30 Jan 2008

Obituari



Obituari Mamanda Markis; Ia Pulang Juga Siang Itu

28 Januari 2008, sehari setelah kematian Jendral bintang lima Soeharto, aku bersiap-siap hendak menjilid Ruang Baca Koran Tempo ketika dering telpon berbunyi. Aku matikan motor, di kamar, dari radioku masih terdengar celoteh reporter yang menyiarkan siaran langsung upacara penguburan mantan presiden kedua itu. kuangkat Hp, ada suara ibuku.

“In, uwan meninggal barusan ini.” Selebihnya aku tak sempat mend
engar apa pun. Aku terkejut dan masih tak percaya. Kulirik jam, 14.05. betapa cepat kabar itu. tetapi, seketika aku merasa sangat jauh.
***
Dia Mamakku, kakak kandung dari ibuku. Dia tiga orang bersaudara, persis sepertiku. Yang tua, beliau, Markis, lalu ibuku, kemudian adik lelakinya Inal yang merantau sejak berusia 17 tahun sampai hari ini, 30 tahun lebih tak pernah pulang. Tak pernah ada kabar. Tak tahu pula di mana dia sekarang.

Jadilah ibuku dua bersaudara, lelaki dan perempuan.


Mamakku lelaki luar biasa yang aku kenal. Orang yang paling aku takuti di masa kanak dan remaja sekaligus selalu kukagumi. Aku takut jika dia tahu aku bolos sekolah. Dan akus enang setiap kali menungguinya pulang kerja. Dia tukang bangunan, lebih sering menajdi mandor. Aku, di hari-hari libu sering diajak bekeja bersamanya, membantu m
enaduk semen, mengangkat bata, mengangkut air dan adukan pasir atau membikin pondasi tiang. Aku tahu belaka, ia mengajakku tak lebih dari sekdar mengajariku beberapa hal. Satu, ia seolah berkata, begini loh, kalau kau tak sekolah. Kerjamu berat. Berkawan panas. Kedua, cara dia mendidikku untuk tidak selalu malas-malasan. Ketiga tentu menurunkan bakatnya kepadaku dan terakhir, dan aku pasti, bentuk lain dari cara dia memberiku uang. Karena ada dua alasan utama; satu, biar saudara-saudaraku yang lain tak iri dan cemburu jika aku dikasih uang lebih; kedua, seolah-olah aku bekerja padahal sebenarnya tak banyak yang isa aku lakukan. Dan tentu aku merasa senang menerima hasil jerih payahku.

Dia orang baik dan terlalu baik sekali keberangkatannya.


Dia yang dengan semangat menyuruhku berangkat ke Yogya dan dia pula yang dengan antusias menyambut kepulanganku. Lalu menyuruh ibuku ikut bersamaku, menghindari masalah keluarga yangs edang dialami keluargaku. “Sekedar ganti suasana, menenang-nenangkan pikiran,” kata beliau. Aku tak bisa lupakan itu. Ak
u kadang merasa dia seperti orang tuaku. Apalagi bapak-ibuku lebih banyak menghabiskan waktu di tanah seberang. Jarang sekali kami bertemu. Dan uwanlah yang lebih banyak memarahiku ketika aku makin malas sekolah.

Sore itu dia membanting kursi ke dinding papan rumahku. Dia memaksaku bersiap-siap. Aku disuruh ke Ujung Batu, Taluk, tempat tinggalnya. “Di sana kau tidak akan malas-malasan lagi. Kawan-kawanmu banyak. Di sini, kalau tidak ada yangt memperhatikanmu, bisa-bisa jadi gelndangan kau nanti.” Begitu katanya.


Waktu itu aku kelas tiga SMP. Jarak sekolahku jauh sekali. A
ku berada di kecamatan Sutera sementara sekolahku berada di kecamatan Batang Kapas. Jarak tempuh sekitar 15an kilo. Dan aku satu-satunya dari kampungku yang sekolah di sana. Pernah, kami – aku dan uwan – mengurus surat pindah, agar aku sekolah saja di kecamatanku, tapi kepala sekolah tak mau memberi izin. “Anak ini sudah kelas tiga,” katanya. “Jadi harus banyak belajar. Kalau masih mengurus pindah tentu dia akan kesulitan membagi waktu.”

Dan hari itu aku dengan berlinang air mata ikut uwan ke rumahnya, membawa beberapa potong pakaianku. “Seminggu sekali kau pulang, ini untukmu juga.” Begitu katanya dnegan nada melemah. Kasihan kepadaku. Uwan tahu betul, waktu itu aku tinggal dengan etek. Dia sebenarnya etek (bibi)nya amak dan uwan, tetapi kami, anak-anak, satu keluarga besar ini, meniru dengan memanggil beliau etek juga.


Di rumah etek aku tinggal, dan dibiarkan melakukan ap
a saja. Mau sekolah, mau makan, mau tidur di luar, kmau madi atau apa pun, terserah. Yang jelas ibuku harus membayar dia sekitar 15000 sebulan untuk seluruh biayaku. Dan aku bertahan di rumah, karena aku merasakan kehadiran ibu di sini. Inilah masa-masa aku ditinggal sendirian. Aku tak pernah sebelumnya berpisah lama dengan ibuku. Tetapi sekaranga ku harus belajar membiasakan itu dalam usia 13 tahun.

Kakak perempuankus ekolah di kabupaten. Otomatis aku sendi
rian di rumah. karenanya, ibuku menitipkanku di rumah etek. Tetapi aku selalu tidur di rumah, mencium bau ibu di setiap sudut ruang. Lalu kawan-kawan seusia menyusul, ikut menginap di rumahjku yang kecil. Sepanjang malam, kami berceloteh macam-macam sehingga membuat kami lebih sering terlambat bangun.
“Mau jadi apa kamu nanti…” kata uwan malam itu. sejak sore itu, nyaris setahun aku tinggal bersama beliau. Sekamar dnegan Nedi anaknya yangs ekarang sudah jadi tentara dan tugas di Batam. Dua orang anak tirinya sudah lebih dulu berseragam, satu Eka tugas di Jakarta satu lagi Izen di kota Solok. Beliaulah yang berusaha untuk itu semua. Ia tak hanya mengatakan itu padaku tapi juga membuktikand alam keluarganya.

Kepada kami, para ponakannya setiap liburan adalah ma
sa-masa yang emnarik. Aku paling senang. Sementara kakakku dan sepupuku seangkatan, Mugil namanya, sering menangis. Sebabnya, Uwan selalu membeli angka delapan dan sembilan di rapor kami. Sementara Mugil dan kakakku lebih bnayak mengantongi angka merah. Dan akus elalu mendapat jatah besar setiap catur wulan.

Tetapi aku makin besar jua. Selepas SMP aku pindah ke Pada
ng. Menghiondari kampungdan s egala perihal yang membuatku perih. Aku ingin merdeka. Tekadku. Aku tak mau diatur. Setahun cukup untuk melepaskan kekeraskepalaanku. Aku tinggal kelas. Kembali pulang dnegan rasa malu. Dua tahun kemudian aku kembali mencoba masuk SMA. Tentu di kecamatan jauh itu, sebab disitulah rayonku. Setahun di sana aku pindah ke kecamatan dan barulah uwan tak amat menakutkan buatku.

Dia orang baik. Bagi kami di kampung, sebagais eorang mamak dia mewakili dan menjadi contoh orangs ekampung. Keluarga ibuku tinggal di tanah warisan. Sebagai mamak, uwanlah yang paling berkuasa atas itu semua. Tetapi tidak, beliau tak pernah mengambil apa pun dari kampungnya untuk dibawa ke rumah istrinya. Beliau tak per
nah mau membawa sebiji buah pun yang tumbuh di tanah pusaka itu. dia bukan mamak sembarang mamak.
Sepekan sekali, setidaknya beliau pulang ke kampung, sekedar mencari tahu kabar apa yang ada dalam keluarga besar kami. Jika tak hari jumat, tentu di hari minggu. Saat-saat itu aku sering lewat di belakang beliau, berharap akan dipanggil dan akan mendapat jatah uang saku. Dan tentu tak meleset. Selalu ada ‘jatah’ yang mengalir. Dan beliau orabg yang bijak, ketika dompet terbuka, tak satu pun ponakannya yang terlepas dari ‘jatah’ uang saku. Baik ponakan jauh, mau pun ponakan dekat. Lebaran, adalah masa-masa panen kami para ponakannya dan mengunjungi uwan untuk pertama kalinya untuk berebut uang jatah.

Dan aku sering menunggu beliau sore hari, dibatas kampung. Dnegan wajah memelas aku duduk di pinggir jembatan kecil. Beliau akan berhenti dan mengeluarkan uang daris aku. “Waang (kamu) kenapa? Sakitkah?” aku menggeeng dan mengantongi uang beliau. “Minlah ke Taluk.”

Katanya. Dan sedikit basa-basi aku pergi.


Pendek kata, akulah ponakan yang disayangi, ponakan yang diharapkan. Aku. Bayangkan, seorang yang tak berkehendak jadi apa pun. Duhai…

***
“Pergilah dari pada di kampung memadat aspal.” Begitu kata beliau ketika aku hendak berangkat ke Yogya.

Malam itu aku diantar dan ditunggui sampai truk Uwan Kodis –adik tiri uwan- datang. Aku dikasih uang ratusan ribu, uang paling banyak yang kumiliki dari kecil. Ia menungguiku sampai malam. Dan kami menyuruh belua pulang dulu, sebab besok harus bekerja.

Saat itu, beliaulah orang tuaku.

Paginya beliu menungguiku. “Nanti kalau jadi berangkat, singgah di rumah. uwan bekerja di rumah mak gaek, biar uwan bisa melihat keberangkatanmu.”

Dan kami melaju ke selatan. Uwan melompat dan melempar semua perkakasnya, berhamuran menuju truk dan memelukku. “Rajin-rajin jadi orang. Bla..bla.. jangan lupa sholat. Sampai dis ana segera berkabar.. bla.. bla.. “ dan astaga, uwan menangis.

Aku tak bisa menuliskan ini dengan dramatis. Tiba-tiba malam ini, aku ingin menangis, betapa aku tak bisa mencintai beliau sebagaimana beliau mencintaiku. Bahkan, di hari kematian beliau di usia 55 ini. beliau adalah karya besar. Karya besar dalam keluarga kami.
***
Pertemuanku yang terakhir adalah ketika aku pulang lebaran 2007 ini. tahun lalu uwan dikabarkans akit, tapaindo (strok).

“Masih beruntung uwan hidup,” Beliauberkata. “Tak ada yang menyangka bisa selamat. Semua sudah pasrah. Tapi alhamdulillah, tolong Allah, uwan sembuh.”

Dan nyaris sepanjang hari beliau berkunjung ke kampung. Padahal ia masih belum boleh membawa motor, ia baru bisa berjalan beberapa waktu belakangan. Kakinya mengecil dan tubuhnya sangat lemah. “Dan yang paling berat, asma..” katanya.

Dan aku berjanji, nanti akan membelikan obat sesak nafas. Aku pernah melihat alat itu, punyas eorang kawan. Bola asma menyerang tinggal dihirup alat itu. dan sampai kini, sampai beliau berada dalam tanah, aku tak sempat membelikan itu untuk beliau. Padahal berapalah harganya. Janji sekecil ini pun tak sanggup aku lakukan utuk uwan yang berjasa besar kepada keluarga besar kami.

Aku tak bisa menuliskan apa-apa lagi. Aku pedih. Kau dengarlah cerita yang sedikit ini. suatu sore, beliau hendak mengajakku berbuka di rumahnya. Beliau menjemputku. Aku masihs empat menyturuh uwan pulang duluan dan nanti akan menyusul. Sepulangnya beliau hujan deras turun, aku mengunjungi beliau lima hari setelahnya.

“Uwan jatuh di Bukit teratak.” Ceritanya. Ketika beliau pulang, begitu ceritanya, di jalan ada razia. Karena kaget, beliau langsung memutar motor. Jalanan menurun, beliau asih lemah untuk melewati jalan kecil menuju pantai. Dan terperosoklah uwan ke dalam jurang. “Tak apa, tak dalam. Dan uwan diantar anak-anak di sana.”

Sumpah, aku merasa berdosa sampai hari ini.

Aku selalu ingat kata-kata bangganya. “Jarang-jarang bisa sepertimu. Lihatlah si anu, tanahnya habis terjual untuk kuliah. Dan dia tak jadi apa-apa. Dan kamu, tak sedikit pun menguras kantong orang tua, tapi masih bisa juga kuliah. Ah, semoga jadilah, jadilah. Untuk dirimu saja setidaknya. Dan kau tahu, kami amat bangga, tidak hanya keluarga kita, tapi seluruh keluarga besar kita, juga kampung ini.” kata-kata ini membuatku selalu perih. Ah, uwan, seandainya keinginanmu itu bisa kuwujudkan, kataku selalu.

“Waang tambah gagah, sudah agak putih,” Kalimat ini membuatku sering tertawa. “Bersih sekarang, badannya pun berisi. Kau lihatlah anakmu ini, “Sesekali beliau berkata begitu di depan ibu. “Cuma sayang, gigimu saja yang kena.” Dan aku terpingkal mendengarnya. Tapi malam ini, biar kukenang lagi itu semua.
***
Sudahlah, biarlah ingatan milik kami saja. Tak cukup di sini aku menceritakan banyak perihal tentang lelaki gagah itu. ia dikuburkan di belakang rumahku, di tanah kampung. Tempat beliau akan selalu mengawasi ponakan-ponakan dan cucu-cucunya yang berhamburan.

Tetapi yang pedih, yang paling pedih, aku dan ibu tak bisa pulang. Ibuku di sini bersamaku. Ia tak bisa melepas kakak satu-satunya itu ke liang lahat. Memberi penghormatan terakhir kali. Padahal, jumat lalu, tiga hari sebelum kematian uwan, ia masih bertanya pada kakakku di kampung.

“Eng, amakmu tak pulang?”

Bertandakah? Rindukah uwan? Lalu, cukupkah dengan sekedar membiayai seluruh pengeluaran yang dibutuhkan menjelang beliau dikuburkan itu sekedar balas budi kami? Rasanya tidak, untuk sekedar biaya itu, keluarga yang lain mampu mengeluarkan lebih dari itu.

Tapi sementara hanya itu yang bisa kami berikan.

Selebihnya, izinkanlah aku mengenang. Dan mengirim doa. Meski tidak saleh, tetapi aku anaknya.

Dan kabar-kabar yang kudapat lewat potongan cerita, telepon dan sms membuatku semakin jauh dari kampung. Ya, kabar bisa kuramal, tapi betapa jauh untuk kurangkul.
***
“Mengapa orang baik, selalu pergi buru-buru?”

27 Januari 2008



Tidak ada komentar: