula mereka terlibat kegiatan-kegiatan kesastraan di luar diri mereka. Mereka terpukau dengan isu sastra nasional dan karya sastra serta penulis nasional. Sementara para senior mereka tak banyak yang muncul di ranah itu. Dengan begitu mereka merasa menjadi generasi penerus yang tidak terlibat dengan generasi sebelumnya. Karya-karya terbaik tak juga lahir di tingkat lokal, event sastra kalau pun ada tak mampu mewadahi keberadaan mereka.
Di Yogyakarta, seringkali sastrawan muda disajikan dengan cerita bagaimana para sastrawan di Malioboro dulu melahirkan karya, berkumpul, lengkap pula dengan cerita-cerita ‘seram’ di seputar itu. Cerita berputar pada penyair anu suka begini, cerpenis itu suka begitu. Sastrawan terus lahir, generasi terus berganti, tapi tak banyak gerenasi penerus yang seintens orang-orang yang mereka bicarakan.
            Saya bisa membenarkan apa yang dikatakan oleh Hendra Octafiani dalam tanggapannya atas tulsian Mahwi di atas. Apa yang diamininya tentang tulisan Latief Noor Rochmans buat saya hal yang menarik dibicarakan. Hendra Octafiani seperti mengiyakan tulisan Latief di halaman belakang sastra yang diasuhnya itu pada waktu yang sama dengan tulisan Mahwi. Tulisan latief mengatakan bagaimana sastrawan muda tak menghargai seniornya, tidak mau tahu bagaimana proses kreatifnya dan sejak kapan dia berkarya.

Proses Kreatif Vs Karya
Membicarakan kesastraan bagi saya adalah membicarakan karya, bukan proses dan bagaimana dia menjadi. Karya adalah karya, pengarang adalah pengarang. Pengarang yang berhasil adalah karyanya mampu memberikan banyak hal bagi pembacanya, bukan sekedar dia menghasilkan karya semata. Seseorang sastrawan harusnya dikenal dari karyanya. Dalam banyak kasus, para senior hanyalah tinggal nama, tapi tidak lagi melahirkan karya. Yang lebih beresiko adalah sebelum mereka benar-benar berhenti menulsi, belum ada karya-karya yang mampu lekat dalam perputaran generasi yang kian cepat ini. Dan di sinilah saya kira agak menarik. Anak-anak muda sekarang yang prosesnya boleh saja ‘kemarin sore’ tapi mereka bias melahirkan belasan karya dalam bentuk buku. Sementara itu para senior mereka yang bertahun-tahun menulis, tetap saja tak punya tempat untuk karya-karyanya dibaca oleh kalangan yang lebih luas.
 Gugatan dan pertanyaan dari seorang Mahwi sebagai salah satu dari sastrawan muda, yang mungkin dianggap tidak beretika itu, menunjukkan masih ada dinamika kesastraan di Yogyakarta. Saya menganggapnya sebagai bentuk kepeduliannya terhadap perkembangan kesusasteraan di Yogya. Jika kemudian dianggap keterlaluan, nah itulah momen yang baik bagi para senior menuntun anak-anak muda ini agar melewati ‘jalan yang benar’.
            Kecemasan saya adalah ketika persoalannya mulai mengarah pada yang Yogya dan yang Bukan Yogya, sebagaimana yang ditulis M Sartono, dimuat bersamaan dengan tulisan Hendra Octafiani. Astaga, bukan kali pertama dialog-dialog semacam ini saya dengar. Apakah di negara Republik Indonesia kita masih akan berbicara asal dan identitas lokal sang pengarang? Apakah mereka yang berasal dari luar tak boleh menyampaikan pendapat mereka tentang apa yang mereka lihat, tentang apa yang mereka rasakan? Apakah untuk membicarakan Yogya harus menjadi Yogya? Bagaimana seharusnya menjadi itu semua?
            Jika anak-anak muda dibiarkan diam-diam saja dan tak boleh mengkritik kondisi kesastraan menurut yang mereka tahu, akan benarlah adanya, sastrawan muda yang akan semakin melupakan para pendahulunya. Sementara untuk bertanya apalagi menggugat dianggap tidak tahu sejarah, sekali lagi saya katakan, di antara sekian banyak nama, sastrawan yang mana yang harus dijadikan panutan?
            Saya sering dengar sebuahy anekdot untuk menjadi sastrawan tinggal bekunjung saja kepada sastrawan. Bilang saja kau sedang belajar puisi atau cerpen. Pelajarilah teknik deklamasi puisi, kelak kau akan dianggap penyair tanpa perlu mengeluarkan karya. Saya tak ingin hal itu menjadi sesuatu yang sungguhan. Sebab menjadi seekor katak di tengah hamparan sawah akan lebih baik ketimbang terkurung dalam tempurung.
            Saya yakin, dari sastrawan muda yang dianggap melupakan sejarah dan tidak beretika ini akan dan pernah lahir karya besar yang tidak hanya semata menjadi sastrawan daerah tapi juga sastrawan nasional. Jika mau jujur, mereka yang dari luar, nguri-nguri sastra Yogya ikut menyemarakan kesastraan Yogya dewasa ini.
          Sebagai akhir dari pembuka dialog saya ini, mengapa kita tidak melakukan upaya-upaya perbaikan bersama, dengan misalnya mencoba mendokumentasikan karya dan para sastrawan daerah, khususnya Yogyakarta dan menerbitkannya dalam sebuah karya. Kerja ini tak akan bias dilakukan sendirian. Kerja bersama antara senior-yunior, tua-muda ini akan membuat silaturahim kita akan lebih bagus. Generasi muda berangkat dari hal yang kosong, yangs eniorlah yang bias membantu mengisinya. Yang dauh lebih di dekatkan, yangd ekat semoga bias dirapatkan. Hal-hal yang sifatnya politis juga tak baik bagi anak-anak muda yang tak mengerti banyak ini. Nah, di luar memberikan penghargaan, lembaga-lembaga tersebut, termasuk milik pemerintah membantu kerja bersama ini. Saya yakin, generasi berikutnya dan berikutnya akan berhutang dengan kerja keras ini.
            Namun ini tentu saja pandangan subyektif saja dan semata-mata sebuah tawaran rembug bersama. Saya yakin kawan-kawan akan punya pandangan yang lain pula. Semoga bias berdialog dengan baik. Beberapa hal mungkin bisa menjadi pancingan untuk diskusi-diskusi selanjutnya.      
            Saya kira ini bukan masalah sastrawan muda Yogya semata-mata, tapi juga persoalan di daerah lainnya, mungkin.

Yogya, 13 Mei 2011

Sumber gambar: 
http://gudang-info.com/info-untuk-anda/menumbuhkan-semangat-belajar.html

8 komentar:

anes prabu sadjarwo mengatakan...

saya kira mempersoalkan asal dan identitas lokal sang pengarang sangatlah naif! saya sebagai orang yang lahir dan besar di jogja justru banyak belajar dari teman-teman nusantara! huft...
kalaulah sifat 'kritis' terhadap realitas yang dialami penulis muda (berdasarkan realitas yang terjadi dan dimunculkan dengan asas kejujuran) dianggap sebuah kekurangajaran, ya saya juga minta diajari! anes ps

indriankoto.blogspot.com mengatakan...

wah Anes bersemangat sekali nih. hehhe.. Komentar saya sudah tak pasang di FB barusan men.

Kira-kira begini saya menulis tadi:
wah, wah.. wah.. Seandainya dirimu komen di blog akan sangat keren ini mas men. beneran deh. saya melihatnya memang ada diskomunikasi antara yang "tua" dan "muda". Kita yang muda2 tertarik dengan hal2 di luar kita (ini juga salah satu efek ...dari akses yangs emakin mudah kali ya) sehingga kadang tidak tahu bagaimana sastra di suatu tempat (katakanlah di Yogyakarta) itu tumbuh hingga hari ini. Harapan satu2 media yang mempertemukan tentu saja karya. Makanya saya sangat senang ketika mendengar berita tentang buku kumpulan tulisan (kalau tak salah) Orang2 Malioboro. Seperti apa pun hasilnya, dokumentasi itu sangat diperlukan oleh generasi berikutnya. Saya selalu percaya bicara sastra adalah bicara karya bukan proses kreatif semata-mata. Ini tentu pandnagan subjektif saya saja. hehe. Soal identitas tentu snagat tidak menarik untuk dipertanyakan.

Saya benar-benar berharap ini menjadi sebuah dialog. Dan tentu saya dalam hal ini sangat mungkin salah, karena tulisan ini tujuannya bukan untuk menggurui apalagi ingin sok tahu. Tapi Paling tidak sebagai pemantik diskusi yang lebih lanjut.

Begitu kira2 kawanku.

Andy Sri Wahyudi mengatakan...

koto...

kenalin aku para sastrawan muda...semacam kamu...agar aku gaul dalam bersastra...hahahhaa...

temenku cuman kamu dan dwicipta...

haduuh...ampyun nenek moyang...!!!

setahuku etika itu kata lain dari TAI..hhihihiii...
jangan bilang sapa-sapa ya...

lam manis...
andy dan andy

indriankoto.blogspot.com mengatakan...

Buat Andy dan Andi:

Ampuuunn ngimpi apa aku semalam, tulisanku dikomentari sama Cerpenis, Penyair, Aktor, Novelis, Sutradara, Fotografer, Pematung, Penulis Naska, Pantomimer macam sampean mas.... eh tetangganya Afrizal Malna pula. duhh...

Kadang justru karya dari mereka yang tidak terlalu banyak ngumpul dan nongkrong di mall lebih bagus loh mas men.

Etika di sini maksudnya bersopan santun mas Andy dan Andi. Gayep lan rukun, ngono loh..

nanoq da kansas mengatakan...

Aku suka tulisanmu ini. Salam kangen dari Dusun Senja...

Anonim mengatakan...

Koto, aku nge-fans sama blogmu. Disamping karena gaya tulisanmu yang semlohai, juga backsoundnya yang melenakan. Kuterlena, dalam buai,,,,he-he-

indriankoto.blogspot.com mengatakan...

ahem: salam bli nanog. Saya juga diam2 sering berkunjung ke Dusun Senja.. makasih sudah meninggalkan catatannya

indriankoto.blogspot.com mengatakan...

Aris kawanku yang baik. haha.. besok diganti musiknya dengan lagu dangdut saja deh. mau???