24 Mar 2007

Poetika, Riwayatku Kini I



(Sebuah Ingatan Sederhana)
Awal tahun 2006 aku mencoba hidup nomaden. Setelah dua tahun di Rumahlebah aku ingin jalan-jalan keluar dulu, menghirup hawa yang lain. Perempuan tentu juga salah satu alasannya. Di selatan, di Sewon sana, seseorang telah membuat aku tak bisa tidur olehnya. Peristiwa sederhana yang membuatku sangat tersiksa. Mengapa jatuh cinta membuat diri terasa begitu kanak?
Yuli, sebut saja dia begitu. Aku mengenalnya begitu saja di antara anak-anak ISI. Teater dia. Kisah kami berjalan seminggu, tapi menyiksaku berminggu-minggu kemudian. Tak ada apa-apa yang terjadi, percayalah. Kisah kanak yang singkat. Di mana kesepian telah menyuburkan sesuatu yang lain di hatiku.
Maaf, aku sedikit melankolik. Kembali ke leptop, ya. Apa? Sudah, jangan ditanya lagi perempuan ini. Kukatakan ini hanyalah kisah kecil yangs ederhana, sebagai bentuk kesunyian saja. Dia pergi tanpa pernah tahu aku mencintainya. Ke Kalimantan, tak ada yang tahu jejaknya. Kalau pun kini aku bertemu tentu persoalannya tidak akan sama lagi, karena dua bulan sejak kejadian itu aku sudah selesai dengan semua persoalan itu. Kuharap kau tidak akan bertanya lagi.
Aku pindah ke Utara, Sleman tepatnya. Sebenarnya ini adalah masalah kuliahs aja. Di Sewon terlalu jauh dari kampusku. Dua kali aku bolak balik naik bis untuk sampai di rumah lagi. Dan aku memilih menumpang dulu di tempat Mahwi dan Ucup sementara waktu.
Duh, enak sekali kos di sini, pikirku. Maka kukatakan, apa tempat yang susah kulupakan? Tempat ini salah satunya. Begitu manis dan penuh haru biru. Di sini aku kembali hidup seperti biasa, kaya dan pada gilirannya berpuasa.
Di sana Mahwi membuka angkringan, angkringan sastra namanya bersama sang pacar (kini tentu istri) Erna. Aku dan Ucup? Tentu membantu menghabiskan sisa nasi kucingnya kalau malam datang. Iniw aktu yang paling kusuka. Kalau gorengan dan nasinya sisa. Sesekali Purwana datang pula, membantuku mengunyah habis sisa nasi dan kerak gorengan. Ada Mukandar juga (kandarrrrrrrrrrr... kau dimana?? Hu-hu-hu..).
Dan kisah bermula dari sini semua.
Aku lama baru tahu di pintu masuk kos-kosan yang hanay dihuni 4 anak kos UIN ini (di sini murah, percayalah. Tetapi jauh dari kampus) ada tulisan “Wisma Poeitika”. “Si Mahwi yang nulis, tuh!” Kata Ucup sambil memengang pipinya (dia sakit gigi). “Si Ucup tuh.” Kata si Mahwi pula.
Tulisan itu terus saja mejeng di sana. Dan Ucup masih sibuk menulis dan menggarap skripsi sesekali bertanya e-mail media. Di sini aku bukannya semakin rajin kuliah, tetapi semakin malas saja. Ditambah pula dengan suasana yang cenderung gelap dan pengap membuat aku banyak bergolek di kamar. Seiring dengan itu pula kami mulai kedatangan banyak tamu. Mulai Rico Somala, Kapten Bumi, Rosyid, Andes dan kawan-kawan dari ISI, Sunlie yang kembali pulang dari Selat Bangka, Nasrudin Fahrullah, Lukman, Yani, Makunk, Arum, Amin dari Jepit, Dian dan Widzar dari Bandung, Kawan-kawan dari Madura juga, Rosidi dari Semarang, Mas Sutrisno Emri yang selalu tahu tempat persembunyianku, Ridwan, Alfian dan kawan-kawan Kutub, Tasriq Fahmi, Kiting, Iim, Daeng Fuad, Joni, Lancenx, Purwana, Muklis, Agus Manaji, Dwicipta, Mas Joni, Bang raudal, Tsabit tentu saja, dan banyak lagi yang lain yang mulai samar diingatan.

Angkringan sastra sudah lama mati seiring dengan itu Mahwi menikahnya Mahwi dengan Erna . Diskusi-diskusi sederhana mulai berjalan. Mulai dari Islamdan tetek bengeknya oleh Da Hen dan Pasukan, Halaman Koran Minggu, sampai urusan perempuan. Dan ibu kos makin jengkel saja oleh obrolan yang tak terkendali. Anaknya masih kecil, tentu terganggu oleh obrolan yang sampai subuh ini. Dan aku mulai tidak bisa tidur malam, pelarian yang paling menyenangkan adalah Burjo bila aku punya uang. Dan tulisan Yusuf Amin Nugroho, si Ucup yang kemudian dikenal dengan Jusuf AN mulai berterbangan di mediamassa dan sebentar lagi kontrakan kami segera habis.
Orang-orang mulai mengenal Puitika dari “Wisma Poeitika” tadi. Dan kami (aku, ucup, mahwi) mulai bersepakat kecil-kecilan menghidupkan suasana yang mulai kondusif ini. Kami bersepakat mencari kontrakan yang kelak rumah ini akan menjadi raung ‘pertarungan’ yang asyik, diskusi yang nayam dan tempat tidur yang menyenangkan. Berminggu-minggu kami berusaha mengupayakan kontarakan yang serupa itu; nyaman, aman, bebas tetapi murah. Dan seperti yang kalian tahu, di kantong kami tak ada uang sepersen pun. blas!
Berbagi tugas, sudah. Tetap saja uanbg kontakan itu terasa mahal. Kami mulai bermimpi, persetan dnegan uang kontrakan, yang jelas kita punya ruang yang asyik, tempat yang bisa siapa saja keluar masuk, siapa saja boleh berteriak membvaca puisi dan siapa saja boleh tinggal di sana dan selalu muat. Sudah. Tapi kantong?
Gampang! Kami terus menghibur diri, nanti kita kumpulkan dari uang honor tulisan kita, siapa tahu redaktur koran akan tergugah dnegan usaha kita yang dimulai dari nol ini. Kita bikin surat permohonan bantuan dana, masa penulis-penulis mapan itu tidak terketuk dnegan usaha kita? Sebuah komunitas sastra yang seksi, bayangkan. Di sana kita bisa berdiskusi, berproses, bergesekan dengan santai. Lalu bayangan kami menjadi-jadi, akan ada bantuan komputer, di sana pula akan muncul penulis-penulis muda dari Yogyakarta, mereka tidak hanya jago puisi, cerpen tetapi juga pemikir-pemikir generasi baru akan lahir dari sini. Kamipunya semua, penulis opini, resensi buku, artikel dan catatan kebudayaan, penyair dan cerpenis. Tak ada lagi yang kurang. Dari sini juga nanti akan lahir sebuah media alternatif yang dikelolah dnegan serius tetapi santai, tangan-tangan dingin yang akan melahirkan orang-orang dasyat. Lalu kenapa harus dipikirkan juga kantong?
Negosiasi tanpa uang sama saja bohong dan seminggu lagi kami harus pindah. Pada akhirnya kami terdampar di sebuah rumah di pinggir sungai Gajah Wong. Di seberang Musium Affandi (yang sampai sekarang belum pernah kujajaki), di selatan beberapa langkah kau akan sampai di jalan raya, di Timur bukit kecil, karena kami berada di bibir sungai. Sepi dan tidakkah suara sungai akan mendatangkan inspirasi? Dan biaya enam juta bisa kami selesaikan dengan tertawa. Bukan menyelesaikan, tetapi melewatkannya sambil tertawa. Yang pertama adalah melobby bapak kos dnegan mengatakan kami hanyalah anak-anak yang tidak bergantung pada orang tua lagi, dan bla-bla, lihatlah Cup, pak kos kita terpedaya (kasihan lebih tepatnya) oleh kata-kata.
“Tanyakan juga, bolehkah kawan-kawan cewek menginap di sini?” takaku pada ucup sambil menyenggol-nyenggol bahunya.
(bersambung)

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Haaaaaa..............ahaaaaa
masyaallah kau masih ingat...
dan warnet kini jadi rumahmu
haaaa...

ucup