23 Apr 2007

Selembar Surat yang Menghukum

Kali ini aku akan bercerita lewat selembar surat. Dengarlah:

kau membalas suratku juga.
Tahukah, saat aku membacanya, aku hanya tercengang. Pelan aku merasakan ada yang basah dan berat di kedua mataku.
: Aku memang cengeng.


Aku membaca surat terakhirmu dengan kecamuk ingatan. Segalanya berkelebat di kepalaku. Sesaat aku dihinggapi sejuta rasa bersalah. Aku berhadapan dengan serpihan kenangan yang memburu
ku tanpa ampun.
Surat, ah, sudah berapa lama kita tak saling bersapa?
Kadang aku meyakini bahwa waktu berputar begitu gesit melampaui apa saja. Ia seperti melompati depan jendela, melampai halaman rumah, dan pagar tetangga. Ia – sang waktu itu – berlari dengan sigap, mengambil apa-apa dari kita yang belum terselesaikan.
Aku sudah 20 tahun. Dulu, aku masih 18 tahun. Ingatkah, bahwa 2 tahun kita sebenarnya sudah saling mengenal? tapi, seolah-olah hanya hitungan hari...
Ahai, betapa aku alpa, waktu yang 2 tahun ini. Mengapa saja aku, di mana saja aku? Kau benar, bahwa kita sejak awal sudah mengenal, bahkan sebelum pertemuan itu ada. Seperti judul antologi cerpenmu saja, Pertemuan di Rintik Hujan. Uh, nyaris seperti kisah kita, bertemu di sebuah malam yang bergerimis. Kau bersama Luluk, aku bersama kawan-kawan; Alfian Harfi, Ahmad Muchlish Amrin ada Dina Oktaviani dan seorang temannya. Danbeberapa nama lainnya aku lupa. Ingatan, kau tahu, waktu juga merenggutnya dari kita. Pada apa-apa yang kita sebut terbiasa.
Malam itu kita meluncur ke Cilacap dnegan tujuan yang berbeda. Aku mau main ke rumah Faisal Komandobat,ke Pesantrennya dan kau mau lounching cerpenmu di sana. Dan tidak ada yang istimewa sebenarnya tanpa percakapan di mana kita saling diam dan tak saling mengenal satu sama lain. dan perjalanan adalah percobaan bait pertama puisi Sapardi Aku ingin Mencintaimu dialeg yang fasih dibawakan Alfian Harfi.
Tak mengenal? Tidak setelahnya. Kau menjadi adikku dan aku menjelma kakak. Inilah yang kuimpikan sejak kecil,
sejak aku mengenal rasa bosan. Aku ingin punya seorang adik perempuan. Dan kau, kau telah menjadi adikku, menjadi ndukku, orang yangs elalu berkabar dan mengadu atas keruwetan dan segala kebingungan. Juga aku. Pada kisah-kisah cinta yang menyakitkan, pada masalalu yang sepenuhnya suram, tentang igauan-igauan masa depan. Dan kita saling menerima, saling berkabar, saling menegur lewat surat-surat elektronik yang panjang, berjela-jela, dan rutin.
Dan dua tahun sudah, kau dulu yang kukenal di tahun 2005, pada September yang basah. Kini waktu bergulir pada April 2007. waktu itu usiamu masih 18 tahun, dan sekarang, sejak kelahiranmu 3 April yang lalu (dimana kau baru saja merayakannya, ah, kau benar, aku mulai lupa) tahun 87 tepatnya.
Bang, aku tak pernah menyesal mengenalmu, entah kau.
Aku? Azizah Hefni namamu. Aku mengenalmu, dik. Aku masih bisa mendengar suaramu, tangismu ketika kita berbicara tentang Tuhan. Pertemuan kita hanya sehari dan bercerita sedikit saja. Kau disibukkan dnegan launching bukumu dan akud engan kerjaku, menjagai stand bu
ku. Selanjutnya kita pulang naik bis. Di jalan, beberap[a percakapan mengalir. Bis berhenti di terminal, ada pengamen, ada pengemis, penjaja buku dan koran. Seorang pengamen dengan cerdik mensiasati keletihan kita, dia menyanyi dengan gaya pura-pura bisu higga kita harus kasihan padanya. Perjanan berlanjut, kita ternyata tidak sampai ke Yogya, kita ditinggal di separoh perjalanan, entah di terminal mana. Kau tahu, aku selalu tidak suka dnegan sesuatu yang berisik, sesuatu yang ribut, sesuatu yang
ramai. Aku sumpeg, aku hanya ingin pulang ke Sewon, tidur dis ebuah kamar yang jendelanya menghadap jalan, setelah itu aku akan berdoa semoga hujan turun dan dari kaca jen
dela aku bisa melihat ricik airnya. Impian sederhana di Minggu petang itu dari sebuah perjalan kita.
Lama. Tapi, aku tak pernah merasa asing menulis surat padamu. Waktu yang lama membuat kita tak saling menyapa. Bagaimana kabarmu?
Aku menangkap kegelisahanmu, sebagi seorang anak muda yang se
dang belajar menulis ketika itu. Samalah dengan aku. Bedanya, katamu, “kau di Yogya dan aku di Malang.” Apa bedanya? Seni lahir dari mana pun kau tinggal. Kata-kata tak mengenal batas akan sebuah ruang, di amna pun aku ada, kata-kata akan tumbuh di sana. Ia serupa rumput, percayalah, tumbuh, tumbuh dan kau akan tenggelam di antaranya.
Aku sedang berbahagia? Berbahagia apa? Aku biasa saja...kebagaiaan dan kesedihan tetap saja bergantian menimpaku. Dan kupikir, itu sesuatu yang tak akan pernah terlepas dari kehidupan kita. Apakah lantas, bila aku bahagia kau menganggapku lupa segala yang pernah ada selama ini?
Aha, kau semakin bijak saja,adikku. Semakin bijak saja. Siapa yang mengajarimu berfilosofi? Waktu? Dulu, kita kau sempat berkeluh dengan cerpenmu, soal sekolah demokrasimu, soal laki-laki, soal keluarga dan semua. Dan waktu, kau benar menyelesaikan semuannya. Tidak juga. Kadangkala, ada waktunya kita sendiri, ada waktunya kita butuh yang lain. Dan kita, ada di antaranya.
Tidakkah kau ingin tahu kondisiku?Tidakkah ada keinginan di benakmu untuk mengetahui keadaanku? Tanpa meminta dikasihani atau ditaburi kesan 'naif', aku akan ceritakan sedikit kabarku.
Aku kehilangan orang-orang yang kucintai. Kau ingat cerita-ceritaku tentang kematian ayahku dalam surat-surat panjang kita dulu?
Aku bicara kematian, bang.
Tuhan, seolah-olah memberi kecendurang lebih banyak terhadap kematian, ketimbang kelahiran. Sejak kematian ayahku itu, aku menjadi perempuan yang cengeng. Sejak kehilangan ayahku itu, aku menjadi perempuan pendiam dan sensitif...
Tuhan mengambil ayahku yang lain. Aku adalah salah satu orang yang berduka dari ribuan orang yang sedih kehilangan Gus Zainal (Arifin Thoha). Tak perlu dibahas memang. Tapi, tahukah kalau sebelumnya aku sudah jatuh lantaran kehilangan ayahku?
Lagi, bang. Ini kematian lagi. Dan kematian yang mendadak itu
mengingatkanku pada kematian ayahku yang juga mendadak. kenapa, Tuhan tak memberiku kesempatan untuk mempersiapkan mental?
Duh, jangan lagi berita duka. Jangan lagi. Aku tahu semua. Aku tahu kerisauanmu. Bagaimana lagi, segalanya ditakdirkan semacam itu. Sebuah pertemuan, dan pada waktunya perpisahan. Selalu semacam itu. Dan akan selalu begitu.
Gus Zainal. Ya, betapa cepatnya ia pergi, kau tahu, dua hari sebelum keberangkatannya ke negeri sana, aku masih melihatnya dan berpapasan. Dia sehat, dan mengangkat tangan kepadaku, sebagai mana biasanya. Beberapa kali kami ketemu di UNY. Aku bersama Sukma (ah, kau tentu tahu siapa yang sedang kuceritakan ini, tentang Mutia Sukma) sering main ke rektorat UNY, ada saja yang kami lakukan dan membawa kami ke sana. Beberapa kali kami ketemu di sana, bercakap singkat dan saling ‘mengejek’.
“penyair, ada urusan apa?” katanya.
“Main aja, budayawan.” Kataku padanya, pada Zainal Arifin Thoha, seorang kawan dan guru itu, juga ayah bagimu.
Kau benar juga, dia lelaki yang dasyat, sayang usia keburu merenggutnya sebelum dia benar-benar matangd engan karya dan diksinya. Entah apa maksud Tuhan. Kalau aku ke Kutub, ke pondoknya, dia langsung menjabat tanganku dan menemuiku. “Hei, kita kedatangan tamu,” katanya pada rekannya yang sedang sibuk berdiplomasi soal buku dan penerbitan. “Indrian Koto, penyair dasyat.” Katanya. Kalau sudah begini, kau tahu, aku hanya malu-malu. “Alah, Mas ini (mas, aku tahu, aku tak pernah memanggilnya Gus, sebagai mana yang lain. Aku tak fasih. Dan aku juga tak pernah mencium tangannya sebagaimana yang lain. Tapi itu semua tak mengurangi keakraban kami juga). Budayawan dasyat kerjanya hanya meledek.” Selalu begitu kami bercakap. Dan akan tertawa bersamaan.
Dia pergi dek, begitu saja. Padahal obrolan kami pun belum sepenuhnya selesai. Belum selesai.
Ah, Bang, bahkan, saat aku ke jogja, kita tak bertemu. Siapaakah yang kejam sebenarnya? Aku tak mau salahkan nasib, garis Tuhan, atau takdir. Mempelajari semua itu membuatku semakin pusing.
: Tuhan tak pernah mau tahu dengan geliat kehidupan.
Padahal, dalam surat-surat panjang kita dulu, kita selalu membicarakan rencana pertemuan yang romantis dan berkesan indah. Kenapa, vacum itu terlanjur melanda kita sebelum kebarangkatanku ke Jogja Januari kemarin?
Pertemuan. Pertemuan di rintik hujan kali, hehhe... sungguh, aku juga ingin bertemu lagi dik, ngobrol banyak tentang apa saja yang aku dan kamu lakukan dia tahun ini. Sebagai kakak, aku merasa punya banyak pertanyaan dan tanggung jawab itu. Tapi kini menurutku kau makin dasyat dek. Puisimu di Sindo dan minggu ini, saat aku menulis catatan ini, aku membaca namamu di Suara Pembaruan. Nubuat labirin Luka antologi pertama kita di mana kita sama-sama tak dapat bukunya, hahha.. bagimana lagi, kita harus membeli sendiri. Lalu CWI. Kau juara, Pintu yang terkunci judulnya dalam antologi Lok Tong yang diterbitkan CWI dan Menpora dnegan semena-mena itu. Halamannya tak lengkap, jilitannya kacau, urutannya berantakan, telat dan Cuma dapat satu. Kita menyalahkan siapa? Sistem lagikah?
Kau juara dua, cerpenmu bercerita perempuan yang dikerasi laki-laki, suaminya. Aku masih bingung smapai hari ini, bagimana mereka bertemud an menyepakati pernikahan jika kelakuan sang suami demikian, aku juga masih belum bisa mengerti atas dasar apa si laki-laki mengasari istrinya tersebut dan menguncinya dari luar. Dan paling membuatku tak mengerti, kenapa begitu saja, tiba-tiba dia menguir istrinya itu? Alasan psikologis tidak terbangun, menurutku. Tapi sudahlah, dialog-dialognya mengalir lancar. Narasinya padat dan mantap. Satu lagi pertanyaan, atas dasar apa dia menguntit suaminya? Dari mana dia dapat uang taksi? Kemana dia pergi setelah diusir? Ahahha... kau terbiasa bercerita panjang. Sebuah novel tentu saja.
Novel? Astaga. Ya, ya, ya, kita pernah bersepakat hendak menulis sebuah novel yang digarap bersamaan tentang kisah santri dan lelaki asing. Huu.. kita sudah sampai di halaman ke seratus berapa? Wahai, adakah penerbit yang tertarik? Hahhaha.. kau masih simpan naskah itu?
Kau jahat. Jahat sekali. Aku ingin sekali memukulimu, aku ingin
sekali menendangmu sampai jatuh. Kau jahat. Amat jahat.. Aku dibiarkan berjalan sendiri, tanpa sesiapa. Aku dibiarkan begitu saja, tanpa alasan. Kau, sudah memiliki dunia baru, dan aku, seolah-olah tak bisa masuk ke dalamnya. Begitu bukan?
Masih mau mukul-mukul? Emang IPDN!! Hahhahaha.. tak apa, akupaham kemarahanmu. Aku paham sekali. Barangkali intensitas saja dek. Kau punya kegiatan, aku punya kegiatan. Itu saja. Kau tetap adikku dan aku tetap kakakmu. Percayalah.
Bang, aku marah padamu. karena kau tak juga mengerti kerinduan.
Tapi, tak seharusnya aku marah. Kau berhak lakukan itu. Aku tak berhak menyalahkanmu. karena, siapalah aku?
Kini kau akan tahu dik, kerinduanmu itu. Kini kau juga paham, persaudaraan tak bisa dihapuskan dan dilenyapkan begitu saja. Tuhan mempertemukan kita secara ajaib, sebagaimana kita pernah mempercakapkan. Pertemuan di Rintik Hujan, dalam perjalanan ke Cilacap. Sejak itu kita bersaudara. Kita bersahabat dan juga saling mengejek. Ah, indahnya persaudaraan.
Kau kini sudah mengerti makna rindu? Dan yakinlah, kemarahanmu adalah sebagi bukti kau mencintai kakakmu ini, menyayangi sebagai mana kau menyayangi Imam, kakak yang kau sayangi itu. Salaman dulu, sebagi bentuk silaturahmi yang baru.
Ketika kau ke Jogja, kami – aku dan Sukma – sudah menyiapkan sambutan yang hangat. Sukma ingin mengenalmu juga, sebagai saudari barumu. Tapi waktu belum berkehendak. Mungkin lain waktu. Atau pintu rumahmu terbuka ketika kami hendak berkunjung ke sana?
Dunia berwarna dik, dan aku akan ada di sini, di sampingmu. Seorang abang, seorang kakak tak akan membiarkan adiknya melompati pagar dan berkeliaran di jalan-jalan. Oh ya, selamat ualnmg tahun. Semakin dewasa kau sekarang.
Seperti biasa salam untuk semua keluarga. Salam buat Ammar yang tentu bukan bayi lagi. Dan Mas Muklismu, kali ini jangan berdusta lagi..hihihi..

1 komentar:

Gita Pratama mengatakan...

aku suka tulisan ini..!
ini cerpen ya? hehehe...