27 Nov 2007

Igauan Tentang Diri

Igauan Tentang Diri

akhirnya, aku mahir menggambar hujan menirukan langkah-langkah pulang menulis reklame-reklame sunyi dan menempelnya di bebatang pohon sepanjang jalan
(di halte malam jatuh, Zen Hae)

Mungkin beginilah hidupku nanti; Pada sebuah waktu yang panjang, yang tak aku duga saat tepatnya, aku hanyalah sendirian tanpa kawan. Pada suatu pagi, ketika seseorang membangunkanku, ia mendapatiku sudah tak ada. Kepergian yang betul-betul sendiri, di sebuah tempat yang asing. Orang-orang nyaris tak mengenal diriku. Mati dengan sendiri, tanpa ada yang menyaksikan. Aku tak ingin mereka yang hidup melihatku begitu cengeng berhadapan dengan maut.

Dan kemudian dengan prosesi sederhana aku dimakamkan. Beberapa kerabat dan kenalan mengenangku sekadarnya. Dalam beberapa saat ke depan, mereka mengingatku karena rasa capek yang dihasilkan pengajian kecil, tahlil dan semacamnya. Lalu aku menguap serupa embun. Tak tercatat dalam buku apa pun, tak bersisa di hati siapa pun.


Semua sederhana dan apa adanya.


Lalu puisi? Ah, aku tak percaya ia akan hidup, sebagaimana banyak orang menyangsikanku. Kelak, ia mungkin berkubur bersamaku, tenggelam sebelum sempat dibaca orang. Atau justru ia akan mati lebih dulu, jauh mendahului aku. Kupikir semua orang menjadi penyair bagi dirinya sendiri. Dan aku, mulai menghibur diri, segala yang tertulis, semacam obat penghibur diri.


Aku sering membayangkan aku hidup dengan cara yang sederhana. Aku tak mau kaya dan tak sedikit pun menginginkannya. Aku tak ingin bekerja dengan jadwal-jadwal yang tetap. Aku hanya membayangkan, setiap kali bangun, di kantongku masih ada receh untuk sekedar berdamai dengan perut yang lapar, juga siangnya, lalu malamnya.


Mengembara dari satu kota ke kota lain, tidakkah kau ingin? Melewati hamparan rel ketika senja rebah dengan ransel di bahu. Sepertinya hidupmu berjalan dengan damai, melewati satu tempat ke tempat lain, bertemu dan berselisih dengan orang-orang yang tak ku kenal dan tak mengenalku – dan kurasa itu tak terlalu perlu.


Aha, sebuah kota dengan sebaris peristiwa. Satu kota untuk sebiji kenangan. Lalu kota lainnya, lalu yang lain lagi, lagi dan lagi. Aku punya kamar nyaris di tiap tempat. Tempat aku singgah, sebagai pengalana yang kalah. Aih, aih, bukankah hanya pengembara cengeng saja yang memerlukan kamar dan peta pulang/ Kurasa, aku mungkin termasuk di dalamnya, tapi di lain waktu aku juga bisa lebih kejam dalam soal meninggalkan dan melupakan. Aku tak akan mengganggu kenalan – jika itu ada – di sebuah tempat tertentu, mengirimkan pesan singkat padanya, mungkin, atau mengetuk pintunya malam-malam. Aih, aku tak perlu dijemput, aku tak akan mengganggu, biarlah aku meraba sesuatu yang tak kukenali itu. Sebagai seorang pemalu dan sulit beradaptasi dengan suasana, tempat dan orang baru, kukira semua hal jadi menantang.


Tentu mendebarkan, melewati jalan-jalan asing, seberdebar aku mendatangi keramaian di alun-alun kota, tentu aku dengan gugup akan menawar semacam cindera mata untuk kusimpan di ranselku, atau mungkin kutaruh di kamar kontrakanku, atau mungkin akan kukirim pada seeorang di tempat jauh, seseorang yang dengan berdebar selalu kuharap dia mengenang satu dua kisah tentang aku – tentu yang baik-baik saja. Seseorang yang sesekali merindukanku, seseorang yang merasa menyesal telah membiarkan aku pergi darinya malam-malam, seseorang yang pernah membiarkan aku menangis di hadapannya, seseorang yang merasa pernah melukaiku, seseorang yang mungkin pernah kukhianati, seseorang yang mungkin merasa aku begitu licik, seseorang yang mengenal diriku ala kadarnya, seseorang yang berharap aku menghubunginya, seseorang yang sekali-sekali berharap aku pulang, seseorang yang membenciku dengan seluruh usianya, seseorang yang mendendam sekaligus merinduiku, seseorang yang kukenal tapi tak lagi mengenalku, seseorang yang selalu berpura-pura santun di depanku, seseorang yang menunggu kabar burukku, seseorang yang pernah merasa kuperlakukan dengan buruk, seseorang…


