28 Okt 2008

Elizabet yang Mewah

Elizabeth The Golden Age;
Perempuan Pemimpin dari Eropa


Pemain: Cate Blanchett (Elizabeth)
Clive Owen (Walter Releigh)
Geoffrey Rush (Francis Walsingham)
Abbie Cornish (Bess)
Jordi Molla (Philip II)
Samantha Morton (Marry Stuart)
Sutradara: Shekhar Kapur


Apakah pemimpin itu layaknya dihormati atau ditakuti masyarakatnya?

Segala kemegahan seorang Ratu penguasa Inggris pada tahun 1585 tergambar dengan bagus. Puri, pakaian mewah, gaya hidup kelas atas bangsa Eropa. Kita diantar ke tempat-tempat bersejarah semacam Westminster Cathedral, Ely Cathedral, Wells Cathedral, Burghley House, Petworth House, Dorney Court, dan St. John’s College – Cambrige dan semacamnya. Di luar itu semua kita akan melihat sebuah sepak terjang seorang pemimpin bangsa yang dengan gaya kepemimpinannya mampu membawa Inggris pada sebuah peradapan yang luar biasa. Inilah gambaran film Elizabety The Golden Age yang merupakan sekuel dari Elizabet yang sebelumnya laris di pasaran.

Yup, film ini bercerita tentang seorang perempuan, Elizabeth pertama seorang perempuan yang memimpin tampuk pemerintahan Inggris bahkan sampai kini pun, Inggris tetap menggunakan system itu kekerajaan tersebut. Juga di Negara-negara persekutuannya semacam Malaysia.

Dalam film ini diceritakan bagaimana Elizabet mencoba mengatasi krisis dalam pemerintahan, perang dan tekanan dari dalam dan luar kerajaannya. Orang terdekatnya, Marry Stuart (ah, kekuasaan selalu penuh kejutan dan kekejian) bersekutu dengan Sir philip penguasa Spanyol dengan armada lautnya yang kuat serta misi salip yang dia gerakan ke seluruh dunia. Pada akhirnya, kekuasaannya menjadi runtuh, bukan karena pedang musuh tetapi oleh sekutu-sekutu busuk dari orang-orang istana sendiri. Dari sini, kita melihat sekali lagi, kekuasaan tidak mengenal kawan atau lawan, saudara atau keluarga.Lanjutin ya? dibawah.Dalam tulisan ini yang menjadi sorotan adalah masalah kepemimpinan. Bagaimana seorang Elizabeth bisa menjadi penguasa tertinggi di Inggris di mana para lelakinya adalah pelaut yang gagah dengan armada perang yang tak kalah ampuhnya. Dalam sejarah kita tidak bisa meragukan konsep kepemimpinan seorang Ratu yang masih terus bergerak hingga hari ini.

Seorang Elizabeth yang tenang dalam memimpin, bahkan menghadapi konspirasi jahat dari orang-orang terdekatnya. Kita diantarkan pada suasana di mana ketika Elizabeth menerima para tamu dengan pendekatan persuasif sehingga apa yang rakyat keluhkan bisa didengar langsung olehnya (setidaknya ini adalah gambaran sebuah film ala Barat yang glamour dan tidak bisa kita tutupi di mana sepanjang film kita diperlihatkan pada kemewahan masa lalu dan tata artistik yang gila-gilaan).

Saya tidak tahu, mengapa untuk melihat kepemimpinan yang kharismatik dan peempuan pula, kita diantar jauh-jauh ke kepulauan di ujung Utara sana. Jika kita sedikit bisa berkompromi dengan mitos dan kepercayaan Jawa ada Nyi Roro Kidul (Ratu Pantai Selatan) yang memiliki kekuatan yang tak kalah dasyatnya—sebagai maan dipercaya oleh masyarakat setempat. Roro Kidul, berbeda dengan Elizabeth yang menguasai dunia nyata, adalah seorang pemimpin yang sampai hari ini dikenang dan disegani oleh sebagian masyarakat Jawa sebagai penguasa Laut Selatan. Pola penguasaan yang sama saya rasa—bedanya jika Roro Kidul tak bisa kita temukan sisi kebenarannya tetapi pada Elizabeth sejarah mencatat keberadaan tokoh itu dan mengekalkannya.

Saya tidak tahu banyak sejarah Inggris dan konsep kepemimpinan ala ratu di sana dan kenapa meraka tetap mempertahankan konsep itu. Dalam film itu nyaris sepanjang pengadeganan kita akan melihat seorang Elizabeth yang dingin dan tenang, berbicara pelan dan teratur tetapi bisa membakar semangat tentaranya ketika ia berkunjung ke Tilbury mengantarkan armada perangnya tersebut. Ia seorang yang sendiri dan merindukan kepemimpinan yang lain: seorang lelaki. Bagaimana Elizabeth yang dihormati banyak orang, di sisi lain dalam hidupnya adalah seorang perempuan yang kesepian dan mendambakan cintanya bagi seorang pelaut sejati, Sir Walter Releigh. Pemimpin yang merindukan pimpinan, hmm sisi kemanusiaan yang hanya bisa kita lihat dalam sebuah film. Satu hal mendasar dalam pikiran saya, apakah seorang Elizabeth dalam konteks sosial yang riil memang bersikap semacam itu di hadapan rakyatnya?

Sekali lagi, ini soal kepemimpinan. Sekali lagi pula saya merasa kita terlalu jauh melihat ke Eropa untuk melihat sebuah konsepsi kepemimpinan sukses seorang perempuan (sebenarnya tidak juga, pada akhir kekuasaan Elizabeth inggris mengalami degradasi sosial-ekonomi yang parah). Jauh sebelum itu dalam masyarakat Minangkabau memiliki pemimpin seorang perempuan. Hal ini menjadi tradisi yang terus berkembang hingga hari ini. Isu tentang hak-hak perempuan, soal persamaan, jauh-jauh sebelum Inggris mulai bercokol di Nusantara, di pesisir Barat Sumatera kita sudah mengenalnyua lewat Sosok Bundo Kanduang.

Ada apa dengan perempuan? Dalam wacana gender isu tentang pola patriarki dan persamaan derajat adalah wacana yang paling kencang dilontarkan. Sementara pola kepemimpinan karismatik sekaligus humanis (setidaknya citraan dalam film ini) ala Elizabeth adalah sebuah pola manis yang bisa diterapkan untuk menghindari perang dan menciptakan masyarakat yang harmoni (yang didominasi kaum lelaki). Tetapi sesederhana itukah? Tapi sekalai lagi, ini adalah wacana tentang kepemimpinan.

Dari ruang kelas yang memutar film ini saya tidak hanya terganggu oleh sound yang tidak terdengar sama sekali, terjemahan yang gawat karena memang film ini tidak memiliki terjemahan Indonesia. Ini cukup mengganggu. Apa yang bisa kita dengar dari pemimpin bijak ini? Bagaimana kita memahami kata-kata puitisnya jika tak ada suara dan terjemahan yang benar yang bisa kita dapatkan?

Di sisi lain, saya dihantarkan pada Bundo Kanduang yang menjadikan Pagaruyuang sebagai pusat kerajaan terbesar pertama-tama di Sumatera hingga Semenanjung Malaya. Sesekali melintas Mitos Ratu Pantai Selatan yang sampai kini masih saja disembah masyarakat pengaggumnya. Dan mereka, termasuk Elizabeth bagi saya adalah seorang pemimpin perempuan yang kharismatik, yang dengan pandangan mata bisa membuat mata tajam para lelaki menjadi lemah tanpa ampun. Tetapi perang tetap harus berjalan bukankah begitu salah satu bentuk citraan sebuah bangsa? Paling tidak saya ingat itu dari tulisan Benedict Anderson.

Dan saya masih juga belum mendapat jawaban dari pertanyaan saya; apakah pemimpin itu dipatuhi karena ketakutan masyarakatnya? Dan mana yang lebih baik, pemimpin yang orator, otoriter atau kharismatik?

Jawaban singkat saya yang bukan sebuah tesis hanyalah: tergantung pada kondisi. Ada masa-masa di mana mereka menggunakan salah satu cara atau menggabungkan ketiganya bahkan lebih banyak lagi pada saat yang lain. Dalam soal ini tak lagi penting dia lelaki atau perempuan. Anak muda atau orang tua. Terserah dia menyerahkan hidup sepenuhnya untuk Negara sehingga begitu sepi dan kesunyian atau memiliki istri lebih dari satu. Pemimpin adalah mereka yang dipandang bukan melulu karena rasa takut. Tentu bukan pula karena pidatonya. Pemimpin sejati adalah pemimpin yang memberi contoh untuk kemudian diikuti.

Selebihnya merupakan hipotesis dan ceracauan belaka. Semoga nanti saya mendapatkan jawabannya dalam perkuliahan ini!

Yogyakarta, 28 Oktober 2008

4 komentar:

Anonim mengatakan...

mungkin memang benar kalau ada yang bilang pemimpin itu harus bisa ada didepan, ditengah dan dibelakang.

anyway, setelah nonton the golden age itu saya jadi sedikit kepikiran apakah saya sebenarnya ini lesbi. soalnya saya suka sama si elizabeth.
eh, tapi belakangan saya baru tahu kalau ternyata saya tak tertarik jadi lesbi ketika saya jatuh cinta sama sandi yuda di bilangan fu

*halah, saya malah curhat. maaf ya mas :D*

indriankoto.blogspot.com mengatakan...

saya juga kepengen nonton pelem itu lagi dan meresensinya buat blog http://nonton-film.blogspot.com lagi pula saya penasaran pas ada agegan yang dimajuin sama dosen saya. gak layak tonton katanya. nah bikin penasarankan?
kira-kira agedan apa ya? penasaran banget deh.

soal Bilangan Fu, aku dipinemin dong bukunya.. hehe

Anonim mengatakan...

[...]Pada 1585, menurut settingan film ini, Ratu Elizabeth berusia 52 tahun - Cate Blanchett baru berumur 36 pada waktu main - dan ia tidak dilamar oleh orang sepeti Ivan the Terrible (yang sudah mati pada jaman itu). Dan walaupun dalam movie dia digambarkan sedang menggiring tentaranya ke Tilbury dengan menunggang kuda putih dan dilengkapi dengan baju besi lengkap dengan pedangnya, pada kenyataannya sang Ratu hanya bisa menunggang dengan posisi menyamping dan membawa tongkat kecil. Dia lebih seperti mayoret daripada menyerupai image Joan of Arc.[...]

Eh, ini ngomongin film nggak sih?

Anonim mengatakan...

kuli to striptisdelapan:
yoi, aku juga sempat baca itu diblog anda sebelum saya menulis tulisan ini. hehhe...
salam kenal.. selamat berkunjung. terima kasih komentarnya