25 Jun 2008

pura-puranya esai gitu

Pesta Penyair Nusantara 2008, Gema yang tak Bergaung

Mulai Minggu 29 Juni ini sampai Rabu 2 Juli akan diselenggarakan sebuah acara Pesta Penyair Nusantara 2008, Sempena The 2nd Kediri Jatim Internasional Poetry Gathering. Artinya, ini adalah penyelenggraraan kedua, setelah tahun lalu diadakan di Sumatera Utara oleh Laboratorium Sastra Medan pada 25–28 Mei 2007. Acara ini juga rencananya akan diadakan setiap tahun, antara Mei—Agustus di kota tertentu yang diputuskan oleh musyawarah bersama nantinya.
Acara ini diharapkan sebagai bentuk dan upaya kreatif untuk memepertemukan para penyair senusantara, sebagai wadah pembentukan komunitas sastra, untuk mengetahui perkembangan kepenyairan di seluruh nusantara dan (agak membingungkan) sebagai forum tertinggi dalam Musyawarah Penyair Nusantara. Sampai titik ini,kita melihat ada upaya yang luar biasa dari penyelenggara, baik tahun lalu maupun tahun ini untuk menjadi tuan rumah yang memiliki visi luar biasa untuk kesastraan kita saat ini. Untuk kata Nusantara pun tidak hanya berbatas pada Sabang—merauke saja. Peserta acara ini adalah penyair di seluruh kawasan ASEAN: Indonesia, Malaysia, Brunai Darussalam, Singapura, Thailand, Kamboja, dan Laos.
Saya pikir acara semacam ini perlu apresisasi yang lebih. Kita berharap acara-acara semacam ini (penyair se-Indonesia dan se-ASEAN) berkumpul tentu adalah para penyair yang memang mewakili wilayahnya, sebab panitia menempatkan daerah-daerah pada setiap kepesertaannnya. Kita berharap, panitia akan menetapkan sebuah ketentuan khusus untuk penyair yang diundang di setiap wilayah. Dengan harapan jangan sampai acara semacam ini hanya menjadi agenda tahunan yang nanti merasa capek sendiri.
Mengapa gaungnya tak sebesar harapannya? Setidaknya sejak undangan disebarkan sejak maret lalu di sejumlah Milis (mailing list) dan media, tak banyak orang yang membicarakannya. Ini terlihat dari apresiasi di beberapa milis yang saya ikuti. Acara Pesta Penyair nyaris tidak menimbulkan gema yang diapresiasi banyak orang. Di milis, yang saya tahu, di antaranya Apresiasi Sastra, Penyair dan lainnya, memiliki orang-orang yang ‘cerewet’ dan kritis, tetapi untuk acara ini nyaris tanpa respon sama sekali.
Undangan itu dikirim via e-mail ke milis dan e-mail pribadi bertujuan untuk setidaknya tiga hal; satu memberitahukan ke masyarakat pecinta sastra bahwa akan diadakan perhelatan besar pada akhir Juni ini, sekaligus meminta mereka mengirimkan karya untuk diseleksi dan ketiga adalah menyebarkan informasi akan diadakannya lomba baca puisi sejak 26-28 Juni sebagai kegiatan awal dari acara ini.
Dan Yogyakarta, sebagai bagian dari sasaran kepesertaan pun sepertinya nyaris tak pernah membicarakannya. Apakah pada seniman kita disibukkan dengan pesta lain, agenda tahunan kita, Festival Kesenian Yogyakarta (FKY)? Entahlah. Saya tidak tahu apakah FKY memiliki acara kesastraan, kapan dan siapa dan bentuknya seperti apa. Barangkali memang sudah ada informasi seputar ini, tetapi saya yang tidak mengikutinya, atau bisa jadi sama memang kita sedang malas membicarakannya.