Mungkin aku tak akan membeli apa-apa dan tak akan mengirimkan apa pun pada siapa pun. Aku tersesat di kota baru. Lalu, di sebuah bangku aku terduduk lelah, mencari botol minum yang selalu tersimpan di ranselku, menghitung usia, mencatat peristiwa dan merawat luka dan kesedihan. Malam ini, mungkin aku akan mencari tempat baru di sini sekedar merebahkan tubuh yang lelah dan berdebu. Tetapi bisa saja aku akan naik kereta, bis atau apa saja untuk lekas-lekas pergi dari kota ini. Tergantung seberapa banyak tempat itu memberiku peristiwa dan meninggalkan seberapa luka.


Atau mungkin aku memang akan menghubungi satu dua kenalan di kota itu, mengabarinya bahwa aku terdampar di kotanya. Semacam igauan dari jauh. Dan dia yang barangkali sibuk akan berujar, “sabar bung. Lagi di mana? Nanti saya jemput saja, ya?” dan rasana saya tak punya keinginan membalas kabarnya saat itu. Mungkin malam nanti setelah kereta menggunggungku jauh, atau dua hari lagi setelah kumasuki tanah dan tempat baru. Dengan gaya sok pintar tentu aku akan berujar, “sori tak sempat berkabar. Aku sudah berada di kota anu, di tempatmu aku hanya bersauh.”


Tentu, aku seringkali diuntit rasa sunyi dan sendiri. Tak apa. Aku akan merawatnya sebagaimana aku memperlakukan bayang tubuhku. Sebagai sesuatu yang ada dan tak mesti kupedulikan betul. Dan kami nyaman, dengan itu aku juga merasa punya kawan, bukan?
Pada saat nanti mungkin kesendirianlah kawan yang paling setia. Dan aku hanya ingin orang-orang mengenalku dengan sewajarnya. Seseorang merasa mulai kehilangan, mempercakapkanku dalam bentuk sederhana di celah-celah obrolan tanggung, sambil memandang hujan di sebuah kafe, mungkin. Atau seseorang menyebut namaku ketika suatu kali melewati sebuah tempat yang pernah kami kunjung, bagiku tak jadi soal. Sebab, aku pun selalu akan menziarahi setiap tempat yang aku dan mereka pernah ada. Dan kesedihan, biarlah menyertaiku selamanya. Tapi aku meragukan ini, saat di mana seseorang mempercakapkan hal-hal manis yang sempat kupunya, mempercakapkan hal-hal sederhana yang mereka dapatkan dariku, memperbincangkan kelucuan-kelucuan dan kekonyolanku yang tertangkap oleh mereka, atau semacam geraman-geraman sinis dan penuh kebencian. Tentu dengan sekadarnya, saat mereka kehilangan cerita, saat kehabisan selera untuk makan, aau sekelompok orang yang sedang mencari celah meledek orang-orang yang mereka kenal, soal ketololoan, kebodohan, kedunguan, kelicikan atau kekejaman seseorang, mungkin aku akan terselip juga di antara kenalanku. Tapi, bisa saja tidak.


Sampai seseorang mengetuk pintuku pagi itu, mendapati sukmaku sudah tak ada. Dan berucap dengan polos, “kasian anak muda ini, ia mati dalam kesendirian dan kesakitan.”


Dan matari bersinar seperti biasanya, mungkin agak lebih terik, pasar-pasar tetap buka, anak-anak sekolah berebut jajan, dan orang-orang yang pernah kukenal dan mengenalku beberapa detik – mungkin lama setelah aku tak ada – berucap ringan, “kasihan juga dia…” “orang yang malang!”, “tak disangka, ya?” “Koto? Masya Allah…!!” Atau ucapan-ucapan sederhana yang membuat aku melambung jika mendengarnya, ucapan yang kutunggu-tunggu sebelum maut menjelangku;


“Oh, seandainya…”

(sabtu, 24 November 2007), aku kehilangan

Tidak ada komentar: