26 Jul 2007

Sebuah Petang, Aku Tengah Menduga Petang Lain yang Berisi Petang yang Lain.

Aku bertemu banyak orang, aku kehilangan banyak orang.
Petang ini, waktu merujuk pada tanggal 26 Juli 2007. Aku merindukan banyak orang, begitu saja. Barangkali matahari yang cahayanya terasa teduh ini telah membangkitkan sedikit imajiku pada masalalu. Benar katamu Zen, masa lalu tak bisa dipintal. Ia hanya bisa diingat, memaafkan dan membiasakan diri dengannya.

Tapi sore ini betapa sentimentilnya aku. Aku bangun tidur, setelah semalaman begadang. Sukma menungguiku sambil membaca-baca buku puisi Zen Hae ketika itu. Tak ada apa-apa sebetulnya.
Begitu aku mandi, tetesan dari gayung pertama membuatku menggigil, sekejap aku terlempar ke sebuah waktu yang entah kapan, entah di mana. Air dan rasa dingin, entah mengapa mereka begitu bersepakat mengurungku dalam labirin hantu ini. Kalian tahu, tiap kali aku mandi sore, atau subuh, tubuhku yang tak siap menerima hawa dingin ini akan menggelepar, menggeliat, menggigil lalu seketika aku dilemparkan sebuah tempat dan waktu yang jauh, entah ke belakang, waktu yang pernah kulewati, entah ke depan, sebuah kesempatan yang belum pernah kulalui. Dan sungguh, tubuhku tak pernah nyaman menerima umpan semacam ini. Rasa nyeri, rasa sakit dari dalam, sebuah pilu yang tak bias kuceritakan. Ada dengungan panjang, seperti lengking kereta, dan itu menyeretku pada ketidaknyamanan. Lalu seperti biasa, ingatanku bergulung-gulung tak tentu arah.
Barangkali aku pernah tidak menyukai seseorang, tapi aku pernah merindukannya pula.
Masa kanak. Duh, aku terlempar begitu jauh. Sebuah petang, rasa dingin yang sama, dengan matahari menyinar dari luar dengan terang yang sama, aroma yang sama. Tapi persisnya kapan aku tak tahu. Aku mengenalinya dengan akrab.
Mula-mula hadir sebentuk ladang yang begitu kukenali. Ladang tempat saya tumbuh di sana, pematang sawah yang selalu kubayangkan sebagai aspal jalanan, setiap siang dan sore hari aku ‘berkendara’ dengan sebatang ranting dan mulut menderu-deru meniru suara motor atau mobil. Dan imaji ini harus terus kucambuk kalau Abak, menyuruhku membelikan rokok. Jarak dari rumah ke jalan raya lumayan jauh, melewati Bandar, bukit, sawah dan tukungan-tikungan hutan kecil. Aku malas disuruh-suruh. Tapi bapakku juga pantang menarik ucapan. Dan aku mengalah, dengan bersungut-sungut menerima yang disodorkannya dan dia juga mengalah dnegan sepenuh hati memberikan uang 500 perak untuk membeli rokok Kansas Merah tanpa gabus yang harganya 350 rupiah. Sisa 150 puluh tidak semua bisa kuterima cuma-cuma. “Titip es lilin dua. Yang merah.” Perintahnya. “sisa 50 kau boleh belanja.”
Kadang dia begitu baik, semua sisa 150 boleh aku ambil. Meskipun ada upahnya tapi aku selalu malas kalau disuruh. Sehingga kalau Abak pulng dari ladang, paling tidak dia akan menyuruh beli es. Dan sebelum dia sampai di depan rumah aku sudah melesat jauh-jauh. Main sama dua ekor anjingku, Sabun dan Punco di pinggir kolam, atau sembunyi di balik batu hitam yang terletak di tengah sawah kami. Di sana aku selalu merasa jadi raja, karena tempat persembunyianku agak terlindung dan menghadap ke hamparan sawah dan di kejauhan aku bisa melihat jalan raya yang tertutup hamparan pohon kelapa.
Tapi abak selalu tahu persembuyianku itu. Setidaknya suara panggilannya akan mengantarkanku padanya begitu saja. Kalau sudah begini aku selalu berpikir mengembara dengan membawa beberapa helai pakaianku dan dua ekor anjingku, aku akan melewati hutan di Timur ladang kami. Hamparan gunung-gunung itu begitu misterius bagiku. Tentu aku bisa serupa Tarzan yang menguasai hutan.
Selain anjing aku juga punya dua ekor kucing. Selalu begitu. Setelah anak-anaknya besar, sang ibu mereka jadi cepat meninggal, si bapak selalu hilang dengan misterius. Dia tak pernah kompak dengan anjing-anjingku. Lelaki selalu begitu, tak pernah bersetuju dengan yang umum.
Anjingku juga bernama Asta, juga ada yang bernama Doggy. Dua nama yang aku dapat dari majalah anak-anak yang aku baca. Dua ekor kucing Si Manis dan Si Belang. Memang begitu, kedua kucingku selalu sama. Setelah dewasa mereka menikah, punya anak yang sama, laki-perempuan dengan bulu-bulu yang sama juga. Yang anak betina mirip mamanya, yang jantan mirib bapaknya.
Kau percaya, suatu waktu si manis seniorku mau melahirkan, dia sakit, kata Amakku. Berpindah-pindah dari loteng rumah sampai ke bawah pohon ‘Jambak’. Setelah anaknya lahir dia terus-terusan memamekan kepada kami, Aku dan Amak, sebab hanya kami yang punya waktu untuk hal-hal remeh macam begitu. Setiap malam anaknya selalu di pindahkan ke tempat tidurnya, di dalam sarungku. Dan dia meringkuk di kakiku. “Hati-hati, tidurku lasak nanti anak-anakmu bisa tertindih badanku.” Kataku setiap malam. Dan amak selalu punya inisiatif menaruh anaknya di bawah ranjang tidurnya dengan menumpuk beberapa potong kain lusuh. Begitulah cara kami berbagi di pondok kecil itu. Si Manis terlalu ngotot, dia selalu memindahkan anaknya ke sampingku dan malam berikutnya dia mulai jarang pulang ke rumahnya yang nyaman, di dalam sarungku. Muntah-muntah di dapur dan banyak berbaring di halaman kami yang cekung. “Dia masih sakit,” kata Amak. Kadang amak selalu mengatakan aku bapaknya kucing, aku suaminya kucing karena aku terlalu menyayangi mereka dan membawanya tidur ke dalam selimutku. Empat sekaligus. Aku benci dibilang bapak kucing, aku benci dibilang suami kucing. Aku benci dengan kata suami dan bapak. Semacam ikatan kurasa. Dan aku tidak suka ikatan dan kata menikah.
Empat hari setelah melahirkan Si Manis tak lagi pulang. Ia hanya membawa dua anaknya ke pangkuanku ketika itu
“Barangkali berobat ya, Mak?” Tanyaku.
Amak mengangguk. “Kucingkan saudara mudanya Inyiak Balang, jadi biasanya mereka akan bertemu untuk sebuah upacara pengobatan.” Katanya. Inyiak Balang yang dimaksud adalah harimau. Kami tak boleh menyebut kata itu langsung, sebab ia makhluk yang agak dituakan. Harus sopan.
Tapi empat hari kemudian aku menemukan si manis terbaring di bawah pohon jengkol dengan tubuh sebagian telah digerogoti ulat. Mati. “Dia tak ingin menyusahkan kita dengan bangkainya. Dia tahu betul dengan kematian yanga akn menyambutnya, makanya dia titip anak-anaknya kepadamu.”
“Tapi aku bukan bapaknya anak-anak kucing itukan?”
Kali ini Amak menggeleng. Dia ikut sedih barangkali. Lalu dengan cangkul yang biasa kami gunakan untuk membuang tahi sapi Amak menggali kuburan untuk Si Manis yang tubuhnya sudah tak beraturan itu. Dan Si belang? Bukankah laki-laki selalu menemukan tempat yang nyaman untuk tinggal? Lagi pula Sabun, Dogi, Asta, Punco tidak pernah berdamai dnegannya. Berbeda sekali dengan Si Manis yang tak pernah bermasalah dengan anjing.
Dan kalian tahu bagaimana nasib Se Belang dan Si Manis Junior itu. Seekor anjing kami yang lain kebetulan juags edang melahirkan. Jadilah, ia memiliki empat anak sekaligus. Dua anaknya dua lagi anak si manis. Jadi siapa bilang Anjing dan Kucing selalu bermusuh? Mereka tidak, sampai dewasa pun, barangkali merekalah yang akan memperbaiki hubungan bapaknya, Si belang, dengan masyarakat anjing-anjingku.
Selalu ada yang hilang dan selalu ada yang tumbuh memang.
Kita terlalu terbiasa dengan ingatan. Aku sering menginginkan kembali ke sebuah waktu yang paling indah. Tentang senja di pantai misalnya, di mana biduk-biduk pulang ke pantai, matahari sembunyi di balik laut kami, anak-anak ribut di pantai, pura-pura ikut membantu mengangkat sampan. Dan biasanya, kalau hari sedang elok, mereka selalu menyisihkan ikan-ikan kepada kami, yang anak-anak. Lagi pula di senja begini siapa yang mau membeli ikan banyak. One, perempuan tua tambun yang punya warung makan satu-satunya di kampung kami itu sudah punya cukup banyak ikan yang dibeli tadi iang tentu saja.
Lalu semuanya bertindihan di tubuhku yang menggigil. Bertabrakan dan membuat tubuhku terasa begitu nikmat dan sensasi lain yang asing. Sebuah rasa nikmat yang tak nyaman, kau tahu. Serupa puting susumu dipengang seseorang di saat kau tak sedang melamun dan berpikir berat. Ladang, si Manis dan Sibelang, Amak-Abak, One, Uwan Sitam, uni Iyet, Abang Iwin, Idal Tujang, Uni Inis, Uni Rana, Pak Gaek Sitam, Ayek Julis, Tek pasai, Ijal, madi, Ijas, Ipul, Upiak aluih, Nati, Pak Guru Yusril, Izal, Sihen, Uni Sieng, Uda Kudal, Etek Inu dan Uwan Sinis, anak-anaknya.. dan..dan.. akh!!! Aku lupa nama mereka, aku sudah lupa wajah mereka. Entah seperti apa mereka. Kadang bayangnya muncul selintas tapi aku lupa dia siapa, kadang nama-nama melayang begitu saja tapi aku tak tahu itu milik siapa.
Rasa dingin ini, air yang mengguyur membuatku semakin tercampak ke waktu jauh, waktu yang masih sempat kukenali. Mereka berputar-putar menusuk-nusuk bagian tubuhku yang semua menjadi sensitif, yang emua menjadi begitu aing. Aku lupa pada tanganku, aku tak mengenali rambutku, kakiku dan perutku lagi. Sebuah rasa yang menyanyat dan kali ini ingin kunikmati lebih lama.
Percayalah, aku tidak sedang mendramatisir apa-apa. Aku percaya kamu pernah mengalami rasa dingin yang nikmat tetapi sakit ini. Dan bayangan tentang kampung lenyap eketika begitu aku keluar dari kamar mandi. Dan kau tahu apa yang kurasakan begitu matahari petang menyambutku di luar sana?
“Rasanya aku mengenali waktu ini.” Tapi kapan dan dimna. Bukankah matahari jam lima petang adalah matahai jam lima petang? Tapi ada yang lain aku rasa. Dan ingatanku bergulung lagi. Di manakah ini? Di kos Ibed ketika kami sedang lapar dan bersabar menunggu Ira datang? Di Kos Mami di mana aku sedang duduk di kamar Broto? Sebuah petang di mana aku duduk di depan kampus ISI? Sebuah petang akus ednag berjalan bersama Purwana? Sebuah petang aku yang sednag ngopi dengan Wida, sunli juga Purwana? Sebuah petang di mana aku melihat Mahwi menenteng gorengan di samping gerobak yang akan dijual Mukandar, di mana Erna sibuk di depan tungku? Sebuah petang di maan aku mendayungs epeda tak tahu hendak kemana, sementara perut begitu keroncongan? Sebuah petang di mana aku sedang tidur dengan tubuh letih di kamar sumpek di mana debu dan sisa gempa belum juga sempat kubuang? Sebuah petang dimana aku menjemput Sukma?
Sebuah petang ketika aku, jejen, angung, Simbah atau siapa duduk di lantai atas Indexpress sambil menatap Alun-alun Selatan? Apakah ini sebuah petang di mana aku dan Kiting juga Huda atau Amin atau siapa sedang duduk di pinggir gajah wong? Ataukah ini sebuah petang di mana aku sedang pulang dari kampus dengan tas berat berisi buku-buku yang kusebut ruang baca di kampusku? Barangkali ini sebuah ptang di aman aku dan Fahmi sedang mengisi bensin ketika hendak bertemu Stevi dan gendhot di Dusun melati? Ataukah sebuah petang di mana aku dan Bang Erwin Jambrong sedang bercakap di beranda rumahnya yang dipenuhi anak-anak dan debu jalanan? Ataukah ini petang saat aku dan Mas Emri sedang berbincang dengans egelas es teh di angkringan? Sebuah petang di mana aku berlarian di pinggir pantai di masa kanak? Sebuah petang yang kami lewati sepanjang jalan parangritis dengan dayungan sepeda? Ataukah inis ebuah petang di mana aku sedang menantiu seorang gadis keluar dari rumahnya? Ataukah ini sebuah perang di mana aku sedang memandang petang dan menduga sesuautu di dalamnya? Sebuah petang di mana aku dikungkung kenangan dan pertanyaan tentang petang yang sama. Aku tak tahu.. aku tak cukup tahu.
Aku ingin berhenti menulis ini. tetapi terlalu banyak yang menyelinap di kepalaku. Sumpah. De javukah, jika tiba-tiba aku teringat sebuah mati?
Seberapa banyak yang kukenali, seberapa banyak yang pergi?

2 komentar:

ira puspitaningsih mengatakan...

koto, kau selalu menuliskan hal yang itu-itu saja... "PETANG BERSAMA IBED, MENUNGGU IRA DATANG..." hah, sial... aku kangen ibed juga akhirnya... tapi apalah artinya hari ini... kita memang tak dapat memupuk kembali yang sudah lama hilang... mari kita berhitung, koto... rasanya 2 tahun sudah kita menjalani hidup sendiri-sendiri... kau berjuang sendiri, aku menangis sendiri, ibed merenung sendiri...

Anonim mengatakan...

setidaknya, dulu pernah ada sebuah waktu yang diciptakan untuk kitas bersama-sama. dengan segala kemiskinan yang tidak begitu saj hilang di kepala. dua tahun, dua bulan, dua hari, kadang ia rasanya baru dua jam yang lalu bukan? lalukita yang sendiri-sendiri. aha.. barangkali hidup juga serupa jalan, suatu waktu kita diantarkan pada tikungan ini, jurang itu, lalu melewatinya. melewati berarti bukan meninggalkan bukan?