Menyoal acara Pesta Penyair yang sedang berlangsung ini, saya memiliki beberapa hal menarik dan menjadi dasar pertanyaan saya sejak tahun lalu, terutama mengenai kepesertaan. Saya berangkat dari acara tahun lalu di Medan. Peserta dari Yogya ada tiga orang, yakni Mahwi Air Tawar, Fahmi Amrulloh dan Krismalyanti. Sampai saat ini tidak ada alasan yang pasti dari panitia tentang masalah kepesertaan ini. Bukankah peserta adalah isu yang sensitif? Calon peserta diminta mengirimkan karya terbarunya plus biodata plus foto untuk diseleksi. Jika demikian, semua orang, siapa saja, dibebaskan untuk ikut acara ini. Tetapi tentu hanya kepada mereka yang mengirimkan karya dan lulus seleksi saja. Jika demikian halnya, tentu ada celah yang perlu kita bahas. Penyair yang sebenarnya layak ikut acara ini tetapi karena tidak tahu infonya, atau malas ikut-ikutan penyeleksian atau memang tidak mengirimkan karya tentu tidak akan bisa ikut dan terdaftar sebagai peserta. Mengapa panitia menggunakan metode semacam ini? Apakah panitia tidak kenal dengan penyair dari Yogya?
Kita punya berderet-deret nama penyair. Bahkan Taman Budaya Yogyakarta, tahun ini rencananya akan menelurkan sebuah Antologi yang memuat karya yang tentu juga data penyair Yogyakarta dari zaman beuluha sampai generasi terkini.
Sampai saat ini saya tidak mendapat kepastian siapa saja penyair dari Yogya yang ikut acara ini. Ada beberapa kawan-kawan penyair yang diundang tahun ini, di antaranya Komang Ira Puspitaningsih, Mutia Sukma, Ridwan Munawwar dan As’adi Muhammad. Mungin masih ada peserta lainnya yang diundang dari Yogya. Setidaknya berangkat dari keempat nama yang saya tahu ini saya jadi bertanya-tanya, apakah acara ini untuk yang muda-muda? Tidak juga. Atau semacam kolaborasi? barangkali. Tetapi yang pasti, peserta adalah—setidaknya dari Yogya—adalah mereka yang mengirimkan karya ke panitia untuk diseleksi. Itu terlihat dari edaran panitia yang dikirim via e-mail.
Siapa pun boleh menjadi peserta asal jelas ketentuannya, saya rasa. Tetapi pemilihan kepesertaan semacam ini tentu menjadi tanda tanya besar bagi kita. Sebab, sekali lagi bicara kepesertaan adalah bicara perihal yang sensitif. Bukankah pada FKY tahun lalu misalnya, di Yogya kita diributkan soal layak tidak layaknya peserta, dari mana dia berasal dan kenapa pilihan jatuh padanya, bukan? Dan untuk acara besar ini, di mana pesertanya –konon—datang dari berbagai negara di ASEAN tentu akan menjadi pertanyaan pula. Apakah memang untuk mereka yang mengirimkan karya saja?
Mungkin tidak juga. Tahun lalu, pada acara di Medan misalnya, dari luar daerah banyak penyair-penyair dilibatkan yang bisa jadi mereka dipilih panitia tidak hanya lewat penyeleksian, tetapi khusus Yogya dan tentu beberapa daerah lain di Indonesia hal itu berlaku. Itu di Medan, sekarang di Kediri. Saya jadi bertanya-tanya, apakah dari sekian banyak orang yang menulis puisi di Yogya tidak ada yang layak menjadi peserta atau memang nama-nama tersebut tidak dikenal sama sekali oleh panitia sehingga perlu penyeleksian semacam ini? waduh!
Untuk menjadi peserta yang ‘asli’ peserta dikenakan biaya administrasi sebesar 150.000 rupiah. Dan sampai saat belum ada peserta dari keempat orang tersebut yang mentransfer uang, sehingga status mereka pun tidak jelas, apakah sebagai peserta atau bukan. Sebab undangan yang dikirim pun hanya via e-mail. Saya tidak tahu apakah peserta lain dari Yogya yang diundang khusus panitia dikenakan tanggungjawab yang sama atau bagaimana.
Jika dirunut masih banyak kebingungan saya seputar ini. Setidaknya untuk acara besar dengan pembicara sekelas Musthofa Bisri, D. Zawawi Imron, Ratna Sarempuat, Oka Rusmini, Abidah el Khalieqy dah konon juga dihadiri Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jerro Wacik serta pembicara dari Malaysia, Brunai dan Singapura. tentu diperlukan tanggung jawab kerja yang besar. Saya yakin, panitia punya hak jawab yang jauh lebih panjang dari ini. saya ingin membuka dialog seputar ini. Semoga ada yang bisa menjawab kebingungan saya. Wasalam.
Yogyakarta, Juni 08

Tidak ada komentar: