22 Des 2006

Perempuan yang merindukan Hujan di Malam yang Lain


SORE jatuh di ujung gedung, digantikan senja yang temaram. Segera, malam menaburkan kegelapan yang paling kelam. Langit menyajikan sekeping bulan yang patah--serupa goresan luka kecil pada wajah. Bintang bertebar di pipi malam, mewartakan batas langit dari ketinggian.
Kota tak hendak menutup kisah, menawarkan kemilau di jalan-jalan, gedung bertingkat dan papan iklan. Malam tak mesti dilalui dengan kegelapan. Trotoar, bangku-bangku dan taman mengisahkan sejarah paling masyuk sepanjang malam.
Kota menggeliat, mengabarkan kemerdekaan yang paling laknat. Kehidupan tumbuh di mana-mana, menyajikan riang wajah-wajah dan gemuruh suara-suara. Malam, waktu yang paling tepat merayakan sebuah kemenangan.
Sebuah kota di musim hujan. Orang-orang tak hendak menutup kisah di balik selimut dan kamar-kamar. Setiap jengkal malam menawarkan kisah paling indah, membawa tiap-tiap tubuh keluar rumah. Tak mesti menutup bagian tubuh, sebab dingin disapu kabut dan lampu-lampu. Malam menguapkan panas, sebuah bertanda tentu saja, besok hari barangkali hujan. Maka, nikmatilah ini malam sebelum waktu dikubur pagi yang menyilaukan. Siang, tak lebih dari sebuah penjara yang jauh dari hura-hura.
Dan, perempuan itu lahir dari geliat kota. Malam telah membuat orang lupa dengan sekitarnya. Lalu apa artinya seorang perempuan di antara sekian ratus atau ribuan(?) perempuan yang berkeliaran di sepanjang malam.
Perempuan itu menyapa malam, menyatu bersama hingar-bingar. Menyeruak di celah sempit yang tak memberi ruang, melewati trotoar, menyeberang jalan, taman, gang, dan lampu-lampu. Bulan mengikuti dari jauh, seperti sepasang mata yang mencurigakan.1
"Tak ada yang lebih menakutkan selain kota, lampu, dan nama-nama", bisik perempuan itu, bahasanya mengalir bersama angin. "Tak ada yang lebih kucinta selain gunung, laut, dan pulau-pulau," lanjutnya. Kini tubuh itu menyatu bersama bingar lampu, musik, tarian, dan lagu-lagu. Tubuhnya melekat di antara bahasa carut-marut, tawa, asap rokok, dan sengak alkohol murah. Meja menyajikan Anker, Bintang, Vodka, TKW, anggur merah-putih, Topi Miring, KTI, Ardath, Commodore, gelas-gelas kosong, dan kulit kacang. Duhai, lihatlah denyut hidup di malam hari, seakan besok pagi-pagi sekali mentari tak lahir lagi. Nikmatilah, nikmatilah, selagi malam masih panjang. Mari menari, perempuan.
"Saya si putri, si putri sinden panggung," mengalun di antara tubuh-tubuh ramping, belahan dada, pinggang, pantat, dan suit..suit. Dan, perempuan itu mengikuti alunan yang disajikan, seperti melafazkan doa-doa. Khusuk dan begitu ikhlas.
Malam bergulir, tepat di ubun-ubun. Dan, perempuan itu menggeliat di balik selimut apek di kamar sumpek.
* * *
Perempuan itu berdiri di jendela, mengintip langit yang gemetar menahan tangis. Ah, biarlah dan tetaplah telanjang.
Perempuan yang lahir dari malam, di antara sejuta geliat kenikmatan. Lihatlah matanya basah. Apakah yang terbersit di hati seorang perempuan yang telah membakar tangis dan mengubur mimpi?
"Jangan panggil aku pelacur," rintihnya sesekali lewat igauan dan sepenggal mimpi. Apa yang lebih menguntungkan saat ini, --di sini-- selain melelang diri? Seseorang pernah berkata kepadanya, entah di mana.
Tapi, tidak. Lihatlah dia tengah bersedih. Tangisnya mengalir bersama hujan. Menggenang ke lantai, mengalir ke tiap cela dan lubang-lubang. Terus mengalir. Adakah malam tengah menangisi nasibmu perempuan, ataukah kau tengah menangisi malam? Jangan menangis, karena hidup tak pernah meminta itu. Lihatlah tangismu telah merendam sebagian kota. Engkaukah yang selalu membanjiri kota dengan air mata tiap kali tahun baru tiba?
"Aku menjadi cengeng saat Desember menjelang."
Matanya yang serupa telaga yang mengalirkan apa saja. Seperti sungai di belakang rumah. Jauuuh!! Dulu sekali! Sungai di matanya, seumpama sungai yang mengalir ke muara. Anak-anak yang melompat riang dengan tubuh telanjang, perempuan yang mencuci di tepian, para bujang belajar mengintip gadis-gadis mandi. Sungai lebar di belakang rumah, tempatnya belajar mengeja usia, membiarkan betisnya dijilat-jilat lidah sungai, memperlihatkan tubuh rampingnya yang dililit kain basahan. Tertawa-tawa, sementara di hulu laki-laki menghanyutkan keperkasaan dan dicumbu ikan-ikan. Gadis-gadis mungil tidak saja membaca usia lewat sesuatu yang tumbuh pada dada atau yang mengalir dari selangkangnya. Mereka berlomba menghirup aroma laki-laki yang dihanyutkan jauh ke hilir. Maka, sesekali jika muncul pemuda iseng yang belajar mengintip lewat sepotong kail, jala atau sebuah sampan, mereka berlomba untuk sekadar memperlihatkan lekuk yang membesar pada bagian tubuh. Lekuk yang senantiasa menggelora dan terus membakar.
Sebuah sungai, kampung, dan gunung-gunung. Hidup yang terkungkung, membentuk mereka sebagai pencinta yang sembunyi. Di balik pohon bambu, kandang lembu, pinggir sawah atau belakang rumah. Terkikik-kikik di rerimbun, sesemak kecil, dan di bawah sepotong bulan. Sesekali tentu ada yang berani membuka jendela (di malam-malam buta, tentunya).
Awal tahun adalah musim kawin, tak seorang pun yang mampu mengusir sepi dan rasa dingin. Yang menggelora di kedalaman mereka yang paling entah, lebih menggairahkan ketimbang berita-berita menjemukan tentang kematian, orang-orang hanyut, rumah yang tersangkut di pinggir sungai, tanggul-tanggul jebol, sawah yang mendanau, tanah longsor, laut berwarna lumpur atau langit yang selalu kelam.
Tidak. Dia bukanlah gadis yang rakus, meski sering memimpikan satu-dua laki-laki bertelanjang dada. Hanya bertelanjang dada. Tidakkah begitu sering mereka saksikan di tepian? Bukan itu sesungguhnya yang menyiksanya benar. Adalah apa yang berada jauh di sebalik bebukitan dan hilir sungai. Setiap laki-laki yang pernah mengalir jauh ke muara selalu membawa kisah paling perkasa, tentang laut, pulau, jalan-jalan, oto, pasar, dan barisan toko-toko. Tidakkah selama ini milik para orang tua dan laki-laki saja? Betapa tidak adilnya! Seperti laknatnya impian gadis-gadis yang bercinta dengan beberapa lelaki sekaligus atau bercumbu dengan sejenisnya. Apakah segala pantang dan larangan hanya diperuntukkan bagi perempuan?
Angan hanya selembar arus sungai, mimpi hanya sebatas gunung, begitulah petuah para tetua. Ah, dia tak hendak membiarkan tubuhnya membatu di jendela. Keluar hanya ketika hari-hari tertentu saja, ke pakan misalnya dan selebihnya mengubur diri di dalam kamar. Perempuan, kampung dan pantangan, betapa membosankan.
Barangkali pesannya--yang satu dua--mengalir jauh ke muara dan dibaca para pelaut dan penghuni dermaga. Sehingga suatu kali, datanglah berbondong-bondong orang dari hilir, membawa cerita yang paling indah: tentang negeri di seberang laut yang langitnya lebih rendah, pekerjaan yang mengangkang dan keringat yang berubah uang. Maka, seperti pasukan demonstran orang-orang berebutan menuju hilir. Bersampan dan berakit atau melewati jalan kecil yang berbatu. Meninggalkan hamparan ladang cengkih yang meranggas, kopi menguning, sawah mengering, anak istri, cangkul dan bajak, Lumpur, dan kain samping. Rantau mengabarkan mimpi paling sempurna. Sejak itulah ia didera kegelisahan asing. Bapak yang tua, Mak yang renta, adik yang butuh uang sekolah (ah, alasan paling buruk dari semua alasan yang tersedia). Tidak. Bukankah, dari dulu ia begitu mendamba pelayaran? Itu saja. Maka, lewat seorang laki-laki yang dikenal di tepian, dia mengalir bersama malam. Diam-diam.
Ditinggalkannya kampung, ladang, gunung, petak sawah, tepian, ranum jagung, dan berisik air di tanggul. Dia tak sempat menengok lagi ke belakang. Apa yang bisa dipastikan pada kegelapan?
Di luar hujan terus mengalir makin deras, halilintar terus menyambar dan ia tengah merindukan hujan yang lain pada malam yang lain. Malam yang telah lama hilang sejak keberangkatan. "Bukankah aku meninggalkan segalanya ketika kemarau bertandang, tetapi kenapa justru hujan membuatku kehilangan?" bisiknya diam-diam.
Seorang laki-laki terbangun, menghampiri si perempuan.
"Tidurlah, sayang. Di luar masih hujan."
Perempuan itu bergeming.
"Seperti anak kecil saja. Sini! Tidakkah hujan mengairahkan? Buatlah tubuhku terasa gerah ketika dingin itu memagut, sayang."
Laki-laki itu mendekat. "Kau menangis?" tanyanya dalam sisa kantuk yang tertahan.
"Tidak! Aku justru sedang tertawa.".
Malam terus membakar. Sementara hujan terus mengalir di kedua matanya, bagai tanggul yang pecah dan mengalirkan apa saja. Tumpah di lantai, meggenang di selokan, merambat ke jalan-jalan.
Malam mencair di kota yang gigil.
Rumahlebah, 2004-2005
Catatan:
1. Diambil dari judul cerpen Triyanto Triwikromo, "Sepasang Mata yang Mencurigakan", dalam kumpulan cerpen Malam Sepasang Lampion, penerbit Kompas.
oto=mobil
pakan, pekan; hari ketika pasar ramai sekali, terjadi satu kali dalam seminggu dan biasanya hari Minggu. Sebagian masyarakat Minang menyebut hari Minggu dengan hari pakan.

Tidak ada komentar: