16 Feb 2007

cacatan kecil tentang imajinasi


Duh yang bernama hidup adalah kegelisahan yang tak akan kau pahami bentuk dan warnanya. Serupa malam, kau hanya bisa meraba keberadaannya tapi tak bisa melihatnya. Oh, betapa buta. Betapa buta segala yang tampak.. betapa kelam segala yang nyata.

Jika sudah begini, apalagikah yang bisa aku lakukan selain membayangkan diri ini berada di sampingmu di sebuah senja yang tak terlalu manis dan sedikit basah. Matari menyisakan sedikit warna hitam sebelum senja benar-benar merampasnya dengan garang. Kita berada di sebuah rumah mungil yang kita cipta lewat imajinasi. Sebuah rumah sederhana dengan deretan bunga-bunga di halaman, beberapa ekor ayam di kolong, kucing, selebihnya adalah warna biru dan ricik air di selatan sana.

Di sini, pada rumah mungil yang kita bikin beberapa tingkat yangs emua terbuat dari kayu (di mana ketika kita bercinta, semua ikut merasakan dan menikmati lewat ringkik dan goyangan). Kita dudukd an bercakap entah apa dan untuk apa. Sore yang basah dan lihatlah, ricik hujan masih jua menetes dari celah atap rumbia. Beberapa burung lewat di kepala kita menuju sayang mereka yang tentu basah (ah, adakah malam ini mereka – burung-burung itu – akan nyenyak tidurnya setelah dihajar kepenatan hidup, setelah satu dua keluarganya mati ditembak, ditangkap, dibunuh dengan cara yang beragam).

“Sudahlah, jangan melankolis.” Katamu padaku selalu, jika setiap kali aku membayangkan rumah masa depan yang tak pernah selesai kubayangkan. Selalu ada yang kurang, selalu ada yang sumbang.

Biarkan aku menyelesaikan sedikit imajinasi yang kumiliki, sebelum semuanya habis menjadi kabut.

Tidak ada komentar: