16 Jun 2008

berita bahagia

Kehilangan yang Manis: Pernikahan Dua Puisi

Kami akan merasa kehilangan setelah ini. hari-hari yang kosong. Sebentar lagi kami akan merindukan suara tawanya yang mungkin akan terasa asing di telinga kami.

Ajaib, cinta merubah cara hidup seseorang.

Begitulah, kami menemukannya dalam keadaan semacam itu; jadi perempuan yang manis, lebih banyak tersenyum dan mengulum tawa dari pada ngakak, duduk dan gaya bicaranya menjadi anggun, matanya berbinar dan penampilannya menjadi sangat rapi dan santun. Ia terlihat sangat perempuan. Saya berani menyimpulkan seseautu sedang terjadi pada hatinya. Sialan, seseorang telah merubah penampilan manusia ini. bisa dipastikan; dia sedang jatuh cinta.

Apakah kami akan bersedih setelah kehilangan ini? jawabnya ya. Selama ini kami merasa dia milik kami, sahabat yang kami cintai dan harus kami jaga. Kami tak ingin laki-laki datang hanya untuk merusak pikirannya. Kalau dia sakit hati, stress, tubuhnya akan semakin penuh dan kami capek ditraktir terus. Kami akan sangat kehilangan. Selanjutnya kami juga akan berbahagia, karena kawan kami yang tercinta ini tidak benar-benar pergi dari kami. Dia hanya sedang meniada dengan seseorang yang kami kenal pula, hingga yang tersisa hanyalah pusi. Bukankah begitu hakikatnya, Romi Zarman? Tidak ada penyair, yang ada hanyalah pertemuan puisi. Dan kawan kami, seorang saudari yang sangat kami cintai sedang ‘memuisi’. Dan aku merasa begitu aneh dan selanjutnya bahagia, seseorang yang mendapatkannya adalah juga seorang kawan, juga saudara yang menjamu dan merawat kami setiap kami berkunjung. Tak ada jarak, yang ada hanya puisi.

Apakah kau mengerti apa yang sedang kubicarakan sekarang ini?

Dia bukan anakmu, begitulah kami menyadarkan diri, bahwa kawan kami ini pun mesti bahagia. Kami tahu, kami amat mencintainya. Menyayanginya adalah membiarkan dia menikmati kebahagiaan dengan penuh. Dan dia sedang bahagia. Dan kupikir ia mulai rajin menulis puisi. Kami mesti mensyukurinya.

Aduh, bagaimana aku hendak menuliskannya?

Begini saja. Bahwa kawan kami ini sedang jatuh cinta. Tidak jatuh cinta. Tetapi benar-benar sedang mencintai dan dicintai. Ia lebur kini. Tak ada Ira, misalnya, yang ada hanya cinta. Bukankah begitu hakekat kasih-sayang, Romi Zarman? Tak ada siapa dan siapa, yang ada hanya cinta.

Siapakah lelaki yang bisa menaklukan hati perempuan yang keras ini? perempuan, temanku, yang kami sepanjang pertemuan akan selalu bertengkar dan saling mengejek, marahan tapi tak sampai dendam. Karena kami, saling menyayangi. Mungkin aku kawan yang jahat padanya. Nyaris empat tahun persahabatan kami, sejak kami sama-sama sampai di Yogya, konon aku tak pernah mentraktirnya apa pun. Jahat sekali bukan?

Dengarlah bisiknya pada (barangkali) pangeran itu:
Za, gerimis Juni datang tiba-tiba serupa bayangmu yang murung. Seperti dongeng para putri raja yang menunggu pinangan, sedangkan musim tak pernah berbincang tentang keinginannya. Pangeran mana yang pasti akan datang? Pangeran mana yang akan pergi dan tumbang?

Apakah kau masih belum paham apa yang ingin kutulis?

Laki-laki itu temanku. Dua kali kepulanganku ke Padang (ah, aku tak pernah merasa pulang, barangkali hanya sekedar singgah) dia yang mengantar dan menjemputku ke mana dan di mana pun. Seorang kawan yang setia. Dia selalu menyediakan waktunya untukku dan kawan-kawan yang datang ke Padang. Dia begitu menjaga kami. Kepulanganku yang pertama, terasa begitu manis setelah bertemu dengannya. Kami berkeliling ke banyak tempat, dari Padang, dalam hujan lebat di sebuah petang, kami meluncur ke Batusangkar, ke rumah chotik. Dari sana kami meluncur ke Payakumbuh, dia mengenal banyak tempat dan banyak orang, sebelum kemudian singgah di Solok. Dia mengajakku ke Pasar Solok, membawaku ke tempat dia KKN dan menceritakan sebuah rahasia tentang lobang paku padaku. Sebuah rahasia lucu dan saru, sebuah kenangan yang tak akan bisa diulang setiap orang. Tak semua orang mau berbagi rahasia bukan? Dan dia melakukannya. Betapa baiknya. Aku juga menginap di rumahnya, ia mengenalkanku pada keluarganya yang ramah. Mengajakku makan dan tidur di sana. Paginya ia mengajakku membeli koran, mengenalkan aroma Padang yang berbau getah. Dengan itu semua aku teringat peristiwa manisku di kota ini ketika aku tinggal di sana setahun saja, STM tapi tinggal kelas dan harus pulang kampung.

Tak sampai di sana, dia mengajakku berkeliling, menawarkan beberapa rencana dan tawaran-tawaran logis untuk menghabiskan waktuku. Dia rajin berkabar sampai kami datang lagi ke sana, satu rombongan manusia liar. Dan dia yang menjaga kami dari awal selain U’um yang sekaranmg tak lagi berkabar. Apakah kami perlu bertanya pada Pak Yoso yang Dwi Raharyoso itu?

Dari Payakumbuh dia mengajak kami ke Bukit Tinggi. Dia menemani kami dnegan tanggung jawab yang luar biasa. Di setiap tempat, di setiap simpang, dia akan bercerita laiknya seorang pemandu wisata. Dia betul-betul menjaga kami dari niat jahat para preman wisata, menuntun kami di lubang jepang, ia lebih lincah dari Kotic atau Azan apalagi Tendra. Ia mencari lokasi yang bagus untuk berfoto, mencarikan angkutan dan menawar nasi kapau. Pada seorang kawan kukatakan, kalaulah dia ini rajin sholat, niscaya cahaya surga akan terpancar dari mukanya. Dia terlalu baik. Kupikir sangat baik dan melindungi.

Pada dialah, kawan kami ini memilih tautan hati. Kupikir bak jangguik pulang ka daguak, sepasang anak daro dan marapulai dalam ingatan. Di bulan Juni ini mereka mempersatukan puisi, mempersatukan hati. Aih, jarak, aih, Padang-Jogja, bagaimanakah mereka berakrab dengan jarak? Mungkin Romi Zarman benar dalam hal ini, segala sesuatu telah meniada, jadi tak ada jarak, tak ada rindu, yang ada hanya cinta. Puisi telah meminang dua manusia baik dan kusayangi dan kukenal ini.

Apalagi? Tentu harapan besarku adalah agar puisi ini tak bisa selesai. Perkawinan puisi, percintan dua penyair dasyat, penyair perfek, penyair monumental, baru saja bermula di bulan Sapardi ini.


Aih, aih, kami tak sungguh-sungguh kehilangan kawan kami yang cantik dan baik hati. Kawan yang baru kini kusadari, selama nyaris empat tahun tak pernah kutraktir apa pun. Aku sedih, ingin menangis saja rasanya. Ternyata kalau pun aku tak pernah mentraktirnya apa pun, selalu bertengkar dan marah-marah padanya, ternyata aku juga menyayanginya. Buktinya, aku merasa bahagia sekali. rasanya aku juga sedang jatuh cinta.

Penutup, aku ingin menambahkan bait terakhir puisi Gerimis Juni yang Lalu, yang (barangkali) sedang meramal nasib mereka:

Za, aku tak memerlukan satu pun penjelasan atas jawabanmu. Karena gerimis Juni berlalu dengan kenangan pertemuan yang memilukan. Gerimis Juni berlalu dan selalu menjelma airmata. Sepertiku yang selalu nyeri bersama tumpukan kertas penuh coretan. Sepertimu yang selalu perih memeram kisah sepanjang jalan.

Aku tak akan mengatakan siapa kedua orang ini. saya juga tidak meminta anda untuk menebaknya.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Tp secara tak sengaja, saya telah mnebaknya
he....