1 Nov 2007

Kampung; Puisi Yang Tak Tertulis

Kau tahu apa yang aku rasakan begitu menginjak tanah kelahiran? Aku butuh beberapa hari untuk meyakinkan diriku bahwa tidak ada apa-apa yang perlu aku takutkan –dan memang tak ada yang perlu aku takutkan. Kampung halaman, tanah kelahiran di mana riwayat dan seluruh masa lalu tumbuh dan bercabang di sana, menjadi buah yang dinikmati banyak orang.

Dan riwayatku telah lama tumbuh dan bercabang di dada setiap orang. Berputik dan beruah pula di sana dengan rasa yang berbeda pula. Rasa, aha, kadang ia manis dan menyegarkan, kadang ia pahit lagi kelat. Dan aku, juga seluruh orang yang mereka kenal telah tumbuh pada setiap orang dengan riwayat sendiri sendiri.


Satu hal yang aku takutkan untuk kepulangan ini. Harus kuakui, ada getar dan gemetar untuk seluruh keberangkatanku yang singkat ini. Yang paling aku takutkan adalah, bagaimana jika nanti kerinduanku pecah, begitu menginjak halaman rumah, sementara orang tak pernah merasa aku benarbenar pergi. Merasa aku tak sedang ke mana-mana. Aduh, si Malin yang pergi dan pulang dengan gemetar hati tak tak dianggap orang sebagai keberangkatan, duhai betapa malang.

Alhamdulillah. Segalanya berjalan dnegan semestinya. Semua berjalan dengan wajar. Tak satu pun yang kutakutkan benar-benar terwujud (kamu tahu, aku selalu berpikir hal-hal buruk untuk peristiowa apa pun karena dua alasan; satu, jika hal buruk itu benar-benar terjadi, aku sudah punya bayangan antisipasi. Dua, setiap kali aku membayangkan sesuatu, baik dan buruk, aku akan mengalami peristiwa yang selalu berlainan. Maka, unuk sebuah keinginan dan harapan serta bayangan pada suatu hal aku punya dua pilihan; satu, membayangkan perihal paling buruk dan kedua tidak membayangkanya sama sekali). Tak semua ketakutanku benar-benar nyata. Semua berjalan sebagaimana biasa. Semua orang yang bertemu denganku menggumamkn kerinduahn yang sama pula. Setidaknya, ada yang sempat kehilangan. Dan kau tahu bagaimana rasanya? Sepertyi mati yang ditangisi.

Sapaan mengalir, semua orang menyalamiku dan bertanya sewajarnya. Tak ada pertanyaan pertama, “Berapa no. Hpmu?” pertanyaan yang paling aku takutkan. Kalau pun ada, mereka sekedar menimang Hp tuaku dan bertanya, “Bisa mutar lagu ya?” atau, “Ada kameranya?” atau lagi, “Bisa mutar film juga?” pertanyaan-pertanyaan wajar –campuran antara modrenisasi yang bersipusu dan keluguan masyarakatku – yang cukup kujawab dengan senyum, sekedar pamer ada yang salah lagi pada barisan gigiku yang tak rapi. “Barisan yang serupa tentara, dan ada yang gugur pula.” Kata pacarku, dan dilanjutkan, “sementara aku harus dengan sabar menjadi perempuan palang merah untukmu.”

Dan kepulanganku yang terlambat dari waktu yang sesungguhnya itu berakhir dengan rasa yangs edikit melegahkan. Teman-teman sudah pada berkunjung, keluarga semua sudah kulihat lengkap-sempurna. Ada kabar baik, tentang kawan yang sudah melahirkan, si anu sudah bekerja di sana, si ini sudah ada pula di situ. Tentang si anu yang semakin kasihan, si nunu yang gagal jadi tentara, dan sebagainya. Ada kabar dengan berbagai rasa. Dan setiap orang, menceritakan setia orang dengan versi yang beragam pula. Sebuah tradisi yang harus kusikapi dnegan hati-hati. Maksudku, sebuah versi cerita misalnya, si Iber menikah, ketika diceritakan oleh sepuluh orang, akan ada sepuluh cerita berbeda yang harus kudengar. Atau misalnya Mamakku, Dodi “Panser” yang meninggal, ada sekian puluh versi tentang kematiannya. Kematian dengan inti: karena minuman keras. Dan malam ini aku ingin istirahat sebentar dulu. Banyak yang ingin aku lihat besok.

Lalu hujar turun. Dan aku merasa aku tidak sedang di YOGYA saat itu, tetapi di PADANG dengan kisah dan peristiwa yang lain pula. Hujan dan panas.

Tidak ada komentar: