22 Des 2006

cerpen kampung bunian

KABIN tahu betul hukum rimba banyak pantangnya. Sebagai orang yang mengenal seluk beluk hutan dan terbiasa hidup merimba, toh dia bisa juga tak tahu jalan pulang.
Dalam hutan begini, apa pun bisa terjadi, kalau tak inyiak balang, mungkin saja ular besar yang bergelantungan. Maut mengintai kapan saja.
Bertahun Kabin membaca hutan, bersetia dengan lagu siamang, dengusan babi, dan senandung isi hutan yang mengantarkannya ke negeri antah barantah. Dan sungguh, Kabin begitu menyukainya; irama air di pembuluh, cericau murai di pagi hari, kukuk ayam barugo, kelepak punai di rerimbunan ataupun cericit uyir-uyir di petang hari. Kabin terbiasa dengan irama alam yang mengabarkan kesunyian paling surgawi.
Ketika para peladang lain merasa kalah, Kabin bertahan untuk tetap bersetia. Ia tak tergerak meninggalkan pincuran apalagi tepian yang kian lengang.
"Payah-payah awak bertanam. Tak ada penghasilan." Keluh Ujang Gadang suatu kali.
"Sudahlah cengkih mati bujang, kulit manis harganya turun. Apa lagi kini kopi ikut murah dan bunganya tidak melekat pula. Belum lagi panen yang tak menjadi." Sahut Uda Lajang menimpali.
"Tak ada yang diharapkan dari kampung. Ke rantau jua badan menuju." Seseorang menimpali.
"Ya, barang sekejap. Siapa tahu punya modal bertanam gambir atau jati," sela yang lain tak ketinggalan.
Begitulah suara-suara peladang yang kalah, turun gunung--meninggalkan Langgai, perkampungan kecil yang dikelilingi bukit-bukit yang menghampar. Lalu menghilang di pendakian Bukit Ambacang, meninggalkan kabut kecil di belakang. Satu per satu peladang takluk, membiarkan cecabang dan akar melilit ladang, tempat harapan mereka pernah digantungkan.
Ladang mulai ditinggalkan, tepian menjadi semakin hening. Hanya lenguh sungai memecah batu mengabarkan lengang ke muara. Lalu semuanya seperti ditelan rantau yang menjelma raksasa. Tak seorang pun peladang yang sempat pulang selain lembaran ringgit pengganti kabar.
Kalaupun Kabin tak hendak mengikuti jejak kawan-kawan peladang, bukan berarti apa-apa. Baginya, biji-biji kopi lebih harum ketimbang ringgit tanah seberang. Aroma kulit manis dan cengkih melebihi panggilan tanah rantau. Dan, Kabin bertahan dengan kasih merawat cecabang yang mulai tumbuh, kulit manis, kopi, cengkih, dan tanaman tua lainnya. Tak lupa, diselipkan tanaman-tanaman muda untuk dipanen sekali sepekan. Cabai, misalnya, kacang panjang, kacang tanah, ubi kayu, jagung, mentimun, dan sebangsanya. Dan, tentulah ia disibukkan dengan kera-kera nakal di siang hari atau babi hutan di malam hari. Dan, kabin menyukai benar suasana itu.
Maka, jika kemudian dia memboyong Hindun, gadis kampungnya yang ranum, tentulah semakin membuatnya tak hendak bertukar kisah. Hindun, perempuan yang dibesarkan alam dan pegunungan, sangat mengerti berbalas kasih. Hindun tak hendak mencoba bermanja diri. Jadilah mereka sepasang peladang yang menapak jauh di kelengangan.
Toh, kalaupun Kabin kini tersesat dalam hutan, bukanlah salah dia sepenuhnya. Dia terpisah dengan kawan-kawan. Kebiasaan mereka--tentunya yang masih bertahan di kampung dan bersetia dengan ladang--tiap kali musim buah belum masanya, mereka ke hutan mencari gaharu. Sebagai orang yang dibesarkan alam, Kabin tahu benar membaca garak. Tapi, kini kijang betina keparat itu telah membawanya jauh ke hutan.
Dan Kabin mencoba membaca arah dan bertanda. Tak ada yang terpikirkan selain pulang. Tak ada bekal yang tersisa meski sebatang rokok nipah.
Tak ada yang bisa dijadikan petunjuk jalan, banda kecil itu hanya berputar di situ saja. Sosok itu malah menuju rimbunan sianik dan pakis-pakis, hanya ular besar saja yang bersarang di sana. Untuk mencari arah lewat cahaya, jelas tak mungkin, matahari takkan mampu menembus rimbunan daun dan pohon-pohon besar. Salahkah jika dia tiba-tiba berucap lapar? Salahkah dia meminum air yang tergenang? Salahkah kalau pohon-pohon dipatahkan dengan kedua lututnya?)* Kabin tahu betul apa risikonya. Tapi adakah yang mampu berpikir jernih saat begini?
Rusa itulah yang telah membuat dia tersesat. Pastilah itu bukan rusa sembarangan.
"Sudahlah, Kabin. Kita jauh di dalam hutan." Larang Udin Capuak, teman senasibnya, pencari gaharu, ketika dia nekat mengejar rusa itu.
"Kamu tahu. Sudah berkali-kali dia luput dari jeratku. Rusa betina yang lincah, dulu hampir tertangkap olehku di Lubuk Timbulun kalau saja saat itu tidak senja dan hujan panas," gerutunya.
"Apa kau yakin itu rusanya?" Sela Budut sambil menghisap rokok.
"Tentu saja. Kau lihat goresan di pinggangnya, kena pukulan galah saya. Hanya saja saat itu dia menghindar ke sasok sebelah lubuk dan menyusup ke dalam hutan."
"Ondeh mande. Ingin mati engkau rupanya. Tak ada yang berani menangkap sesuatu di lubuk itu. Terlalu berisiko pekerjaanmu. Bisa-bisa yang kau lihat itu bukanlah rusa sebenarnya, melainkan penghuni." Lanjut Budut ketakutan. Rokoknya yang tinggal puntung dibuang begitu saja.
"Sudahlah. Tak baik berkira-kira di dalam hutan." Malin yang dari tadi diam, tiba-tiba menyela.
"Tapi, aku tahu mana yang rusa mana yang tidak. Lagipula aku tahu Lubuk Timbulun itu. Rusa itu datangnya dari arah ladang Si Budin di ujung tanjung. Bukan dari Lubuk Timbulun." Kabin bersikeras.
Dan siang itu, ketika kawan-kawannya beristirahat, diam-diam rusa itu berkelibat di depan Kabin. Benar-benar ingin mati ini si rusa, makinya. Kabin pun tak ingat apa-apa, juga pantangan rimba. Siang hari waktu ubilih, manusia tidak boleh berjalan, begitulah petuah yang sering dia dengar.
Dan, Kabin yakin itu bukanlah rusa sembarangan yang telah membuat dia tersesat seperti sekarang. Barangkali kawan-kawannya benar, kalau rusa itu mungkin saja jelmaan penghuni Lubuk Timbulun, atau apa tidak mungkin penghuni hutan belantara ini. Ah, bodohnya aku yang tidak mendengar kata kawan-kawan. Dan keras kepala tidak akan membawa apa-apa selain derita berkepanjangan.
Kabin menerawang, ingat kawan-kawan yang melangkah pulang. Barangkali tengah meniti air Timbulun dan tentu sebentar lagi hamparan tanah Langgai dan bukit-bukit tergelupas kelihatan. Dan, tentu saja kawan-kawannya tak mau ambil risiko mencari dia saat perbekalan sudah menipis. Ah, kawan-kawannya tentu telah melihat asap di atas bukit, salak-salak anjing, kokok ayam jantan, teriakan anak-anak di lembah melengkung yang seperti kuali itu. Dan tentu dari punggung bukit hamparan laut dan kapal-kapal yang seperti noda tampak mengapung. Dan tentu ada teriak bangga dari kawan-kawannya.
"Uhuui.. rang peladang"
"Yo, lah" )**
Ah, bahasa peladang yang diakrabi benar oleh Kabin. Irama yang merasuk ke dalam hatinya, dan ia betul-betus menyukainya. Bahasa peladang-peladang yang tak lelah. Bahasa peladang yang sederhana.
Tiba-tiba, bunyi siamang mengejutkan lamunannya. Tingkah bertingkah. Kabin mencoba untuk menghindar. Suara yang membuat kuduknya berasa dingin. Pastilah tanda bahaya. Kalau tak ular gadang, bisa saja inyiak balang, atau tak mungkin ia mengelak barangkali sarangnya orang bunian. Yang pasti bahaya tengah menghadang.
Dia terduduk di pohon ilalang. Napasnya masih tak beraturan. Rasa takut tiba-tiba saja menghantuinya. Bulunya serentak saja meremang. Tak salah, memang ketakutan itu muncul. Lama kemudian bunyi siamang telah menghilang tergantikan uyir-uyir yang bersenandung. Betapa lengang.
Maka, alangkah terkejutnya dia ketika di hadapannya terpampang sebuah ladang, hanya terpisahkan sebuah jurang dan anak sungai. Sebuah ladang, ahai, tentulah dia telah masuk ke perkampungan. Makan, bercerita, atau sekadar bertanya arah, di kampung mana kiranya dia. Ah, barangkali siamang tadi telah memberi arah dan tanda-tanda. Terimah kasih, batinnya.
Alangkah sukarnya, menempuh jarak yang sesaat. Hanya sebuah jurang dan pembuluh air. Tetapi, tiap kali dia mencoba menepis sianik dan ilalang itu seolah ada sesuatu yang menghalang. Kenapa, semak kecil ini seperti pagar yang menghalang. Tidakkah serupa inyiak balang?
Setengah putus asa, Kabin berteriak, "Ohooiii, rang peladang."
Tak ada jawaban.
