24 Jul 2008

lelayu



Riwayat Maut yang Sungsang:

Maut telah Menyapanya Dengan Lembut dan Teramat Santun

Semacam Obituari (Halvarizal 1982- 21 Juli 2008)

Berita malam itu amat mengejutkanku. Dari SMS uda Raudal, dia meminta saya mencari informasi tentang kabar anak Surantih yang meninggal. “Dia kuliah di UIN, aslinya katanya dari kayu Gadang,” begitu kira-kira bunyi pesan tersebut. “Dan tolong dicari kebenaran infonya.” Lanjutnya pula. Ia mendapat kabar ini katanya dari Uwan Syamsu Anwar yang biasa mengurusi masyarakat Pesisir di daerah ini.

Aku langsung mengontak Rudi anak Pak Inuang, orang Surantih yang kuliah di UIN yang saya kenal setelah saya dan kakak sepupu saya Mulhendri. Sebelumnya saya tidak mendapat kabar kalau ada anak Surantih yang kuliah di Yogya selain kami bertiga dan satu lagi Lina Afriani di UGM. Mungkin awak saja yang kurang tahu banyak.

Tetapi jawaban Rudi sama saja, demikian pula sepupu saya. Kemudian saya meluncur ke Suratu Tuo salah satu asrama mahasiswa Minang yang ada di sekitar UIN, tempat yang jarang saya kunjungi juga. Saya ingin memastikan jangan-jangan teman-teman di sini sudah mendengar kabar tersebut. Saya merasa penasaran dan menyesal. Penasaran tentang siapa anak Surantih dengan kabar buruk itu dan menyesal mengapa saya begitu jauh dengan informasi seputar ini. Sama saja, tak ada kabar tentang itu, tak ada yang tahu berita itu.

Bebebrapa waktu kemudian setelah saya kembali ke kos dan mengontak beberapa orang lagi, masuk lagi sebuah pesan yang mengabarkan bahwa jenazah sekarang ada di PKU Muhamaddiyah. Infonya almarhum meninggal di rumah kosnya dan keluarganya dari Padang sedang dalam perjalanan menuju Yogya.

Saya forwad sms tersebut pada sepupu saya dan memintanya ikut saya untuk mengecek kebenaran tersebut. Jika malam ini almarhum ada di PKU berarti dia meninggal sudah dalam jangka waktu yang lama juga. Duh, di zaman teknologi begini mengapa jua begitu susah mencari informasi?

Dan kami meluncur ke rumah sakit. Malam di bulan Juli menggigit tulang kami. Lima belas menit kemudian kami sudah sampai di rumah sakit yang terletak di belakang Malioboro itu. Aku menajamkan telinga, memastikan sesuatu. Tak ada. Pelataran rumah sakit sepi. Ada dua orang yang duduk di ruang tunggu dan empat anak muda yang tampak kelelahan—tiga cowok dan satu perempuan—berada di bangku belakang.

Aku mendatangi petugas jaga dan bertanya perihal mayat yang masuk ruang jenazah hari ini. Petugas itu bertanya identitas jenazah dan membuat saya kelabakan. Saya benar-benar tak tahu, bahkan sekedar nama dan usia almarhum. Lalu si petugas bilang memang ada mayat yang masuk tetapi dari Bogor bukan orang Minang. Aku bingung dan agak panik. Sepupu saya kembali berdialog dengan petugas.

Saya melirik sekeliling. Saya mencurigai empat orang anak muda tadi. Dan salah seorang sedang berbicara di handhpone. Dari logat suaranya aku tahu dia orang Minang. Saya langsung mendekat. Dan bertanya, “Yang mengantar jenazah orang padang itu ya?”

Dan mereka langsung mengangguk lega. Setidaknya bertambah juga kawan yang tahu, bertamba pula dunsanak yang berkumpul. Dari keempat orang tersebut, dua orang berasal dari daerah almarhum tentu juga daerahku. Mereka da Zul dan adiknya si Rambo berasal dari Mudik Koto Panjang, bersebelahan kampung dengan almarhum yang tinggal di Kayu Gadang. Kami satu kecamatan, sementara dua orang yang lain Wawan dan kakak sepupunya yang dari Solo, Wati berasal dari Sago, juga mengenal almarhum lewat sms-sms belaka. Intinya tak ada yang mengenal almarhum secara persis. Kecuali Wawan.

Lalu aku mendapat keterangan sedikit mengenai kondisi almarhum: Nama Halvarizal (si Hal), lahir 1982 (26 tahun), Mahasiswa Pendidikan Ulama Tingggi Muhamaddiyah (PUTM) di Jalan Kaliurang. Meninggal sekitar Senin dini hari 21 Juli 2008 di kamarnya dalam asrama kampus. Almarhum sebelumnya tidak menunjukan gejalah apa pun. Sebelum tidur ia sempat berpesan pada kawan satu kamar, minta dibangunkan untuk tahajud. Tetapi ketika dibangunkan almarhum diam dan si teman membiarkan. Sampai waktu subuh datang dan almarhum belum juga bangun maka diketahuilah berita buruk itu. Ia sudah ‘tak ada’. Maut telah menyapanya dengan begitu lembut dan santun. Begitu saja membawanya diam-diam. Tersembunyi dan sepi, kudus dan dan halus.

Pihak Kampus menghubungi keluarga soal berita tersebut sekaligus bertanya apakah almarhum akan dikirim ke Surantih di Sumatera Barat sana atau akan dikuburkan di sini. Jelas keluarga meminta dikubur di kampung. Siapa yang tidak ingin melihat dan melaksanakan prosesi terakhir almarhum. Tetapi begitu pihak kampus menyebut angka 8 juta lebih untuk biaya pengiriman, keluarga merasa tak bsia menyediakan dana sebesar itu. Kesimpulannya, alhamrhum akan dikubur dan diurus pihak asrama. Lalu jenazah dimandikan dan dishalatkan. Lubang kubur pun sudah disiapkan. Tetapi sebuah kontak kemudian terjadi dengan adik almarhum, seorang anggota TNI muda yang baru sekitar satu setengah tahun lalu bertugas di Bandung. Ia akan menjemput almarhum dan seluruh biaya akan ditanggung olehnya.

Untuk menunggu segala sesuatunya, almarhum dibawa ke PKU Muhamaddiyah yang satu yayasan dengan pihak kampus (sampai di sini aku berpikir, apakah mungkin kampus tak memiliki dana sebesar itu dnegan yayasan sebesar ini? ah, sudahlah!). Dan Da Zul, Rambo dan Wati yang kuliah di UNS yang sengaja datang dari Solo belum mendapat kepastian kapan keluarga akan datang. Sementara Wawan melakukan kontak intensif dengan pihak keluarga dan adik almarhum. Tetapi malam itu, katanya tak ada satu keluarga pun yang bisa dihubungi untuk memastikan keadaan tersebut. Kontak terakhir dengan Si Nof, adik almarhum adalah tadi siang ketika dia menyatakan siap menjemput almarhum.

Dalam kondisi semacam inilah saya datang. Kami tak tahu hendak berbuat apa. Sementara kami membiarkan almarhum di rumah sakit dan besok kami sudah kembali sedia di sini menunggu adik almarhum. Demikian perjanjian tersebut. Kami berganti nomor Hp dan sedikit bertukar kabar. Dan saya mengabarkan hal itu pada Uda Raudal. Dia tentu akan melanjutkan berita itu pada Uwan Syamsu.

***

Pagi aku dan Uda Hen, sepupuku berangkat ke rumah sakit. Di sana sudah ada Wawan yang kuliah di Amikom dan Wati sepupunya. Da Zul dan ‘Rambo’ belum datang. Dari Wawan aku mendapat cerita ia belum bisa menghubungi Nof adik almarhum tapi sudah bisa melakukan kontak dengan keluarganya di kampung. Jadi dari info itulah kami bisa menduga-duga bahwa Si Nof masih dalam perjalanan.

Kondisi ini membuat kami cemas juga. Kami tak tahu handak melakukan apa sementara waktu merangkak siang. Kami sedih membayangkan jenazah yang berada di rumah sakit lebih dari 24 jam. Bagaimana jika Si Nof tak jadi datang? Dalam kondisi itulah kemudian Rudi, Da Zul, Uda Raudal dan Uwan Syamsu datang. Juga salah seorang sepupu dari Semarang, Yora yang kuliah di Undip. Lalu beberapa informasi bisa dihimpun, bahwa Nof masih belum mendapat tiket di Jakarta. Musim liburan tak mengenal duka cita untuk selembar tiket.

Beberapa hal dibahas. Bagaimana kalau sekiranya Nof datang baru sore hari. Kemungkinan-kemungkinan lain membuat kami cemas. Jika dari kemarin kami bisa berkumpuls emacam ini tentu pengiriman almarhum bisa disiasati tanpa harus berlarut-larut semacam ini. pihak rumah sakit memastikan siang nanti jenazah akan dibawa ke RS Dr Sardjito jika pihak keluarga belum mengambil. Kami juga membayangkan kondisi almarhum yang jasadnya sudah bermalam itu. kemungkinannya adalah menunggu adik almarhum sampai tenggat waktu tertentu, mengirimkan almarhum dari sini atau akan menguburkan saja di Yogya.

Si Nof berpesan, jika sampai jam tiga dia belum dapat tiket pesawat dari Jakarta ke yogya dia menyerahkan almarhum pada kami yang berada di sini. Sementara untuk mengirimkan jenazah ke kampung kata rumah sakit harus menunggu besok Rabu karena jadwal pemberangkatan sudah tak ada. Sementara jenazah bisa membusuk jika tak dilakukan tindakan lanjut. Kami merasa bersalah atas ini semua. sekiranya informasi ini bisa menyebar dari kemarin, tentu kondisinya jauh berbeda dari sekarang. Tapi tak ada yang bisa kami salahkan lagi.

Menjelang siang satu persatu dari kami mundur. Beberapa orang masih melakukan koordinasi dengan pihak kampus almarhum. Saya ke taman budaya untuk hal-hal yang lain lalu bergeser ke LIP selanjutnya pulang ke kos dan tetap melakukan kontak dengan kawan-kawan di rumah sakit.

***

Saya bangun malam harinya dan mendapat kabar dari Uda Raudal bahwa Si Nof adik almarhum ada di rumah sakit. Dia tadi sore dan menjelang malam ada bersama Si Nof. “Temani dia di sana, kasihan dia sendirian.” Begitu pesan yang saya dapat.

Kesimpulannya alhamrhum belum juga dikubur.

Lalu ada kabar dari Wawan bahwa besok pagi, Rabu almarhum akan berangkat dari rumah sakit jam sembilan pagi. Berangkat dari bandara jam sebelas. Dan dia sendiri juga perlu istirahat sekarang. Saya lalu mengontak Da Hen untuk mengajaknya ke rumah sakit menemani Si Nof dan mengajaknya istirahat di kos dulu.

Di rumah sakit kami tak menemukan siapa-siapa yang layak kami anggap ‘orangnya’. Setiap rambut cepak kami curigai sebagai tentara dan itulah Si Nof adik almarhum. Karena kami tak begitu yakin dengan beberapa orang berambut cepak dan Hen menghubungi da Zul dan Da Raudal. Kata Da Raudal kemungkinannya dia ada di depan kamar jenazah, demikian tadi kondisi ketika dia tinggalkan. Kami melangkah ke dalam,s etelah bersilat lidah dengan para penjaga akhirnya kami di antar ke kamar jenazah, kali kedua saya mendatangi tempat itu setelah tadi siang pertama kalinya. Tak ada siapa-siapa. Bersamaan dengan itu masuk sms dari da Zul yang mengatakan bahwa Si Nof ada di rumahnya sekarang dan sedang istirahat. kami lega dan kembali pulang.

***

Rabu, kami berdua kembali ke rumah sakit. Kami dijemput da Zul dan langsung di bawa ke ruang jenazah. Di sana sudah ada Si Nof dengan celana ‘loreng’ dan muka yang agak pucat—sedih dan lelah tentu saja, latihan satu setangah tahun lalu dan ‘lembaga’ ketentaraan tentu menggemblengnya untuk menjadi tak cengeng. Selain itu juga ada Rambo, Yora dan seseorang yang dianggap mewakili Lina dari Taratak yang tak hadis siang itu. dan ansib kami, aku dan Lina, kawan satu sekolah untuk tak bertemu selama di Yogya. Kemarin sore ketika aku pulang dia datang ke sini. Sejak lulus sekolah kami sudah tidak lagi bertemus ampai kini.e ntah dia masih ingat dengan saya entah tidak. Tetapi saya rasa, melihat kedekatan kami sejak kemarin malam, mustahil kami akan bisa melupakan dalam kondisi seperti ini. kami yang hanya beberapa orang, sudah sepatutnya melakukan kedekatan secara intens agar peristiwa semacam ini tak lagi terjadi.

Beberapa saat kemudian Da Raudal datang dan mengabarkan kalau Pak Syamsu Anwar pensiunan TNI itu sudha menunggu di bandara. Sebentar kemudian Ambulan disiapkan. Jenazah diangkut. Barang-barang milik alhamrum ikut diangkut. Beberapa kardus buku dan pakaian dan peralatan pribadi almarhum tentu saja dan juga telepon genggam. Buku-buku dan pengetahuan, akan lenyap bersamanya. Segalas esuatu yang dia tahu akan ikut ia ke alam sana. Rambo ikut akut ambulan, sementara saya, da Hen, da Raudal dan Da Zul yang sudah gagap berbahasa minang meluncur ke bandara.

Kami sampai ketika semua orang sudah berkumpul. Hanya seginilah kami. Saya, Pak Syamsu, Da Raudal, Da Zul, Rambo dan Da Hen dan tentu Lina dan Rudi yang tak hadir. Barangkali kedekatan ini harus terus kami bangun. Bukan sebentuk sentimen lokalitas, tetapi untuk hal-hal yang tak terduga semacam ini. sebuah kemalangan bisa terjadi kapan saja. Dan peristiwa semacam ini, tiga hari mayat almarhum terkatung-katung tentus ebuah pengalaman buruk yang tak ingin kami ulang.

Dan kami yang sedikit ini—katanya masih ada warga kami yang ada di Yogya dan tidak saya kenal, Cuma karena sesuatu hal tak sempat tahu dan datang atau ada semacam hal lain yang tidak saya pahami. Sebukan atau hal-hal lainnya yang tak boleh kami tafsirkan sembarangan. Tetapi begitulah, pesawat baru berangkat jam 12.25. waktu masih jam sepuluh lebih sedikit. Di Jakarta tentu transit. Pesawat baru berangkat ke Padang jam empat sore. Saya mulai menghitung perjalanan. Setidaknya jam enam sore jenazah baru sampai di Bandara Internasional Minangkabau (BIM) yang jauh tersuruk di Utara Kota. Bukuh waktu setengah jam untuk masuk kota, butuh waktu secepatnya tiga jam untuk sampai di Surantih dan setengah jam pula untuk asuk ke Kayu Gadang. Aku membayangkan jalan yang sempit dan berbukit-bukit, tikungan tajam dan kegelapan jurang. Aih, setidaknya mayat ini baru akan sampai paling cepat jam sepuluh malam nanti di rumahnya. Butuh berapa waktu lagikah ia kembali ke hakikat yang sesungguhnya—kembali kepada tanah? Kembali kepada Allah?

Kami bercakap-cakap singkat tentang almarhum dan Si Nof. Semacam romantisme dan semacamnya. Seperti tadi malam, Rambo adalah kawan Mugil adik da Hen, sekarang pun ternyata Mupil adik da Hen yang lain adalah adik kelas Si Nof di Sekolah menengah Pelayaran di Teluk Bayur. Betapa dunia sempit sebenarnya.

Dan waktu berjalan tanpa peduli akan ada dan tak adanya kita. Segalanya berputar. Dan kesedihan, berlahan bertiup dari kepala kami. Yang bersisa hanya seonggok sesal dan sesal mengapa kami harus berhadapan pada soal-soal pelik macam ini. yang mati akan kembali ke asalnya, yang hidup pun menuju ke sana. Tetapi segala sesuatunya perlu rencana. Dan kami akan memungutnya sebagai sebuah pelajaran berharga. Kematian ini, kehilangan ini, sedikit-banyak telah menyatukan sebagian dari kami yang berpencar.

Sampai Si Nof masuk ke dalam bandara, tenggelam bersama tubuh-tubuh lainnya, menyembunyikan rasa capek dan kesedihannya, kami pun berpisah di simpang jalan. Banyak soal yang membuatku terduga-duga. Bagaimana kalau kabar ini jatuhnya pada kami, bisakah kami sekuat Si Nof yang masih bisa berbagi tawa dan cerita? Saya membayangkan, sebagai seorang tentara yang baru bertugas, dia ingin membaktikan sebuah ketulusan pada keluarga. “Saya akan membawa jenazah ke rumah. Semua biaya akan saya tanggung.” Sebuah tanggung jawab yang akan menjadi miliknya tentu saja. Dan perlu usaha yang keras untuk itu. Aku tak kuat membayangkannya.

Segalanya menjadi mengambang dan serba mungkin bagi saya. Terutama Maut!

Yogyakarta, 23 Juli 2008



Tidak ada komentar: