2 Jun 2008

Jakarta : gumam di pangkal juni (1)


aih, ternyata aku merasa asing dengan kota ini. seperti ungkapan dalam lelucon kawan-kawan, "Ini Jakarta lo." yup, saya di Jakarta, di Ibukota Negara Republik Indonesia. bayangkan.

tetapi betapa asingnya aku. betapa aku merasa tak mengenal pusat pemerintahan negaraku. tempat yang aneh; bising, dan membuat pusing.

barangkali aku merasa tidak cocok saja dengan ini semua. tetapi begitulah, aku ada di Jakarta dan aku merasa tidak nyaman.

mungkin tempatku sekarang yang ada di nirzona sehingga suasana begitu kaku dan agak lain. aku melihat monas, sesuatu yang sering aku percakapkan dulu-dulu sekali. aku ingat Pamanku, yang dengan truknya telah mengantarkanaku dari Lansano-kampung kelahiranku-ke Jakarta. "Tuh, ada monas. kamu belum pernah lihatkan?"

kami tahu, itu semacam lelucon, bahwa Jakarta selalu mengantarkan kami pada bayangan Monas.

dan sumpah, tiba-tiba aku tak begitu tertarik dan tertantang untuk itu, kecuali beberapa kali saya mengajak kawan-kawan ke sana malam-malam untuk mengintip orang yang lagi mojok.

apakah saya sudah kehilangan rasa nasionalisme?

sebentar, saya barangkali masih mengingat Pancasila yang menjadi kewajiban saya dan akwan-kawan di senin pagi, waktu kanak dulu. tetapi, sudah lama aku tak kanak lagi. dan masihkah aku bisa mengingatnya?

lalu, apakah pancasila, yang kemarin saya lihat sepasukan merah2 berpawai di sekeliling Monas dan menyisakan sampah, adalah semacam simbol belaka? saya rasa sila ke lima sudah agak parah tuh. gak adil bener, yang berpawai menyisakan banyak sampah, sementara tukang bersih-bersih di Monas saya lihat hanya beberapa orang saja.

baru seginikah kesadaran kita dalam menghayati makna pancasila? ah, aku memang parah, tak suka memperingati apa-apa. bahkan ulang tahunku sendiri, bahkan ulang tahun pacarku sendiri. dan saya merasa, saya bukanlah seorang nasionalis apalagi pakai sejati. beginilah saya, yang tak merayakan hari kelahiran pancasila dengan berpawai dan semacam upacara. saya juga tak turun ke jalan seperti pasukan HTI yang membawa anak kecil di pawainya lalu diserang oleh pasukan yangd atang dari arah Timur. dan aku melihatnya datang...

mungkin seperti inilah makna kelahiran sebuah kesaktian dan aji kebangsaan kita. beginilah cara kita merayakan sebuah kebangsaan. sebuah kebangkitan; di mulai dnegan harga yang melambung (yang jika dikait-kaitkan BBM tak terlalu berimbas pada itu semua, sebagaimana ketika gaji PNS naik), aksi dan huru-hara. dengan begitu kita sedang memperlihatkan diri kita pada dunia, "ini, banyak kerja yang belum selesai. aku titipkan negeri ini padamu, sekali berarti sudah itu mati, eh salah, hidup adalah perbuatan maksud saya."

selalu ada yang salah, selalu ada yang mau ditatah. jangan-jangan memang (tiba-tiba saya ingat kartun Krisis Oh Krisis-nya Mice en Benny) negara kita berpondasi lontong sayur sehingga begitu rapuh kalau disentuh.

selalu ada yang ingin ditawarkan, selalu ada yang disengsarakan, selalu ada permainan politik. kesadaran bernasionalis yang absud juga lama-lama.

dan apakah saya terlihat begitu absurd hari ini?

dan sudahkah anda absurd hari ini? ah, saya malu pada pancasila yang melulu hapalan ketimbang perbuatan, setidaknya ala PAN.

yuk, sama-sama ikuti saya. siapa tahu seperti Zikir Nasional, kita perlu berpancasila nasional yang--semoga saja-- bisa menjadi semacam rapalan doa, tetapi bukan mantera

Pancasila
1. ketuhanan yang maha esa
2. kemanusiaan yang adil dan beradab
3. persatuan indonesia
4. kerakyatan yang dipimpin oleh hikma kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
5. keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia.

semoga saya benar menuliskannya. semoga saya tidak ditangkap (nanti salah malah sok2an jadi aktivis). semoga saya memiliki bakat selain mengeluh dan melulu miskin. semoga saya bisa naik haji. semoga bangsa ini tidak absurd lagi. dan saya dibebaskan pula dari itu semua.

amin!

eh, ada yang terlupa: MERDEKA!!

1 komentar:

Anonim mengatakan...

walah walah ... segitunya kot .... eh, blogmu ku-link ya