Kabin tak putus asa. Bagaimanapun dia masih selamat. Tidakkah ladang mengabarkan kehidupan? Paling tidak dia tidak lagi di tengah hutan. Kembali Kabin menatap ladang yang menjorok di depannya, alangkah dekat. Sebuah pondok, ladang yang bersih, asap kecil melayang-layang di udara, barangkali dari perapian, dan tidakkah ini aroma jagung yang direbus atau sekedar ubi yang dipanggang? Lalu hamparan pohon pisang, limau manis, dan padi ladang. Tidakkah mengabarkan kehidupan?
"Ohoooiiii, rang peladang!!!" Teriaknya sekali lagi. Menggema beberapa kali sebelum hilang di keheningan hutan. Ah, pastilah si peladang tengah tertidur pulas karena letih. Atau bisa saja dia seorang peladang tua yang telinganya mulai tuli. Kabin menghibur diri.
Lama tak ada sahutan, Kabin mencari-cari jalan. Paling tidak di sana dia berharap sekadar melepas lelah tanpa ada rasa waswas dan ketakutan. Ah, ada jalan lain tanpa menembus belukar kecil di depannya. Sedikit menuruni tebing, lalu berbelok ke sebelah kiri, sedikit mengikut arah air sampailah. Kabin tahu betul, ladang di depannya pastilah berakhir di pinggir sungai, setidaknya kali. Tentu saja, paling tidak dia dapat melihat dari tempatnya berdiri, sebelah kanan ladang itu bersih sampai ke bawah. Kalau tak terhalang pohon besar, Kabin dapat melihat pembatas itu. Setidaknya, peladang mana pun mengakhiri batas tanahnya di buluhan air. Begitulah kebiasaan.
Sekali lagi dicobanya melewati sesemak setinggi pinggang di depannya, tapi bayangan inyiak balang seolah-olah tepat di depannya. Setengah putus asa dia kembali berteriak. Seekor anjing keluar dari kolong pondok dan menyalak-nyalak kecil. Aha, Kabin melonjak girang. Sudahlah, setidaknya, ini ladang sungguhan yang kutemukan. Dan, tentu lewat penghuni ladang dia dapat bertanya arah.
Sekali lompatan dia sampai di pembuluh air, satu belokan saja tentu dia akan sampai di pembatas ladang. Asap di perapian pondong semakin menguatkan tubuhnya. Biarlah, barangkali si penghuni capek, atau dia mendengar teriakan cuma takut untuk membalas. Bukankah hutan menyajikan banyak pantangan? Apalagi ini di siang bolong, waktu apa saja bisa berwujud.
Siang? Berwujud? Serta-merta ia menoleh ke belakang. Aneh, tiba-tiba ladang itu seperti berputar dan menjauh. Ah, adakah aku berbelok arah? Dicoba mendaki sebuah bukit, barangkali punggung atau di balik ladang yang disaksikan, barangkali saja dia terlalu jauh menyeberang.
Kabin melonjak kegirangan tiba-tiba dia mendengar suara-suara, tawa, laju motor, penjual es tot-tet-tot-tet. Suara ayam, eongan kucing, suara anak-anak, dan irama kehidupan.
"Aku sampai di perkampungan." Teriaknya girang.
Kenapa tidak dari tadi terpikirkan? Sedikit lagi mendaki dia akan sampai, dan suara-suara makin jelas. Dia tidak lagi memikirkan ladang yang ia saksikan. Di atas sana segalanya akan kelihatan. Sedikit mendaki tak apa, pastilah ada perkampungan di bawah sana yang disaksikan meski tidak di tanah sendiri. Suara-suara semakin jelas, kring-kring sepeda, hempasan batu domino, tawa, anak-anak yang bermain, langkah-langkah, dan aroma.
Sudah sampai di perkampungan awak kiranya. Bolehlah meminta minum bertanda haus, meminta nasi kalau lapar, dan tentu sekeping kabar, ini berada di kampung mana. Ahai, kenapa tak terpikirkan dari tadi?
Pantaslah dari tadi ada derak-derak halus di ilalang, pastilah inyiak balang yang sengaja memberi petunjuk, paling tidak jalan pulang.
Kabin terpekik ketika sampai di puncak bukit. Seekor rusa tiba-tiba berkelibat menjelma bayangan istrinya yang mengandung. Lalu suara siamang dalam pekik ketakutan, bersahut-sahutan, mengabarkan irama asing, belahan bumi yang lain. Lamat-lamat suara-suara semakin keras kedengaran, tawa, derit rantai sepeda, air di pembuluh, lenguh kerbau, aroma tungku, denting sendok, dan segala kehidupan tingkah- bertingkah, semakin cepat.. cepat..cepat.
Tiba-tiba dia teringat segala dongeng tentang hutan dan orang-orang bunian. Dia merasa tak akan pernah kembali pulang.
Surantih 2001--Yogya 2004
Catatan:
Bunian: sejenis makhluk halus yang dipercaya oleh sebagian orang tinggal di dalam hutan.
Ubilih: iblis
Inyiak balang: nama lain dari harimau
Gadang: besar
*) salah-satu pantangan yang harus dihindari seorang peladang atau yang sering masuk hutan.
**) bahasa-bahasa para peladang untuk menyapa dari jarak berjauhan, bertanda ada orang yang tinggal di ladang.

Tidak ada komentar: