1 Des 2008

Perkara Mati

-kepada Zen pejalanjauh.com

Dia jongkok dengan mata tertutup kain hitam. Kamera menyorot dengan tenang. Pesakitan itu berjongkok dengan baju putih panjangnya, para algojo bersiap-siap dengan parang panjangnya. Beberapa kali pesakitan itu menggeleng-gelengka kepalanya, seperti hendak menolak takdir yang sebentar lagi menyapanya.



Dia tidak melihat ketika pedang panjang-tajam itu keluar dari sarangnya, tapi dia past mendnegar suara sekecil apa pun. Berlahan, dua orang memegang bahunya agar tidak berontak. Semakin dipegang, dia bersikap semakin liar, semakin dekat maut yang dia rasakan, semakin santer bau kematian. Kamera menyorot dari dekat wajah sipesakitan yang berontak itu. Algojo berada di sisi kanan si pesakitan, di samping dua algojo lain yang memegangi si pesakitan. Lalu dengan satu hentakan yang luar biasa cepat, pedang itu menggores dengan keras leher bagian depannya lalu menjalar ke samping kiri. Gerakannya semakin liar, suaranya mendesis berat, “Kghhh……!!! Kggghhhh…..”

Dalam beberapa detik, baju putih itu berubah warnah, pedang putih-tajam-panjang itu bergerak lincah di lehernya (setidaknya ini bukan maut terakhir dari ketajamannya) dan sekejap kepala itu terangkat, lepas dari tubuh yang kemudian jatuh ke lantai, berkelejotan kecil sebelum diam yang abadi.

Aku melihat film itu dari seorang teman yang sejak awal mewnti-wanti untuk tidak menontonnya. Tapi aku ngotot. Kejadian itu sehari sebelum Idul Adha dua tahun yang lalu. Aku muntah, kepalaku berkunang-kunang, itu darah, kau tahu, aku tak bisa melihatnya. Kamar sang teman berubah menjadi kamar eksekusi di mataku. Bukan darah itu sesungguhnya membuatku takut kini, tapi maut yang begitu dekat itu membuatku nyeri dan meraba leher berkali-kali.

Aku merasakan betapa tipis antara hidup dan mati. Ia—pesakitan itu—beberapa saat yang lalu masih tertunduk dengan pikiran yang tidak terpahami, sebentar kemudian tubuh itu kaku.

Singkat memang, cepat memang, tapi mari kita bayangkan bersama ketika kita sekejab menjelma pesakitan itu. Apa yang bisa kita rasakan menjalang besi tipis-tajam-dingin itu menyentuh leher tipis ini?

Setiap kita mungkin punya pilihan bijaksana tetapi konyol, ‘mati’ ketika sebuah soal menghentak begitu rumit. Banyak orang terbiasa dengan kepasrahan, “lebih baik mati dari pada…”

Bukan di situ soalnya. Aku bertanya soal rasa kawan Zen, bukan bagaimana kematian itu datang. Aku sering merasa senjata penuh peluruh mengarah padaku, leherku digaris benda tipis-tajam. Kematian, apa pun bentuknya bagiku teramat sakit dan menyiksa.

Lalu mati yang diketahui begitu pasti. Mereka yang bisa menghitung sisa usianya, aku ingin belajar darinya bagaimana menerima kehilangan—melepas apa yang sempat dimiliki. Ia masih bisa menghirup nafas, merasakan angina menerp tubuhnya, mencium bau-bauan yang ada disekitarnya, merasakan tanah dingin di telapaknya sebelum sunyi yang panjang.

Siapa penentu takdir wahai Pengasap Neraka? Mati, betapa sunyi dan perih. Setiap kita akan menerimanya sebagai jalan menuju hidup yang lain. Hidup yang lain? Siapa yang berkehendak?

Aku mungkin sebangsa penakut menjadi pesakitan sekaligus algojo. Aku tak bisa membayangkan hidup dikeduanya itu. Pesakitan yang menghela nafas, mengusir ketegangan terakhirnya, sementara sang algojo dengan sehela nafas menyelesaikan tugasnya. Berhenti di sanakah semuanya? Pembunuh dan dibunuh bagku sama-sama sakit, sama-sama sunyi yang panjang. Entah bagi yang lain. Di medan perang misalnya di mana pilihan yang tersisa hanya dua. Yang mati setelah prosesi berat itu mungkin akan selesai keduniaan ini, yang membunuh akan msih tetap menyisakan peristiwa itu dalam ingatannya.

Lalu mati yang diketahui orang banyak, di mana Negara sebagai sebuah otoritas mengikhlaskannya dengan tenang, di mana rasanya keadilan itu wahai dunia. Betapa sendirian, betapa sepi rasanya.

Pesakitan yang tenang itu Zen, mungkin tengah membayangkan, sebelum maut betul-betul menghanyutkannya jauh-jauh dari dunia ini masih sempat menduga-duga keinginan konyol. Sebelum pelatuk, pisau tajam dan senjata apa pun itu mulai beraksi, sesuatu yang menyelamatkannya betul-betul dating. Ia terselamat dari maut yang sengkarut.

Dan aku sungguh-sungguh takut menjadi keduanya: pesakitan dan eksekutor. Sama-sama dingin dan sunyi.

Yogyakarta, 2008

8 komentar:

Anonim mengatakan...

akupun telah menziarahi
perang, amerika, teroris, maut...salam

indriankoto.blogspot.com mengatakan...

wah terima kasih bung aris.. selamat berkunjung. masih menulis to??

bagaimana pendapatmu tentang mati??

Anonim mengatakan...

arrrghh..kematian!

sesungguhnya yang paling sedih dari sebuah kematian adalah mereka yang ditinggalkan.. beban ingatan akan si mati terus menggelayut dan tak kunjung beranjak.entah mungkin si mati sudah berjalan ke suatu tempat yang entah, atau mungkin masih melayanglayang di dunia.

pffh, yang jelas aku selalu sedih mendengar berita kematian, kematian dengan apapun prosesnya.

pernah terpikir olehku untuk mati secara heroik, sedang mengajar mungkin, atau sedang menulis. yang jelas aku tak suka mati dalam tidur, rasanya kok seperti dipecundangi.aku juga tak suka mati dalam tragedi massal. rasanya aku hanya menjadi bagian dari statistik korban. ah, itu jika aku bisa memilih cara untuk mati!

oh ya kenapa banyak pria yang kukenal takut dengan darah?darah manusia terutama. aku suka bingung. mungkin aku saja yang aneh ya. hei, aku tak takut dengan darah, darah apapun :( aku bingung apakah aku yang aneh...entah.

salam buat temanmu si pesakitan yang tenang itu

Anonim mengatakan...

assalamu'alaikum.OK sama-sama sobat..alhamdulillah, genangan rasa dalam ceruk jiwa ini selalu merembesi kafan nalarku, hingga jemari yang ringkih ini selalu ingin menjentikkan kata, kendati masih sangat sederhana. hmmm..mati?.."sportifitas dalam runyamnya kehidupan"...kurang lebih begitu. mati bukan soal kalah menang. mati memberi arti tentang nikmatnya turut bermain dalam konstelasi kefanaan. ya, dan kita semua adalah para pemain yang dibekali skill yang mumpuni. jadi kenapa keluh kesah, putus asa itu menjadi pantangan. barangkali inilah sekelumit penghayatan atas takdir yang bernama mati. .lain waktu aku akan berziarah lagi sobat.wass.

PERERBIT AKAR INDONESIA mengatakan...

Ini kuli lo

to Cerita Senja: Kupikir semua sama-sama sakit dan kehilangan. aku pernah beberapa kali berpikir akan mati saat itu (tentu sebuah peristiwa yang rasanya begitu berat menghimpit saya) kau tahu apa yang kubayangkan? bagaimana dnegan rencana ini-itu? bagaimana dnegan yang lain? ini bentuk ketidaksiapanku akan maut.

soal darah? aha, kupikir perempuan memang harus lebih berani ketimbang laki-laki. dan bicara kekerasan dan darah kupikir perempuan lebih dominan ketimbang laki-laki. perempuan bersitungkin dengan pisau dan darah. lelaki jarang2 to?

Anonim mengatakan...

to zyrajawa:
kupikir kau lebih matang soal maut kawan. aku harus belajar darimu.

aku benar2 bingung dengan kematian itu. setiap yang pergi benar2 tak pernah kembali. kita hanya menduga2 soal sesudahnya. setiap kelompok menterjemahkan dengan konsep yang berbeda, bahawa ada baik-buruk, ada keabadian, ada yang percaya sebagai kelahiran yang terus berulang.

bukan soal percaya atau tidak bagiku. aku ingin sebuah kesaksian setelah milyaran tahun umur bumi ini. kumohon, penyaksi datanglah. bukan sebagaimana kitab2 tuliskan..

main terus ya??

Anonim mengatakan...

hmm...ya aku mengerti maksudmu sobat...kesaksian, menurut hematku anti-klimaks di penghujung perdebatan diatas tatanan..ah kalau soal itu akupun sama seperti huttaqi yang meragukan turunnya kembali Isa bin Maryam. tapi keraguan intelektual, bukan keraguan atas dasar kesaksianku atas pembebasan diriku sebagai seorang hamba...

eh...ngomong2, intens sekali kau ngeblog. apa resep materiil dan immateriilnya sobat. aku pengin meniru...

ridwan munawwar galuh mengatakan...

kenapa sih harus berfikir kematian, kalau berfikir tentang hidup saja belum penuh?