9 Apr 2007

poetika Riwayatku Kini II

Kami sepakat menempati rumah yang dibagi kamar per kamar itu. Ada enam kamar yang pintunya saling membelakangi dan sebuah ruang tengah kecil memanjang tempat kami bisa berkumpul nanti.

Alasannya sederhana: pertama, waktu kami (aku dan Ucup) hampir habis, kami tidak mau membikin masalah dengan ibu kos yang lama. Kedua, Pak Kos baru kami dengan sedikit baik hati mau mempercayakan rumahnya pada kami orang-orang yang tak punya uang ini. Ini menjadi alasan kedua kami. Selain itu, di belakang ada sungai dan sedikit ada ruang kosong dan kursi tua tempat kami bisa berkumpul dan ngobrol-ngobrol nantinya. Dan yang keempat adalah ada sedikit kebebasan bagi kami untuk berteriak di tengah malam sekali pun, siapa pun akan boleh menginap dan sebagainya.




Masalahnya: kamar mandinya hanya satu, Wcnya bau. Tapi bagaimana lagi? Kami benar-benar tak punya duit.


Kesepakatan sudah terjadi. Masalah yang lebih rumit muncul. Siapa yang akan menempati rumah enam kamar ini? Semula kami yang banyak ini mundur satu-satu. Lukman mengatakan sudah punya kos-kosan, Purwana, seperti biasa dnegan gaya diplomasi menghajar kami dnegan kata-kata berbelit, soal uang dan sebagainya. Saya katakan lagi, di sini segalanya bebas tinggal mau ikut membantu membayar atau tidak. Ini ruang berproses. Kalimatku tidak masuk juga. Karena aku sadar bagaimana pun juga 6 juta rupiah itu besar dan amat besar sementara kami belum punya uang. Sunlie berkelit dnegan alasan sederhana, “Saya ingin sebuah ruang privasi.” Mahwi dan erna dimarahi orang taunya, bagaimana pun mereka punya rumah sendiridi Piyungan sana. Lalu jika semua mengundurkan diri siapa yang akan menguni enam kamar ini? Aku tidak ingin ada kamar kosong dan bolong. Rasyid menghilang. Da Hen memilih pergi sama Sunlie, kos Bareng Lukman, bertiga mereka.


Ucup mengulurkan tangan dan mengeluarkan uang kontrakannnya. “Sebagaimana kesepakatan semula, saya hanya akan menempati 6 bulan saja dan saya membayar sedemikian.” Katanya. Aku ytak bisa berkeloit. Bagaimana pun juga, keinginanku tidak ada patokan siapa harus bayar berapa. Yang penting kita berkumpul. Itu saja.


Yang kedua Ridwan dan dia menyerahkan uang sembilan ratus ribu. Jadilah uang muka sejuta enam ratusan ribu. Dan masih empat juta empat rauts lagi. Kami harus cari uang di mana?


Awalnya aku berdua dengan Ucup menempati ruang itu. Aku ikut pindah diam-diam, mengangkut barang-barang bersama Ucup. Aku sedih meinggalkan kosan lamaku. Harus mencomot satu-satu poster dan berbagai kenangan di sana. Sebuah petaka ketika gempa yang tak bisa kulupa di sana.


Aku pusing ketika mulai berpikir, siapa yanga akn menempati ruang ini dan siapa yang melunasi utang kontarakan. Semua menghibur. “Utang kontrakan adalah utang kita bersama. Satu komunitas.” Kata Muklish. Dan aku puas.
Tiga kamar di dalam sudah terisi. Satu Ucup, kedua aku dan ketiga perpustakaan. Ridwan memilih di kamar depan sendirian. Dua kamar di depan kosong melompong untuk waktu yang panjang dan aku mulai takut ketemu pak kos.


Bulan-bulan yang payah ketika kami menempati kontarakan ini. Sebulan sekali kami harus mengeluarkan uang untuk membayar listrik. Dan kontarakan? Aku mulai gemetar, dan Ucup mulai merinding. Kami memilih tidak lagi membicarakannya. Inilah awal ketegangan kami di rumah ini. Semua kawan-kawan jauh dan menghindar bicara uang.


Sebuah rapat kecil digelar. Soal kontrakan. Usul demi usul muncul. Kita sumbangkan masing-masing satu cerpen dan bikin antologi. Kita bikin workshop, kita jualan buku. Bikin proposal dan macam-macam ide lainnya.


Hanya sebentar. Semua kembali seperti semula. Ucup harus menambahkan uang lebih dari enam bulannya. Ridwan menambahkan 300 ribunya. Ini sudah melebihi target, 6 juta untuk enam kamar. Kalau dihitung menurut kamar berarti masing-masing membayar sejutaan. Dan aku kian cemas, belum juga mampu membayar. Pada akhirnya aku dapat bantuan 500an ribu dan utang kami berkurangs edikit lagi.


Aku sudah lupa berapa jumlah uang yang sudah kami transfer dan berapa sisa utang karena aku mulai takut melihat kamar ini kosong. Keinginanku untuk memberikan akses sebebas-bebasnya untuk siapa saja tinggal di sini tanpa berhitung uang harus kalah dnegan hitungan kawan-kawan. “Bagaimana bicara idealis kalau kita masih terbentur pembayaran utang?” dan aku diam saja.




Pelampiasannya adalah dinding-dinding yang penuh coretan, semacam kegelisahan kami bertoiga yang hidup seolah dalam penjara.




Temu penyair, sebuah acara kami gagas, September sudah kami rapatkan. Di sela-selanya kami bicarakan lagi masalah utang kontrakan. Ucup yang bertugas untuk itu. Aku sudah tak berdaya, tak berani karena belum juga bisa melunasi untuk satu kamar. Dan dengan penuh kesombongan aku menjanjikan untuk membayar dua kamar sekaligus. Berarti 2 juta dan itu tanggung jawabku penuh.




Patungan, sedikit mengeluarkan kami dari utang. Masing-masing dengan kerelaan hati harus mengeluarkan uang, muali dari 400 ribu sampai 50 ribu. Sebagian menjanjikan dulu. Dan mereka minta untuk ditulis. Minggu pertama Ucup rajin menemui Fahmi, Sunlie dan yang lain untuk menanyakan hasil kesepakatan. Minggu kedua ia lelah. Dan utang tetap saja seperti itu.


Beruntung, aku dapat sedikit uang untuk mengurangi beban yang masih 3 jutaan. Kami merancang-rancang. Seandainya begini, seandainya begitu, seandainya ini, seandainya itu.. dan utang kontarakan tetap tak bergerak. Tak seorang pun yang ingin jadi pahlawan.


Akhirnya aku dapat pekerjaan dari Muhidin M. Dahlan bersama Muklish dan Simbah Ismanto. Gaji satu juta yang dibacar cicilan setiap minghu kusetor ke Ucup dengan dipotong 50 ribu/250 ribu. Ditambah uang honor dan lain sebagainya. Masyur juga kemudian masuk, mengisi satu ruang dari dua yang kosong utang kami ikut berkurang. Terakhir menyusul kitong dan Huda. Lengkap sudah penghuni kontrakan, tapi percayalah utang masih 600 ribuan lagi. Tak ada yang bisa menjamin dengan semakin banyaknya orang di sini kontrakan akan selesai. Aku tidka tahu hitungan-hitungan uang itu karena cemas mendengarkan. Terakhir ya enam ratus ribu itu.




Utang tinggal sedikit lagi. Diskusi kembali mengalir, ketegangan kembali padam, kami bisa ketawa lagi. Nasib buruk, teror yang kami alami bulan-bulan pertama menghuni rumah baru. Dan aku mulai meragukan komitmen banyak orang dan diri sendiri. Apa sih artinya hidup berkomunal?




Pertanyaan-pertanyaan semacam ini menjauhkan aku dengan acara-acara kumpul-kumpul yang berisi guyonan dan impian-impian. Aku mulai kehilangan kepercayaan. Acara Forum Penyair Muda 4 Kota mundur sampai februari. Dan aku semakin tekun dengan kesendirian.




Lalu aku tenggelam dengan garapan-garapan puisi nusantara, juga beberapa kawan dan Sukma. Dan ini masih sempat disesalkan kawan-kawan. “Mbok ya, ngajak kawan-kawan kalau ada apa-apa. Jangan makan sendiri.” Aku mulai bercuriga pada niatku sendiri. Apa masih ada yang kurang dari pelayananku selama ini pada kawan-kawan?




Aku harus tinggal di kamar basah. Kasurku kuyup setiap kali hujan, demi sebuah ruang baca yang kami idam-idamkan. Buku-bukuku melayang, ilang, puluhan jumlahnya, sandal dan barang-barang lain harus lenyap, membakar sampah, mencuci piring gelas, membersihkan rumah adalah kegiatan rutin yang harus kulakukan kalau tidak mau rumah ini hancur. Ucup sudah mulai sibuk dnegan wisudanya. Dan aku makin asing dengan kawan-kawan sendiri.




Balik ek soal ‘ngajak-ngajak’. Kalau kawan-kawan yang menyindir tadi paham persoalannya tidak akan begini jadinya. Mereka ada di satu pihak tanpa mau melihat sisi lainnya. Saya merekomendasikan semua kawan-kawan yang bisa berpuisi untuk ikut garapan puisi nusantara ini. Tapi saya tak punya wewenang untuk meluluskan mereka. “Mbok ya cari kawan-kawan yang di luar. Jangan puitika terus.” Begitu kata koordinator.




Dalam banyak hal saya selalu tampak salah dan selalu merasa bersalah. Air yang habis, sampah menumpuk, uang listrik dan sebagainya. Kami makin kacau dan Forum penyair Muda sebentar lagi.




Pasca acara ini adalah puncaknya. Aku menjadi tidak menyukai semua orang. Aku trauma berkumpul, seolahs elalu ada pekerjaan yang belum selesai saya lakukan. Saya selalu salah.




Dan satu persoalan muncul. Dana sponsor yang kami dapatkan dua juta dipertanyakan. Saya dituduh menggelapkan penulisan puisi kawan-kawan diluar daerah (untuk yang ini buka di mulis Danau Puisi). Dari kawan-kawan sendiri saya dianggap kurang ajar tidak menceritakan persoalan yang sebenarnya.




Utang kawan. Kontarakan harus dilunbasi. Kalian tidak paham bagaimana suatu kali pak kos dalam keadaan mabuk datang ke kos suatu malam dan mengharuskan kami mencarikan uang beberapa ratus ribu untuk menggenapkan sisa uang. Tak ada yang tahu dan mau tahu. Aku dan Ucup panik setengah mati. Syukur malam itu kami diselamatkan Simbah yang kebetulan bertandang ke sana.


Untuk pembayaran ini saya minta saran kawan-kawan untuk dibayar dengan “uang bersama” ini. Raung bersama, hahaha.. saya mau ketawa sekarang. Idealisme yang bukan lagi idealisme.. aku bisa gila, sungguh kalau berhadapan dnegan ini.




Tuduhan itu berubah kebencian dan tak seorang pun berkehendak meluruskan. Ucup mencoba sedikit melerai dan yang lain memakai sisa uang untuk berbagai keperluan. Untuk hal-hal yang diluar gugaaan, uang keluar yang lupa dicatat harus aku tombok dengan uang sediri suapaya saya tidak menjadi orang yang betul-betul seperti yang dituduhkan. Saya sakit dan semakin kehilangan diri sendiri. Rumah Poetika semakin menakutkan untuk saya. Sangat menakutkan.




Kini sisa uang itu tinggal 70 ribuan dari dua juta yang harus ‘membunuh’ diriku dengan berbagai tuduhan dan tudingan. Saya tidak sekali pun mekai uang tersebut untuk perutku, kenapa aku merasa dituduh sebagai ‘maling’ uang? Aku tidak harus menjelaskan untuk berpura-pura jadi pahlawan.




Kini, setelah uang kontrakan selesai, setelah seluruh kamar penuh dan kini, percayalah, sudah melimpah. Aku menjadi takut pulang ke kamar sendiri. Ada pandangan yang tidak nyaman, ada tatapan yang tidak enak. Entah karena masalah pribadi atau komunal. Entahlah, barangkali aku dan Sukma yang menjadi persoalannya? bukankah segalanya sudah selesai? kami sudah bicara baik-baik dan segalanya sudah berjalan dengan normal. (Maaf, ini say\gat pribadi bung..hehehe)




Poetika, bagaimana kau harus mengatakan padamu “biarkan aku pause sejenak, istrirahat dulu” kepadamu? Jika untuk berkumpul sekali saja saya tak ada, pandangan jelek dan komentar miring berhamburan.




Kinis aya ingin katakan, “Poetika, kita Goog bye aja dulu. Tanpaku kalian akan tetap tumbuh menjadi komunitas yang manis. Tak perlu ada yang membimbing dan mengontol. Saya bukan orang yang baik lagi, seperti dulu ketika berkumpul dengan kawan-kawan untuk membicarakan apa saja.




Aku tak tahu ini semacam kesedihan, kekecewaan atau apa. Barangkali saya salah. Saya yang kurang ajar. Atau adakah persoalan pribadi menjadi api untuk membakar komunitas ini? Biarlah saya istirah dulu, kalau bisa. Kalau dibutuhkan saya akan selalu ada untuk kalian.




Poetika akan selalu ada tanpaku, poetika akan selalu hidup tanpaku. Atau benarkah ejekan seorang kawan yang dengan sombong bilang : “poetika ada untuk menunjukan betapa tak ada apa-apanya sebuah komunitas.” Dan percayalah dia selalu bertandang dengan angkuh.




Sebelum dia menendangku, sebelum aku menendang kesombongannya biarlah, tubuh yang tak berdaya ini memilih menumpang dulu.




Kini aku harus menumpang di sebuah komunitas yang sempat kami perjuangkan keberadaan dan ruangnya. Kini dari sisa luma bulan yang seharusnya nyaman, tiba-tiba menjadi neraka yang mebakarku setiap saat.




Aku menyayangi kalian dengan segala kebencian yang kalian miliki.


Berjalanlah terus kawan.


Kata Ucup, “kontakan tinggal lima bulan lagi, To. Bagaimana persiapan kita?”


Cup, akankah kita mengulang atau akan melewati masa suram itu lagi? Aku tak berani menjawab. Hanya tertegun dan gemetar.


(Tamatkah?)

Tidak ada komentar: