14 Okt 2008

Catatan Pembunuh

Prolog: tadinya saya mau posting foto-foto semacam narsisme bahwa saya pernah keluar Yogya juga. tapi tiba-tiba yang terjadi saya malah menulis ini. aduh...
Sebelum Ajal
(Catatan Seorang pembunuh)

Dari dulu aku tak pernah sangsi dengan mati. Bagiku ia niscaya. Dalam hidup berkali-kali aku berhadapan dengan maut, berkali pula aku terselamatkan olehnya. Aku percaya, sebelum ajal, sebelum Tuhan berhendak, tak akan nyawa ini pergi.
Aku menyadari setiap pekerjaan memiliki resiko yang berbeda. Ketika aku memilih pekerjaan ini, aku paham betul kemungkinan dan segala konsekwensinya. Apa yang kudapat kini, sudah terpikir sebelumnya. Aku telah membunuh, sebentar lagi aku juga akan dibunuh. Sebuah konsekuensi logis yang harus kuterima. Tapi percayalah, membunuh bukanlah pekerjaan sederhana. Dan aku, sebagai manusia biasa, dalam hal-hal wajar aku akan menolaknya. Tetapi selalu ada hal-hal yang muncul di luar kesadaran. Aku meyakini itu, bahwa apa yang dianggap baik, bisa jadi sesuatu yang buruk.
Dan aku memutuskan untuk membunuh sebagai bentuk pernyataan diri. Siapa dan untuk apa aku membunuh bukan lagi menjadi soal dan tak perlu kutulis di sini. Aku ingin mengatakan apa yang diyakini sekelompok orang bisa jadi ditolak sekolompok lainnya. Kebenaran relatif sifatnya dan kurasa tak perlu diperdebatkan. Sekali lagi kukatakan, dalam hal-hal normal, membunuh adalah tindakan biadab dan aku betul-betul meyakininya sampai hari ini. Menjadi pembunuh dan untuk dibunuh bukanlah sebuah cita-cita.
Aku telah membunuh, semua orang tahu itu dan tak perlu lagi kusembunyikan. Kenapa dan untuk apa aku membunuh bukanlah sebuah retorika dan perlu analisis. Aku membunuh karena aku menginginkannya, apakah itu bukan sebuah konsesi logis? Tak sesederhana itu memang, tetapi bukankah kebenaran bagi satu orang—semacam saya—bukanlah kebenaran bagi yang lain? Saya tak percaya dengan hitam-putih. Semua berasal dari satu warna saja. Hitam atau pun putih. Kebenaran adalah milik semua pihak, dan kesalahan merupakan tanggungjawab keduanya. Tanpa api tak akan ada asap.
Di tempat mana pun, apa yang sudah aku lakukan—membunuh dengan rencana matang dan kesadaran penuh—adalah pekerjaan bejad dan tak layak dilakukan. Alasan bagiku tak lagi penting; apakah seseorang berada dalam kondisi terjepit atau dalam keadaan perang. Membunuh bisa dilakukan kapan saja dalam situasi apa saja, sekaligus bisa ditolak kapan saja, dalam keadaan apa saja. Tetapi membunuh adalah membunuh, menyudahi hidup seseorang—atau banyak orang.
Pembunuh adalah perantara malaikat maut.
***
Aku begitu pasti, sebentar lagi aku akan sampai di ujung kehidupan. Aku akan mati, sebagaimana mereka yang pernah saya antar ke sana. Sebagai orang beragama, saya percaya akan adanya hari akhir.
Setiap orang memiliki keyakinan masing-masing. Mereka boleh saja mengutukku, memintaku untuk segera dilenyapkan. Tapi pahamkah mereka, dengan melenyapkanku, peristiwa lampau tak akan bisa dikembalikan? Hakikat manusia dipenuhi dendam. Bagi mereka, dengan menyudahiku semua akan selesai. Tentu mereka berdoa dan berharap aku ditempatkan di neraka yang paling nista.
Begitulah adanya. Aku mencium bau maut begitu santer. Orang-orang mempercakapkanku tanpa ampun seolah Tuhan yang akan menyelesaikan semua riwayatku.
Tapi baiklah, jika kematianku ini yang ditunggu, jika bisa menyelesaikan banyak hal, meski—bagi mereka—tidak dosa-dosaku, baiklah. Aku telah siap dieksekusi. Dari dulu malah, dari awal ketika aku melakukan kejahatan sebagaimana yang mereka pikirkan aku sudah menyadari resiko ini.
Aku bisa menghitung sisa usiaku. Kau tahu, menghitung usia sendiri, mengetahui jadwal mati bukanlah menyenangkan. Tapi apa yang tidak mendebarkan dalam hidup?
***
“Aku minta digantung di alun-alun kota, biar semua orang bisa melihat kematianku.”
Hanya itu permintaan terakhirku.
Mereka pikir ini main-main? Tidak ada mati yang tidak serius, tidak ada mati yang tidak disiapkan. Jika aku bisa mengetahui kapan kematian mendatangiku, kenapa pula aku tak bisa meminta tempat dan menentukan caranya?
Selalu ada unsur politik menjelang pemilu ini. Orang-orang menyeretku dalam setiap pembicaraan untuk tujuan-tujuan yang telah dipolitisir. Dan kematianku, untuk mengantarku pada malaikat maut dan memelintir peristiwa yang berhubungan denganku mereka harap akan mendongkrak nama mereka.
Aku hanya ingin digantung di alun-alun kota. Kenapa kalian begitu payah mengabulkan permintaan ini? Kalian tak ingin dianggap kejam, memeperlihatkan kematian di hadapan banyak orang? Omong kosong itu semua, kalian kira mati oleh peluru, di penggal dengan pedang, dibius sampai mati tidak sama kejamnya?
Aku punya alasan untuk itu. Aku ingin semua orang menyaksikan kematianku agar ada hikmah yang bsia diambil dari ini semua. Bukankah kebenaran itu relatif? Bukan untuk mencari simpati jika aku menginginkan ini. Aku mau, jika nanti aku mati, kalian paham, ini tak boleh diulangi lagi. Agar anak-anak muda tidak meniru tingkah saya. Agar kalian percaya kematianku tidak sedang dipolitisir.
Dan aku minta, siang ini, di alun-alun kota kalian mulai eksekusi ini. aku capek menduga-duga maut. Penundaan adalah kematian lain bagiku yang hanya bisa menunggu.

Yogyakarta, 2008

3 komentar:

Bambang Saswanda Harahap mengatakan...

salam
singgah
bercerita andai bisa
semoga kita bisa berkawan

Anonim mengatakan...

pembunuh juga manusia,hmm

Anonim mengatakan...

ya iyalah manusia. siapa yang bilang bukan manusia senja? salam kenal bung timur matahari..